Rabu, 20 Oktober 2010

Surat permohonan
Kata pengantar
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar belakang
B. Dasar
C. Tujuan
D. Hasil yang diharapkan
BAB II PROFIL MADRASAH
A. Identitas madrasah
B. Identitas kepala madrasah
C. Data ustadz
D. Struktu organisasi madrasah
BAB III PELAKSANA PROGRAM
A. Program pembelajaran
B. Proses pembelajaran
C. Tempat dan waktu pembelajaran
D. Rencana anggaran biaya
BAB IV PENUTUP
Lampiran :
1. Izin operasional
2. Jadwal pelajaran
3. RAPBS / RAPBM
4. Fotocopy rekening sekolah
5. Fotocopy rekening guru

KATA PENGANTAR
Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan bantuan berbagai pihak, maka Proposal Bantuan Keuangan Madrasah Diniyah dan Guru Swasta Tahun 2010 dapat disusun sesuai jadwal yang telah ditentukan.
Proposal Bantuan Keuangan Madrasah Diniyah dan Guru Swasta Tahun 2010 disusun dalam rangka memenuhi salah satu persyaratan untuk mendapatkan Bantuan Keuangan dari Pemerintah Daerah Kabupaten Ponorogo. Harapan kami, Proposal Bantuan Keuangan Madrasah Diniyah dan Guru Swasta Tahun 2010 ini dipertimbangkan oleh yang berwenang . Bantuan Keuangan tersebut diharapkan dapat meningkatkan kualitas pelayanan dan mutu pendidikan pada anak didik dan muaranya akan meenghasilkan sumber manusia yang cerdas komprehensif yaitu cerdas spiritual, emosi dan sosial, kinestesis serta intelektual.
Kritik dan saran dari berbagai pihak demi penyempurnaan proposal ini sangat kami harapkan.

Ponorogo, 10 maret 2010
Kepala
Madin Nurul Huda


MASDAROINI, S.Th.I

DAFTAR ISI
Surat Permohonan
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Dasar
C. Tujuan
D. Hasil Yang Diharapkan
BAB II PROFIL MADRASAH
A. Identitas Madrasah
B. Identitas Kepala Madrasah
C. Data Ustadz
D. Struktu Organisasi Madrasah
BAB III PELAKSANA PROGRAM
A. Program Pembelajaran
B. Proses Pembelajaran
C. Tempat Dan Waktu Pembelajaran
D. Rencana Anggaran Biaya
BAB IV PENUTUP
Lampiran :
1. Izin operasional
2. Jadwal pelajaran
3. RAPBS / RAPBM
4. Fotocopy rekening sekolah
5. Fotocopy rekening guru

BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Berdasarkan undang- undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidkan Nasional Pasal 6 ayat (1) mengamanatkan bahwa setiap warga negara yang berusia 7 – 15 tahun wajib mengikuti pendidikan dasar dan pasal 11 ayat (2) pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjaminnya tersedianya daya guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia 7-15 serta pasal 46 ayat (1) Pendanaan pendidikan menjadi tanggung jawab bersama pemerintah, pemerintah daerah dan masyaraka.
Lahirnya undang- undang no 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang menghapus diskriminasi satuan pendidikan negeri dan swasta, sekolah dan madrasah serta memasukkan pendidikan dan pesantrendalam sistem pendidikan nasional berdampak kebijakannya terhadap pendidkan islam, termasuk anggaran pendidikan yang harus didistribusikan secara lebih adil.
Harus kita sadari bahwa saat ini sekolah/ lembaga masih banyak yang dikelola oleh swasta. Dengan lahirnya UU No 14 tahun 2005 tentang Guru dan Dosen ternyata telah membuka kita bahwa masih terdapat kesenjangan kesejahteraan antara guru PNS dengan swasta. Guru swasta yang dibayar oleh lembaga/ yayasan secara tidak langsung juga turut membebani orang tua dan masyarakat dalam menyediakan biaya bagi pendidikan putra- putrinya.
Perkembangan lingkungan strategis yang berpengaruh terhadap pendidikan antara lain masih banyaknya penduduk miskin, kondisi ekonomi yang masih belum pulih, banyak pemutusan hubungan kerja, dan kecenderungan terjadinya persoalan sosial yang berdampak pada pendidikan.
Dalam rangka mendukung program tersebut diperlakukan bantuan dana untuk mengurangi beban orang tua dalam membiayai pendidikan santri/ warga belajar/ siswa madrasah khususnya dari keluarga miskin.
B. Dasar
1. Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen.
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Pendidikan Nasional.
4. Pedoman Teknis Bantuan Penyelenggaraan Pendidikan Madrasah Diniyah dan Guru Swasta Tahun 2010.
C. Tujuan
1. Mencegah siswa putus sekolah pada jenjang ............
2. Mambantu siswa yang mnegalami kesulitan memperoleh layanan pendidikan yang disebabkan oleh kondisi ekonomi maupun alasan sosial lainnya.
3. Meningkatkan Angka Partisipasi Kasar (APK).
4. Meningkatkan motivasi dan kinerja guru guru swasta.
D. Hasil yang diharapkan
1. Adanya peningkatan Angka Partisipasi Kasar (APK) SD/ MI atau yang sederajat dan SMP/ MTs atau yang sederajat.
2. Adanya peningkatan mutu pendidikan di satuan SD/ MI atau yang sederajat dan SMP/ MTs atau yang sederajat.
3. Adanya peningkatan kesejahteraan dan kinerja guru secara lebih profesional.

BAB II
PROFIL SEKOLAH/ MADRASAH

A. Identitas madrasah/ sekolah/ PKBM
1. Nama sekolah/ madrasah : Madrasah Awwaliyah Takmiliyah Nurul Huda
2. Izin operasional
a. Nomor dan tanggal izin :
b. Pejabat yang mengeluarkan :
c. Terhitung mulai tanggal (TMT) :
3. Jalan :
4. Desa/ kelurahan : Pintu
5. Kecamatan : Jenangan
6. Kabupaten : Ponorogo
7. Provinsi : Jawa Timur
8. Kode pos :
9. Telepon :
B. Identitas kepala madrasah/ sekolah/ PKBM
1. Nama lengkap : Masdaroini, S.Th.I
2. Pendidikan terakhir : S1
3. Jurusan/ Spesialisasi : Ushuludin
4. Nomor SK pengangkatan :
5. Tanggal pengangkatan :
6. TMT :
7. Pejabat yang mengangkat :
8. Pelatihan yang pernah diikuti :

No Tahun Jenis pelatihan Lama pelatihan Tempat
1
2
3
4

C. Data Karyawan/ Guru/ Ustadz/ Tutor

No Nama NIP Tempat Tanggal Lahir Pangkat/ Golongan jabatan Pendidikan/ jurusan/ tahun lulus TMT Bekerja di sekolah
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14

D. Data siswa

E. Inventaris

F. Struktur Organisasi Madrasah/ Sekolah/ PKBM

BAB III
PELAKSANAAN PEMBELAJARAN

A. Kegiatan Pembelajaran
1. Waktu Pelaksanaan Pembelajaran
2. Jadwal Pelaksana Pembelajaran
3. Rencana Anggaran Biaya
B. Rencana Anggaran Biaya
Rencana Anggaran Biaya

BAB IV
PENUTUP
Sesuai dengan tujuan penyusunan proposal ini yaitu disamping memberikan gambaran singkat mengenai kondisi dan pengelolaan sekolah/ madrasah juga sebagai bahan pertimbangan penentuan kebijkan bagi pihakyang berwenang. Semoga dengan proposal ini pihak yang berwenang memberikan Bantuan Keuangan kepada lembaga kami.
Selanjutnya Bantuan Keuangan tersebut akan kami kelola sesuai Rencana Anggaran Biaya Keuangan Madrasah/ Sekolah (RAPBS/ RAPBM) serta mengacu kepada Pedoman Teknis Bantuan Keuangan Madrasah Diniyah dan Guru Swasta Tahun 2010.
MAKALAH
METODE-METODE MENGAJAR
oleh: Ust.Muhamad Rifai Arief Rasniullah, S.Pd.I

BAB I
PENDAHULUAN
Proses belajar mengajar merupakan suatu system yang terdiri atas beberapa komponen yang saling berkaitan (interpenden) dan saling berinteraksi dalam mencapai tujuan. salah satunya ialah evaluasi. Evaluasi sangatlah berperan penting dalam sistem pengajaran karena dengan diadakannya evaluasi ini, prestasi para siswa dapat diketahui setelah menyelesaikan program belajar yang dicapai para siswa dalam kurun waktu tertentu, dapat diketahui ketetapan metode mengajar yang digunakan dalam menyajikan pelajaran, serta dapat diketahui tercapai dan tidaknya tujuan intruksional dirumuskan sebelumnya. Dengan demikian evaluai berfungsi pula sebagai feed back (umpan balik ) dalam rangka memperbaiki proses belajar mengajar yang telah dilaksanakan oleh guru.
Untuk menghasilkan keberhasilan dan demi tercapainya sebuah harapan guru, murid dan keluarga terkait akan adanya pengembangan pada murid, maka seorang pengajar harus memiliki sebuah metode dalam mentransperkan ilmu atau pengajarannya kepada anak didik.
Metode-metode inilah yang akan menentukan serta sebagai keberhasislah dalam feed back antara pendidik dan anak didik.
------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

BAB II
PEMBAHASAN
Macam-Macam Metode Mengajar
Selain untuk memahami karakteristik pengajaran atau cara mentransper pelajaran pada anak didik, metode mengajar juga berguna sebagai penghilang rasa jenuh pada diri anak kala adanya rasa monoton atau kurangnya daya tarik pada suatu pelajaran. Maka dengan hal itu, metode-metode mengajar sangat berperanan penting dalam dunia pendidikan.
Menyikapi dalam dunia pendidikan, maka erat hubungannya dengan pengajaran sebagai peed back antara pendidik dan anak didik. Serta menyikapai dalam permasalahan pengajaran itu sendiri, erat pula hubungannya dengan psikologi atau suatu ilmu untuk memebaca kondisi anak. Disebabkan bermacam-macamnya kondisi anak dalam menyikapi suatu plajaran, maka guru atau pendidik harus lebih faham akan menyikapi berbagai karakter anak itu sendiri. Hal ini bisa dilakukan dengan merubah pola atau cara ketika memberikan pengajaran, dan hal ini tidak bias menggunakan hanya dengan satu atau dua metode, melainkan harus beberapa metode yang harus digunakan ketika memberikan pengajaran.
Adapun macam-macam metode mengajar adalah sebagai berikut:
1. Metode Ceramah
Metode ceramah adalah metode memberikan uraian atau penjelasan kepada sejumlah murid pada waktu dan tempat tertentu. Dengan kata lain metode ini adalah sebuah metode mengajar dengan menyampaikan informasi dan pengetahuan secara lisan kepada sejumlah siswa yang pada umumnya mengikuti secara pasif.
Metode ini disebut juga dengan metode kuliah atau metode pidato.
Kekurangan metode ini adalah
a) Guru lebih aktif sedangkan murid pasif karena perhatian hanya terpusat pada guru saja.
b) Murid seakan diharuskan mengikuti segala apa yang disampaikan oleh guru, meskipun murid ada yang bersifat kritis karena guru dianggap selalu benar
Untuk bidang studi agama, metode ceramah ini masih tepat untuk dilaksanakan. Misalnya, untuk materi pelajaran akidah.
2. Metode Diskusi
Metode diskusi adalah suatu cara mengajar dengan cara memecahkan masalah yang dihadapi, baik dua orang atau lebih yang masing-masing mengajukan argumentasinya untuk memperkuat pendapatnya.
Tujuan metode ini adalah
a) Memotivasi atau memberi stimulasi kepada siswa agar berfikir kritis, mengeluarkan pendapatnya, serta menyumbangkan pikiran-pikirannya.
b) Mengambil suatu jawaban actual atau satu rangkaian jawaban yang didasarkan atas pertimbangan yang saksama
Macam-macam diskusi yaitu:
1) Diskusi informal
2) Diskusi formal
3) Diskusi panel
4) Diskusi simpusium
3. Metode Demonstrasi
Metode ini adalah metode mengajar dengan cara memperagakan barang, kejadian, aturan, dan urutan melakukan sesutau kegiatan, baik secara langsung maupun melalui penggunaan media pengajaran yang relevan dengan pokok bahasan yang sedang disajikan.
Tujuan metode ini adalah memperjelas pengertian konsep atau suatu teori.
Diantara keuntungan metode ini adalah
a) Perhatian anak dapat dipusatkan dan titik berat yang dianggap penting dapat diamati secara tajam
b) Proses belajar anak akan semakin terarah karena perhatiannya akan lebih terpusat kepada apa yang didemonstrasikan
c) Apabila anak terlibat aktif, maka mereka akan memperoleh pengalaman atau pengetahuan yang melekat pada jiwanya dan ini berguna dalam pengembangan kecakapannya.
4. Metode Penugasan
Suatu cara mengajar dengan cara memberikan sejumlah tugas yang diberikan guru kepada murid dan adanya pertanggungjawaban terhadap hasilnya. Tugas tersebut dapat berupa
• Mempelajari bagian dari suatu teks buku
• Melaksanakan sesuatu yang tujuannya untuk melatih kecakapannya
• Melaksanakan eksperimen
• Mengatasi suatu permasalahan tertentu
• Melaksanakan suatu proyek
5. Metode Sosiodrama
Suatu cara mengajar dengan cara pementasan semacam drama atau sandiwara yang diperankan oleh sejumlah siswa dan dengan menggunakan naskah yang telah disiapkan terlebih dahulu.
Tujuan metode ini adalah
• Melatih keterapilan social
• Menghilangkan perasaan-perasaan malu dan renda diri
• Mendidik dan mengembangkan kemampuan mengemukakan pendapat
• Membiasakan diri untuk sanggup menerima pendapat orang lain
6. Metode Latihan (drill)
Suatu cara mengajar yang digunakan dengan cara memberikan latihan yang diberikan guru kepada murid agar pengetahuan dan kecakapan terentu dapat menjadi atau dikuasi oleh anak.
Tujuan dari metode ini adalah
• Memberikan umpan balik (feedback) kepada guru untuk memperbaiki proses belajar mengajar
• Untuk menentukan angka kemajuan atau hasil belajr masing-masing anak didik
• Menempatkan anak didik dalam situasi belajar mengajra yang tepat.
• Anak dapat mempergunakan daya berfikirnya semakin baik
• Pengetahuan anak didik agar semakin bertambah dari berbagai segi.
Perikasaan latihan atau ulangan dapat dilakukan dengan cara
• Secara klasikal
• Secara individu
• Pencocokan dengan kunci jawaban yang telah disediakan sebelumnya
7. Metode Kerja Kelompok
Kerja kelompok elompok itu ada dua macam
• Kerja kelompok jangka pendek
Kelompok ini dapat dilaksanakan dalam kelas dalam waktu yang singkat kurang lebih 20 menit.
• Kerja kelompok jangka menengah
Dilaksanakan dalam beberapa hari karena adanya tugas yang cukup memakan
waktu yang agak panjang.
8. Metode Proyek
Metode mengajar dengan cara memberikan bermacam-macam permasalahan dan anak didik bersama-sama menghadapi masalah tersebut dan memecahkannya secara bersama-sama dengan mengikuti langkah-langkah secara ilmiah, logis, dan sistemastis.
Metode ini disebut juga dengan metode pengajaran unit
Tujuan metode ini adalah untuk melatih anak didik agar berfikir ilmiah, logis, dan
sistematis.
9. Metode Karyawisata
Metode ini adalah cara mengajar yang dilaksanakan dengan mengajak siswa ke suatu tempat atau objek yang bersejarah atau memiliki nilai pengetahuan untuk mempelajari dan menelilti sesuatu.
10. Metode Tanya jawab
Metode Tanya jawab adalah cara penyajian pelajaran dalam bentuk sejumlah pertanyaan yang harus dijawab, terutama dari guru kepada siswa, tetapi ada pula dari siswa kepada guru.
11. Metode Eksperimen
Suatu metode yang dilakukan dalam suatu pelajaran tertentu terutama yang bersifat objektif, seperti ilmu pengetahuan alam, baik dilakukan di dalam/di luar kelas maupun dalam suatu laboratorum tertentuMetode pemahaman dan penalaran
12. Metode Kisah Atau Cerita
Merupakan suatu cara mengajar dengan cara meredaksikan kisah untuk menyampaikan pesan-pesan yang terkandung di dalamnya.
13. Metode Tutorial
Metode ini adalah cara mengajar dengan memberikan bantuan tutor. Setelah siswa diberikan bahan ajar, kemudian siswa diminta untuk mempelajari bahan ajar tersebut.
14. Metode Perumpamaan
Suatu metode yang digunakan untuk mengungkapkan suatu sifat dan hakikat dari realitas sesuatu atau dengan cara menggambarkan seseuatu dengan seseuatu yang lain yang serupa.
15. Metode Suri Tauladan
Metode menajar dengan cara memberikan contoh dalam ucapan, perbuatan, atau tingkah laku yang baik dengan harapan menumbuhkan hasrat bagi anak didik untuk meniru atau mengikutinya.
16. Metode Peringatan dan Pemberian Motivasi
Metode mendidik dengan cara memberikan peringatan kepada anak tentang sesuatu dan memberikan motivasi agar memiliki semangat dan keinginan untuk belajar dan mempelajari sesuatu.
17. Metode Praktek
Metode mendidik dengan memberikan materi pendidikan baik menggunakan alat atau benda dengan harapan anak didik mendapatkan kejelasan dan kemudahan dalam mempraktekan materi yang dimaksud.
18. Metode Pemberian Ampunan dan Bimbingan
Metode mengajar dengan cara memberikan kesempatan kepada anak didik memperbaiki tingkah lakunya dan mengembangkan dirinya.
19. Metode Tulisan
Metode mendidik dengan cara penyajian huruf atau symbol apapun yang bertujuan untuk mengetahui segala sesuatu yang sebelumnya tidak diketahui.
-------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

BAB III
KESIMPULAN

Dari pemaparan tersebut, maka seorang pendidik tidak akan lepas dari metode-metode mengajar ketika terjadinya pengajaran. Berbagai metode tadi bias di gunakan sekurang-kurangnya dua sampai empat metode mengajar dalam satu pelajaran, guna memperlancar dan adanya kesinambungan dalam pendidikan

BAB I
PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan hal yang sangat penting untuk menciptakan suatu masyarakat madani. Peradaban suatu bangsa akan tambah dan lahir dari sistem pendidikan yang digunakan oleh bangsa tersebut. Masyarakat yang berperadaban adalah masyarakat yang berpendidikan. Hal ini sesuai dengan konsep pendidikan yang dikemukakan oleh Muhammad Naqib Al-attas menurutnya pendidikan Islam itu lebih tepat diistilahkan dengan at-ta’dib (disbanding istilah tarbiyah, ta’lim dan lainnya) sebab dengan konsep “ta’dib” pendidikan memberikan adab/kebudayaan. Dengan istilah ini juga dimaksudkan pendidikan berlangsung dengan terfokus pada manusia sebagai objeknya guna pemenuhan potensi intelektual dan spiritual.
Seiring dengan kemajuan zaman dan teknologi yang semakin pesat, secara otomatis menuntut adanya penyesuaian-penyesuaian atau pembaharuan (inovasi) dalam bidang pendidikan. Pendidikan tidak cukup lagi diselenggarakan secara tradisional, berjalan apa adanya tanpa adanya target yang jelas dan tidak adanya prosedur pencapaian target yang terbukti efektif dan efesien. Apabila kita tetap mempertahankan cara-cara tradisional tanpa mengadakan perubahan sama sekali, maka jelaslah umat Islam dan pendidikan Islam akan semakin jauh teringgal dalam segala aspek. Untuk itulah perlu adanya inovasi dalam pendidikan Islam agarterlahir pendidikan Islam yang berkualitas.
Modernisasi Pesantren; Kritik Nurholish Madjid Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), h. 59


BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Inovasi Pendidikan
Sebelum dijelaskan tentang pengertian inovasi pendidikan terlebih dulu akan dijelaskan arti inovasi secara umum. Kata “inovasi” berasal dari innovation (Inggris) atau tajdid (Arab), sering diterjemahkan sebagai suatu hal yang baru atau pembaharuan, namun ada pula yang menggunakan kata tersebut untuk menyatakan penemuan (invention), karena hal yang baru itu merupakan hasil penemuan. Ada juga yang mengkaitkan antara pengertian inovasi dengan “modernisasi”, karena keduanya membicarakan usaha pembaharuan.
Berdasarkan beberapa pengertian dasar tersebut kata inovasi dapat diartikan sebagai: Suatu ide, barang, kejadian, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai suatu hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyaraka) ,baik itu hasil invensi atau discovery.
Sedangkan istilah pendidikan Islam pada umumnya mengacu kepada term at-Tarbiyah, al-Ta’dib dan al-Ta’lim, pengertian dasarnya menunjukkan makna tumbuh, berkembang, memelihara, merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian dan eksistensinya.
Sedangkan secara filosofis mengisyaratkan bahwa proses pendidikan islam adalah bersumber pada pendidikan yang diberikan Allah sebagai “pendidik” seluruh ciptaan-Nya, termasuk manusia.
Jadi yang dimaksud dengan inovasi pendidikan Islam dapat diartikan sebagai pembaharuan untuk memecahkan masalah di dalam pendidikan Islam. Atau dengan perkataan lain, inovasi pendidikan Islam ialah suatu ide, barang, metode, yang dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok orang (masyarakat) baik berupa hasil penemuan (invention), atau discovery, yang digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan Islam.
Pembaharuan atau tajdid dalam Islam atau pendidikan Islam adalah sesuatu yang fitrah atau tabie sifatnya. Islam bukanlah suatu agama yang beku dalam pemikiran dan statik dalam amalan. Dinamika Islam memberikan ruang kepada kreativiti wujud. Kreativiti dalam pemikiran adalah dituntut tanpa menolak faktor syara’. Berfikir reflektif adalah suatu keperluan kerena perubahan hari ini dan hari depan berasaskan cerminan masa lalu supaya wujud kesinambungan antara yang lepas dengan hari ini. Apa yang berlaku pada masa lalu memberikan kita landasan tradisi yang baik. Keupayaan umat Islam mengimbangi faktor perubahan zaman ialah kebijaksanaan menjembatani faktor tradisi yang baik dan cemerlang dengan faktor perubahan kini yang tidak lari dari kerangka fitrah.
B. Paradigma Pendidikan Islam dan Implikasi Pengembangannya
Bertolak dari asumsi bahwa life is education and education is life (lodge, 1947), dalam arti pendidikan merupakan persoalan hidup dan kehidupan manusia adalah proses pendidikan maka pendidikan Islam pada dasarnya hendak mengembangkan pandangan hidup Islami, yang diharapkan tercermin dalam sikap hidup dan keterampilan hidup orang Islam.
Apa pandangan dan sikap hidup kita? Hal ini bias dipahami dari makna hidup itu sendiri yang dalam bahasa arab disebut dengan al-hayah. Makna al-hayah (hidup) adalah al-harakah (bergerak atau gerakan/kegiatan), dan al-harakah adalah al-barkah (bergerak atau beraktivitas yang bias mendatangkan berkah), dan al-barkah adalah al-ziyadah (nilai tambah dalam hidup), al-ni’mah (kenikmatan atau kenyamanan hidup), dan al-sa’adah (kebahagiaan). Karena itu, pandangan hidup yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup seseorang harus bias mendatangkan berkah, yakni nilai tambah, kenikmatan, dan kebahagiaan dalam hidup.
Namun demikian, timbul pula pertanyaan: apa saja aspek-aspek kehidupan itu? Dalam konteks inilah para pemikir dan pengembang pendidikan Islam mempunyai visi yang berbeda. Perbedaan tersebut tidak bias dilepaskan dari sistem politik dan latar belakang sosio-kultural yang mengitarinya. Secara historis-sosiologis, setidak-tidaknya telah muncul beberapa paradigma perkembangan pendidikan Islam sebagai berikut.
1. Paradigma Formisme
Di dalam paradigma ini, aspek kehidupan dipandang sangat sederhana, dan kata kuncinya adalah dekotomi atau diskrit. Segala sesuatu hanya dilihat dari dua sisi yang berlawanan, seperti laki-laki dan perempuan, ada dan tidak ada, bulat dan tidak bulat, madrasah dah non madrasah, pendidikan keagamaan dan nonkeagamaan atau pendidikan agama dan pendidikan umum, demikian seterusnya.
Padangan yang dikotomis tersebut pada giliran selanjutnya dikembangkan dalam melihat dan memandang aspek kehidupan dunia dan akhirat, kehidupan jasmani dan rohani sehingga pendidikan Islam hanya diletakkan pada aspek kehidupan akhirat saja atau kehidupan rohani saja. Seksi yang mengurusi masalah keagamaan disebut sebagai seksi kerohanian.
Dengan demikian pendidikan keagamaan dihadapkan dengan pendidikan nonkeagamaan, pendidikan keislaman dengan pendidikan nonkeislaman, pendidikan agama dengan pendidikan umum, demikian seterusnya, sehingga pendidikan Islam (al-Tarbiyah al-Islamiyah) berarti al-tarbiyah al-diniyah/pendidikan keagamaan, ta’lim al-din/pengajaran agama, al-ta’lim al-dini/pengajaran keagamaan, atau al-ta’lim al-islami/pengajaran keislaman dalam rangka tarbiyah al-muslimin (mendidik orang-orang Islam).
Karena itu pengembangan pendidikan Islam hanya berkisar pada aspek keukhrowian saja yang terpisah dengan kehidupan duniawi, atau aspek kehidupan rohani yang terpisah dengan kehidupan jasmani. Pendidikan (agama) Islam hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sedangkan kehidupan ekonomi, politik, seni budaya, ilmu pengetahuan dan teknologi dan sebagainya dianggap sebagai urusan duniawi yang menjadi bidang garapan pendidikan umum (nonagama). Pandangan dikotomis inilah yang menimbulkan dualisme dalam system pendidikan. Istilah pendidikan agama dan pendidikan umum, atau ilmu agama dan ilmu umum sebenarnya muncul dari paradigma formisme tersebut.
Adanya perubahan dan/atau penyempitan pengertian ulama menjadi fuqaha, sebagai orang-orang yang hanya mengerti soal-soal keagamaan belaka sehingga tidak dimasukkan ke dalam barisan intelektual, juga merupakan implikasi dari pandangan dikotomis tersebut. Menurut Azyumardi Azra (1999, hlm. 159-160) , pemahaman semacam itu muncul ketika umat Islam Indonesia mengalami masa penjajahan yang sangat penjang, di mana umat Islam mengalami kelatarbelakangan dan disintergrasi dalam berbagai aspek kehidupan masyarakat. Pembenturan umat Islam dengan pendidikan dan kemajuan Baratmemunculkan kaum intelektual baru (cendikiawan sekuler), yang menurut Benda (dalam Sartono Kartodirjo, ed, 1981) sebagian besar kaum intelektual tersebut adalah hasil pendidikan Barat yang terlatih berpikir secara Barat. Dalam proses pendidikannya, mereka mengalami brain washing (cuci otak) dari hal-hal yang berbau Islam, sehingga mereka menjadi teralienasi (terasing) dari ajaran-ajaran Islam dan muslim sendiri. Bahkan terjadi gap antara kaum intelektual baru (sekuler) dengan intelektual lama (ulama), dan ulama dikonotasikan sebagai kaum sarungan yang hanya mengerti soal-soal keagamaan dan buta masalah keduniaan.
Paradigma formisme mempunyai implikasi terhadap pengembangan pendidikan Islam yang lebih berorientasi pada keakhiratan, sedangkan masalah dunia dianggap tidak penting, serta menekankan pada pendalaman al-‘ulum al-diniyah (ilmu-ilmu keagamaan yang merupakan jalan pintas untuk menuju kebahagiaan akhirat, sementara sains (ilmu pengetahuan) dianggap terpisah dari agama. Demikian pula dengan pendekatan yang dipergunakan lebih bersifat keagamaan yang normative, doktriner dan absolutis. Peserta didik diarahkan untuk menjadi pelaku (actor) yang loyal (setia), memiliki sikap cumitment (keperpihakan), dan dedikasi (pengabdian) yang tinggi terhadap agama yang dipelajari. Sementara itu kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, analitis-kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman sehingga perlu ditindih oleh pendekatan keagamaan yang normative dan doktriner tersebut.
Di dalam Islam padahal tidak pernah membedakan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu umum (keduniaan), dan/atau tidak berpandangan dikotomis mengenai ilmu pengetahuan. Namun demikian, dalam realitas sejarahnya justru supremasi lebih diberikan pada ilmu-ilmu agama (al-‘ulum al-diniyah) sebagai jalan tol untuk menuju Tuhan. Sehingga menyebabkan kemunduran peradaban Islam serta keterbelakangan sains dan teknologi di dunia Islam. Hal ini terjadi bukan saja karena faktor dari luar tapi juga banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor dari diri umat Islam itu sendiri, yang kurang peduli terhadap kebebasan penalaran intelektual dan kurang menghargai kajian-kajian rasional-empiris atau semangat pengembangan ilmiah dan filosofis. Dengan kata lain, paradigma formisme dijadikan sebagai titik tolak dalam pengembangan pendidikan Islam.
2. Paradigma Mekanisme
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (Depdikbud, 1988), secara etimologis, mechanism berarti: hal kerja mesin, cara kerja suatu organisasi, atau saling bekerja seperti mesin, kalau yang satu bergerak maka yang lain turut bergerak.
Paradigma mechanism memandang kehidupan terdiri atas berbagai aspek, dan pendidikan dipadang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan, yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut fungsinya, bagaikan mesin yang terdiri beberapa komponen atau elemen-elemen, yang masing-masing menjalankan fungsinya sendiri-sendiri, dan antara satu dengan yang lainnya bisa saling berkonsultasi atau tidak.
Aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan itu sendiri, terdiri atas nilai agama, nilai individu, nilai social, nilai politik, nilai ekonomi, nilai rasional, nilai aestik, nilai beofisik, dan lain-lain. Dengan demikian, aspek atau nilai agama merupakan salah satu aspek atau nilai kehidupan dari aspek-aspek atau nilai-nilai kehidupan lainnya. Hubungan antara nilai agama dengan nilai-nilai lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (independent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertical linier (Muhaimin, 1995).
Umat Islam di didik dengan seperangkat ilmu pengetahuan atau mata pelajaran, salah satunya adalah mata pelajaran pendidikan agama yang mempunyai yang mempunyai fungsi tersendiri, yaitu sebagai:
1. Pengembangan dan peningkatan keimanan dan ketakwaan
2. Penyaluran bakat dan minat dalam mendalami agama.
3. Perbaikan kesalahan, kekurangan dan kesalahan dalam keyakinan, pemahaman dan pengamalan ajaran agama.
4. Pencegahan hal-hal negatif dari lingkungannya atau budaya asing yang berbhaya.
5. Sumber nilai atau pedoman hidup untuk mencapai kebahagiaan dunia akhirat.
6. Pengajaran atau penyampaian pengetahuan keagamaan (Muhaimin, 1996).
Jadi, pendidikan agama lebih menonjolkan fungsi moral dan spiritual atau dimensi afektif daripada kognitif dan psikomotor, dalam arti dimensi kognitif dan psikomotor diarahkan untuk pembinaan afektif (moral dan spiritual), yang berbeda dengan mata pelajaran lainnya.
Paradigma tersebut nampak dikembangkan pada sekolah atau perguruan tinggi umum yang bukan berciri khas agama Islam. Di dalamnya diberikan seperangkat mata pelajaran atau ilmu pengetahuan (mata kuliah), salah satunya adalah mata pelajaran atau mata kuliah pendidikan agama yang hanya diberikan 2 jam pelajaran perminggu atau 2 sks, dan didudukkan sebagai mata kuliah dasar umum, yakni sebagai upaya pembentukan kepribadian yang relegius.
Sebagai implikasinya, pengembangan pendidikan Islam dalam arti pendidikan agama tersebut bergantung pada kemauan, kemampuan, dan political-will dari pembinanya dan sekaligus pimpinan dari lembaga pendidikan tersebut, terutama dalam membangun hubungan kerjasama dengan mata pelajaran (kuliah) lainnya. Hubungan (relasi) antara pendidikan agama dengan beberapa mata pelajaran (mata kuliah) lainnya dapat bersifat horizontal-lateral (independent), lateral-sekuensial, atau bahkan vertical linier.
3. Paradigma Organisme
Istilah “organism” dapat berarti: benda hidup (plants, animals and bacteria are organism), dan dapat berarti kesatuan yang terdiri atas bagian-bagian yang rumit (salim, P, 1996). Dalam pengertian kedua tersebut, paradigma organism bertolak dari pandangan bahwa Pendidikan Islam adalah kesatuan atau sebagai sitem (yang terdiri atas komponen yang rumit) yang berusaha mengembangkan pandangan/semangat hidup (weltanschauung) Islam, yang dimanifestasikan dalam sikap hidup dan keterampilan hidup Islami.
Dalam konteks pandangan semacam itu, al-tarbiyah al-islamiyah (pendidikan Islami) berarti al-tarbiyah fi al-Islam (pendidikan dalam Islam) dan al-tarbiyah ‘inda al-muslimin (pendidikan dikalangan orang-orang Islam). Pengertian ini menggaris bawahi pentingnya kerangka pemikiran yang dibangun dari fundamental doctrins dan fundamental values yang tertuang dan terkandung dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah shahihah sebagai sumber pokok, kemudian mau menerima kontribusi dari para ahli serta mempertimbangkan konteks historisnya. Karena itu, nilai Ilahi/agama/wahyu didudukkan sebagai sumber konsultasi yang bijak, sementara aspek-aspek kehidupan lainnya didudukkan sebagai nilai insane yang mempunyai relasi horizontal-lateral atau lateral-sekuensial, tetapi harus berhubungan vertical-linier dengan nilai ilahi/agama.
Melalui upaya semacam itu maka sistem pendidikan Islam diharapkan dapat mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik, serta mampu melahirkan manusia-manusia yang menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki kematangan professional, dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama.
C. Inovasi Pendidikan Islam Menuju Pendidikan Islam Utama
Prof. Dr. Taha Jabir , seorang tokoh ilmuan Islam menyebutkan umat Islam berada di tiga persimpangan. Pertama terus menggunakan ilmu-ilmu yang sifatnya traditional dengan metodologinya sekali. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan authentic atau kekal seaslinya. Kedua, umat Islam berhadapan dengan faktor perubahan zaman yang dikatakan moden yaitu berlakunya dinamika ilmu dikembangkan dengan menggunakan kekuatan metodologi terkini. Pendekatan ini disebut sebagai pendekatan modernistik. Ketiga , umat Islam perlu menyaring asas tradisi, memilih asas-asas prinsipnya dan mengolahnya semula menggunakan pendekatan terkini supaya faktor perubahan berlaku tanpa menghilangkan maksud keaslian dan tradisinya. Ini disebut sebagai pendekatan eklektik. Pendekatan eklektik belum begitu berkembang dan sering menerima kritik. Pengkritik yang cenderung kepada asas epistemologi atau asas-usul ilmu sering tidak setuju sementara yang lain merasakan suatu kewajaran kerena meskipun metodologinya dinamik, prinsip dan ruh ilmu dan pendidikan tetap tidak berubah.
Hal ini senada dengan salah satu prinsip pendidikan Islam yang dikemukakan oleh Muhammad Munir Mursi dalam bukunya Al-Tarbiyah al-Islamiyah Ushuluha wa Tathawuruha fi al-Bilad al-Arabiyah, “Pendidikan Islam adalah pendidikan yang terbuka”. Hal ini dipahami bahwa Islam merupakan agama Samawi, yang memiliki nilai-nilai absolute dan universal, namun masih mengakui keberadaan nilai-nilai yang berlaku pada masyarakat. Islam berpandangan, tidak semua nilai yang telah melembagakan dalam satu tata kehidupan masyarakat, diterima atau ditolak. Sikap Islam dalam menghadapi tata nilai masyarakat, di dasarkan pada lima macam klasifikasi yaitu:
1) Memilihara unsure-unsur nilai dan norma yang sudah mapan dan positif
2) Menghilangkan unsure-unsur nilai dan norma yang sudahmapan tetapi negatif.
3) Menumbuhkan unsur-unsur nilai dan norma baru yang belum ada dan dianggap positif
4) Bersikap menerima (receptive), memilih (selective), mencerna (digestive), menggabung-gabungkan dalam satu system (assimilative), dan menyampaikan pada orang lain (transmissive) terhadap nilai pada umumnya.
Jadi pendidikan Islam pada dasarnya bersifat terbuka, demokrasi dan universal. Tetapi keterbukaan pendidikan Islam bukan berarti tidak disertai dengan fleksibelitas untuk mengadopsi (menyerap) unsur-unsur positif dari luar, sesuai perkembangan dan kepentingan masyarakatnya, dengan tetap menjaga dasar-dasarnya yang orginal (shahih) yang bersumber dari Al-Qur’an dan Al-Hadits. Hal ini ditulis dalam sebuah postulat yang popular المحافظة على القديم الصالح، والأخذ بالجديد الأصلح. “Melestarikan nilai-nilai lama yang positif dan mengambil nilai-nilai yang baru yang lebih positif”. Keterbukaan seperti inilah yang memungkinkan pembharuan (inovasi) dalam pendidikan Islam, bukan saja karena tuntutan zaman, tetapi bersamaan dengan itu pembaharuan diperlukan karena hajat untuk memperbaiki kemaslahatan kaum muslimin sendiri.
Berdesarkan fenomena di atas maka perlu adanya gagasan baru/pembaharuan (inovasi) pendidikan Islam di Indonesia dalam masa yang akan datang antara lain: perlu mengubah dan mengembangkan paradigma lama menjadi paradigma baru. Jadi kita harus mau meninggalkan yang sudah idak sesuai (relevan) dengan tuntutan era informasi dan demokrasi. Perlu mengembangkan nilai-nilai lama yang sekiranya masih dapat dimanfaatkan dan ciptakan pandangan baru yang sesuai dengan kebutuhan zaman. Untuk itu perlu adanya tawaran gagasan-gagasan untuk menata ulang pemikiran sistem pendidikan nasional. Meskipun pendidikan mempunyai banyak nama dan wajah, seperti pendidikan keluarga, sekolah, masyarakat, pondok pesantren, program deploma, dan lainnya, namun pada hakekatnya pendidikan adalah mengembangkan semua potensi daya manusia menuju kedewasaan sehingga mampu hidup mandiri dan mampu pula mengembangkan tata kehidupan bersama yang lebih baik sesuai dengan tantangan atau kebutuhan zamannya. Dengan kata lain bahwa hakekat pendidikan adalah mengembangkan human dignity yaitu harkat dan martabat manusia atau humanizing human, yaitu memanusiakan manusia sehingga benar-benar mampu menjadi khalifah di muka bumi. Oleh kerena itu berikan ruang lebih banyak bagi sekolah (khususnya swasta) dan madrasah untuk mengembangkan jati diri dan menempuh cita-citanya.
M. Sulthon Masyhud, et.al, Manajemen Pondok Pesantren, (Jakarta: Diva Pustaka, 2005), Cet. Ke-2, h. 64
Al-Rasyidin dan Samsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Press, t.th), hal.25
http://cmm.or.id/cmm-ind_more.php?id=490_0_3_0_M16
Muhaimin, et.al, Paradigma Pendidikan Islam, Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama Islam di Sekolah, (bandung: Rrmaja Rosdakarya, 2004), Cet-3, h. 39-46
Maksum Mukhtar, Madrasah Sejarah dan Perkembangannya, Cet III. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 2001), h. 33
Muhammad Tholchah Hasan, Islam dalam Perspektif Sosial Budaya, (Jakarta: Galasa Nusantara, 1987), h.19
Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta: Rajawal Pers, 1996), h. 163
Departemen Agama RI, Rekontruksi Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, (Jakarta, 2005), h. 101-102

BAB III
PENUTUP
Simpulan
Islam bukan agama yang bek dalam pemikiran dan statistic dalam amalan. Pendidikan agama Islam bukan sekedar pendidikan yang berkutat pada urusan Ukhrawi saja, tanpa mengindahkan urusan-urusan dunia. Hal ini senada dengan apa yang disabdakan Rasulullah SAW. Yang maksudnya “Barangsiapa menghendaki dunia maka hendaklah ia berilmu, dan barangsiapa menginginkan akhirat maka hendaklah juga ia berilmu dan siapa yang menghendaki keduanya (dunia dan akhirat) maka dengan ilmu juga.” Dari sini jelaslah islam tidak membedakan antara ilmu dunia dengan ilmu umum. Keduanya sama-sama penting bagi manusia di dunia ini untuk menyempurnakannya sebagai khalifah fil ardh.
Inovasi pendidikan Islam berarti mengadakan pembaharuan. Dengan pembaharuan bukan berarti umat ini menghilangkan atau mengabaikan nas-nas atau aturan-atauran agama, tradisi masyarakat yang sudah mapan dan positif. Tapi pembaharuan hanya dilakukan pada hal-hal yang sudah tidak relevan lagi pada saat ini dengan tanpa melanggar rambu-rambu agama. Dalam arti lain melestarikan nilai-nilai lama yang positif dan mengambil nilai-nilai baru yang lebih positif.
Budidaya Jamur Merang
(Volvariella volvaceae)
JAMUR, dalam sejarah telah dikenal sebagai makanan sejak 3000 tahun yang lalu, dimana jamur menjadi makanan khusus buat raja Mesir yang kemudian berkembang menjadi makanan spesial bagi masyarakat umum karena rasanya yang enak. Di Cina, pemanfaatan jamur sebagai bahan obat-obatan sudah dimulai sejak dua ribu tahun silam.
Jamur merang merupakan jenis jamur yang pertama kali dapat dibudidayakan secara komersial. Di Cina jamur merang mulai dibudidayakan sejak pertengahan abad 17, dan di Indonesia tanaman ini diperkirakan mulai dibudidayakan sekitar tahun 1950-an.

I. Pembuatan Kumbung
A. Penentuan Lokasi :
Sketsa Kumbung Jamur Merang
1. Sumber jerami
2. Sumber air
3. Jalan
B. Persyaratan Kumbung :
• Dinding dalam dan atas menggunakan plastik polyetilen.
• Dinding luar menggunakan sterofoam.
• Kumbung lebih baik ditempat
C. Perbedaan kumbung :
Foto Kumbung Jamur Merang
• Kumbung atas lancip : bila panas maka uap akan mengalir ke samping. Digunakan untuk kumbung yang memiliki satu rak ditengah.
• Kumbung atas datar : uap air akan jatuh ketengah-tengah kumbung. Digunakan untuk kumbung yang memiliki dua rak
II. Media
1. Jerami
2. Kapur CaCO3
3. Dedak
4. Limbah kapas
a) Jerami mengandung :
• Lignin
• Selulosa
• Silicca
b) Alternatif jerami :
• Alang-alang
• Eceng gondok
• Batang jagung
• Kelaras pisang
c) Alternatif limbah kapas :
• Hampas sagu
• Hampas tahu
• Hampas tempe
• Hampas kapuk
III. Pembuatan Kompos
1. Lapisan atas : kompos kapas
2. Lapisan bawah : kompos jerami
IV. Memasukkan Kompos
1. ±10 hari kompos jerami masuk kumbung, simpan setinggi ±40 cm/rak.
2. Lapisi ± 0,5 cm kompos kapas yang telah dikompos selama 1 bulan.
3. Pasteurisasi sampai suhu 70°C, pertahankan 4-5 jam.
4. Penanaman dilakukan bila suhu < 40°C.
V. Pasteurisasi / Steam
Peralalatan Pasteurisasi
1. Lantai kumbung dibersihkan.
2. Peralatan untuk wadah penanaman bibit harus disertakan dalam pasteurisasi.
3. Semua ruang tertutup.
4. Drum pasteurisasi diisi penuh, salurkan pipa ke dalam kumbung.
5. Setelah mencapai 70°C (biasanya setelah 7-8 jam). Suhu dipertahankan selama 4-5 jam
6. Penanaman bibit dilakukan setelah istirahat 1 hari.
Catatan : - bila penyeteaman tidak matang, maka jendela harus dibuka agar amoniak keluar.
- bila penyeteman matang, maka jendela ditutup saja.
VI. Penanaman Bibit
1. pH diusahakan mencapai 7 / netral.
2. Peralatan untuk penanaman yang telah di pasteurisasi disiapkan untuk diisi bibit.
3. Bibit log dihancurkan agar lembut. ( 1 log untuk 1m2)
4. Bibit ditabur pada 2/3 media dari tinggi media / tengahnya tidak di tabur.
5. Bibit sempilan di tanam di bawah media gulungan sebanyak 2 tempat tanam.
6. Bisa juga dibuat bantalan di tiang danditanami bibit.
Penebaran Bibit Jamur

7. Hari I : penanaman dilakukan sore hari.
8. Hari II : pertumbuhan miselium diperhatikan.
9. Hari III : - Bila bibit telah keluar miselium, maka langsung disiram.
- Bila bibit belum tumbuh, maka penyiraman dilakukan hari ke 4.
- Penyiraman bibit dilakukan pada tengah hari ± pkl 13.00
10. Hari IV : mulai hari ke 4, pintu & jendela dibuka antara pkl 06.00-06.15.
11. Hari V : jendela dibuka 15°. Pintu di buka pkl 00.00 selama ½ jam.
12. Hari VI : jendela di buka 30 °.
13. Hari VII : jendela di buka 45°.
14. Hari VIII : jendela di buka 60-90° / bila jamur tumbuh besar.
15. Panen selanjutnya jendela dibuka terus sampai selesai.

VII. Pemeliharaan Media
Jamur berumur 7 hari setelah tanam
1. Penyiraman dilakukan 3 atau 4 hari setelah tanam. Untuk mengubah masa vegetatif menjadi masa generatif. Karena penyiraman dilakukan pada siang hari sehingga jamur menjadi stress dan mengubah fase tanam.
2. Temperatur ruangan 34-36°C.
3. Temperatur media 34- 38°C.
4. Bila temperatur media mencapai 38°C atau lebih maka akan tumbuh cendawan Monilia,
tumbuh antara hari ke V – VIII.


VIII. Panen
1. Ciri jamur siap tanam :
• Bila masih ada tonjolan , panen dilakukan keesokan harinya.
• Bila bulat sudah merata , jamur siap panen.
2. Cara panen jamur :
• Lebih baik tidak menggunakan kuku tangan, tetapi menggunakan pisau yang telah disterilkan.
• Tinggalkan / sisakan sedikit pangkal buah jamur yang di panen.
• Media tidak boleh terangkat.
3. Penyebab menurunnya kualitas jamur merang (bercak-bercak):
• Pasteurisasi tidak matang
• Dedak tidak matang
4. Penyebab jamur pecah :
• Suhu terlalu tinggi
• Terlambat waktu panen.

Budidaya Jamur Merang
Untuk anda yang suka atau hobi pada bisnis hortikultura ini ada info seputar Budidaya Jamur Merang, info ini saya kutip dari milis , nah ini salah satu keuntungan dari mengikuti milis nih…selain nilai silaturahmi , juga ada nilai bisnis nya juga…. Semoga bermanfaat
Saya ada sedikit info untuk budidaya jamur merang.
dulu (+/- 3 thn yl) saya sempat menjadi petani langsung.
Sebagai gambaran dasar dan hal yang harus disiapkan sebelum berbudidaya jamur merang.
1. Lahan harus pasti cukup luas (untuk satu kubung tempat penanaman perlu +/- lahan 5×12 m)
2. kapasitas satu kubung untuk satu siklus tanam (+/-) satu bulan antara 300 s.d. 400 kg jamur. Idealnya kalau kita pingin panen tidak terputus dan tenaga kerja bisa efisien kita harus memiliki paling tidak 6 s.d 8 kubung.
3. Lokasi harus dekat dengan bahan baku, terutama Merang/ jerami / batang padi sisa panen padi
4. Sumber air harus cukup bagus.
5. Diusahakan jauh dari pemukiman warga, karena ada bau tidak sedap diantara proses vermentasi/ pembusukan jerami/merang.
6. Untuk proses sterilisasi dan penguapan ruang sebelum penyebaran bibit, saat itu saya menghabiskan rata-rata 120 liter minyak tanah dalam waktu +/- 12Jam
7. Bahan baku lain yang harus diperhatikan limbah kapuk kapas (bukan kapas sintetis) karena konsumsinya cukup banyak juga setiap siklusnya.
mungkin itu yang bisa saya sampaikan.
apabila anda tertarik untuk mendalami Budidaya Jamur Merang lebih jauh, silahkan berkunjung ke sentra petani Jamur Merang di daerah Ceger – sebelah utara Pasar Cikarang.
Saya sudah cukup lama tidak kontak dengan mereka disana.
Disana ada satu orang mentor di bidang Budidaya Jamur Merang, petani otodidak yang cukup dijadikan nara sumber, Bp. Guntur.
Bila anda berkenan dan apabila sudah sampai di daerah Ceger, tidak susah untuk menemukan rumah Bapak Guntur.
Demikian info tentang Budidaya Jamur Merangyang bisa saya sampaikan, semoga membantu
salam hangat
Info update :
Pembudidaya jamur merang, tiram di Depok,
menjual bibit, dan jamur segar.
hubungi: Idris 021-33044228
Berita mengenai Jamur merang di instansi terkait :
Masyarakat di Desa Citarik, Kecamatan Tirtamutya, kabupaten Karawang Dalam budidaya jamur ini, mereka memanfaatkan limbah tanaman padi, yaitu jerami (merang), sebagai media penumbuhan jamur. Walaupun berdasarkan basil perhitungan analisis usaha tani usaha jamur merang ini cukup menguntungkan, namun belum banyak masyarakat yang mengusahakannya,
Salah satu penyebab kurang berkembangnya budidaya jamur merang di sini adalah terlalu dominannya peran pedagang pengumpul , dalam menentukan harga jual jamur merang. Masalah lain yang dikeluhkan oleh petani jamur merang adalah kualitas bibit jamur merang yang rendah, sehingga produktivitas yang dihasilkan juga rendah.
Melalui kegiatan PRIMA TANI telah dikembangkan beberapa inovasi, seperti pembenahan kelembagaan pengelolaan usaha jamur merang, teknik budidaya jamur merang (termasuk perbaikan media tanam), dan pemumian bibit jamur merang. Hasil dari introduksi inovasi tersebut ternyata cukup menggembirakan, yang salah satunya ditunjukkan oleh meningkatnya produksi rata-rata jamur merang per kumbung per musim tanam di Desa Citarik menjadi sekitar 115 kg (sebelumnya hanya sekitar 75 kg per kumbung per musim tanam). Dari 12 kumbung yang ada saat ini telah dapat dihasilkan jamur merang sekitar 1 ton per bulan dengan harga jamur merang sekitar Rp. 10.000 – Rp. 11.000 per kg.
Sumber Info berita : Jamur Merang Menjadi Andalan Pendapatan Petani Karawang
Info Lain seputar Budidaya Jamur Merang dari badan pemerintah bisa lihat di :
bbpp-lembang.info
A. SURAT AL-AHZAB AYAT: 59
 •                      
B. MUFRODAT Istri-istriMu اَ Anak perempuanMu  


 Diganggu 

C. TERJEMAH
Artinya: Hai Nabi,Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, Karena itu mereka tidak di ganggu dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS.Al-Ahzab:59)
D. ASBABUN NUZUL
Ahli-ahli tafsir meriwayatkan tentang latar belakang turunya ayat yang mulia ini, yaitu bahwa (dahulu) perempuan merdeka dan amat (hamba sahaya) biasa keluar malam untuk menunaikan hajat (buang air) di antara dinding-dinding dan pohon-pohon kurma, tanpaada (ciri-ciri) pembeda antara yang merdeka dan amat (dari segi pakaian mereka), sedang pada waktu itu di madinah banyak orang-orang fasiq yang biasa mengganggu hamba-hamba perempuan (amat, jamak: ima’) dan kadang-kadang juga kepada perempuan-perempuan merdeka. Kalau mereka ditegur maka jawabanya: kami hanya mengganggu hamba-hamba perempuan. Maka perempuan-perempuan merdeka disuruh membedakan diri dalam hal pakaian dengan amat, agar mereka dihormati disegani dan tidak merangsang keinginan orang-orang yang jiwanya yang berpenyakit (hidung belang).
Kemudian turun firman Allah: Hai Nabi! Katakanlah kepada isteri-isterimu.Ibnu Jauzi berkata: Sebab turunya ayat ini ialah, bahwa orang-orang fasiq biasa mengganggu perempuan-perempuan pada waktu keluar malam, tetapi kalau mereka melihat oarng yang berjilbab mereka enggan mengganggunya dan mereka berkata: Ini perempuanmerdeka! Dan apabila mereka melihat seorang perempuan tanpa jilbab,mereka berucap: Inilah Amat! Lalu mereka mengganggunya.
E.AYAT-AYAT LAIN SEBAGAI PERDUKUNG
Dalam Qur’an surat Al-Ahzab dijelaskan bahwa kewajiban berjilbab bersifat kondisional,bukan kewajiban mutlak.Artinya apabila disuatu masa,di suatu daerah ataupun disuatu tempat dimana orang berpakaian mini,misalnya dapat membangkitkan nafsu seks lawan jenisya,sehingga mendorongnya untuk mengganggu wanita tersebut maka dalam kondisi yang begini si wanita itu wajib memakai jilbab supaya ia tidak diganggu.
Dikarenakan pada ayat tersebut tidak secara mutlak memerintahkan kaum wanita memakai jilbab untuk menutupi aurat,maka Allah melengkapi dengan:
1. surat An-Nur ayat 31
                                                                             •     
Artinya: Katakanlah kepada wanita yang beriman: "Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya kecuali yang (biasa) nampak dari padanya, dan hendaklah mereka menutupkan kain kudung kedadanya, dan janganlah menampakkan perhiasannya kecuali kepada suami mereka, atau ayah mereka, atau ayah suami mereka, atau putera-putera mereka, atau putera-putera suami mereka, atau Saudara-saudara laki-laki mereka, atau putera-putera saudara lelaki mereka, atau putera-putera saudara perempuan mereka, atau wanita-wanita islam, atau budak- budak yang mereka miliki, atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita. dan janganlah mereka memukulkan kakinyua agar diketahui perhiasan yang mereka sembunyikan. dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, Hai orang-orang yang beriman supaya kamu beruntung.
2.Surat Al-A’raf ayat 26
          •           
Artinya: Hai anak Adam,Sesungguhnya kami Telah menurunkan kepadamu Pakaian untuk menutup auratmu dan Pakaian indah untuk perhiasan. dan Pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat.

Ayat-ayat tersebut secara tegas meminta kaum wanita agar menjaga kehormatan dan menutup aurat mereka dari orang-orang yang tidak boleh melihatnya.Dengan menggabungkan ketiga ayat tersebut maka dapat dipahami bahwa yang diperlukan oleh Al-Qur’an ialah menutup aurat bukan memakai jilbab.Dengan perkataan lain,apabila aurat sudah tertutup maka model pakaian tidak menjadi problema,artinya kita mau memakai jilbab model arab ataupun model sumatra tidak ada masalah yang penting kita menutup aurat.
F.TAFSIR
1. Allah SWT dalam memerintahkan kepada perempuan- perempuan untuk berjlbab secara syar’i, memulai dengan menyuruh istri-istri Nabi dan putri-putrinya. Ini memberi petunjuk bahwa, mereka adalah wanita-wanita panutan yang menjadi ikutan semua wanita sehingga mereka wajib berpegangan adab syar’i untuk diikuti wanit-wanita lainya karena da’wah tidak akan membuahkan suatu hasil melainkan apbila da’inya memulai dari dirinya sendiri dan keluarganya. Memang siapa lagi yang lebih konsekuen melaksanakan adab syar’i kalau bukan keluarga Nabi? Inilah rahasianya, mengapa mereka didahulukan oleh Allah SWT dalam perintah-Nya kepada kaum wanita untuk berhijab, dalam firman-Nya: “Katakanlah kepada istrimu-istrimu, anak-anak perempuanmu...dst.”.
2. Perintah berhijab ini ditururnkan setelah diwajibkanya menutup aurat, maka yang dimaksud dengan berhijab disini adalah menutup anggota badan selain aurat itu sendiri. Oleh karena itu para ahli tafsir sepakat meskipun ada perbedaan dalam redaksional bahwa yang dimaksud “jilbab” yaitu: selendang yang berfungsi menutup seluruh tubuh wanita diatas pakainya, yang dimasa kini lazim disebut mula’ah dan bukan sekedar menutup aurat seperti dugaan sebagian orang.
3. Penegasan dengan perincian : “istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang-orang mukmin” itu, menolak dengan tegas pendapat orang-orang yang menduga bahwa perintah berhijab itu hanya khusus diwajibkan bagi istri-istri Nabi saja, sebab kata-kata “dan istri-istri orang-orang mukmin” menunjukan secara pasti (qath’i), bahwa seluruh wanita muslimah wajib berjilbab dan mereka seluruhnya terkena khitab yang umum ini.
4. Allah menyuruh perempuan-perempuan merdeka untuk berjilbab agar berbeda dengan hamba-hamba perempuan. Ayat ini turun bukan khusus berkenaan konteks menutup aurat perempuan, tapi lebih itu, yakni agar mereka tidak diganggu oleh pria-pria nakal atau usil, itu sebagai illat atau hikmah atas diwajibkanya berjilbab, sedang semua hukum syar’i itu diperintahkan karena adanya suatu hikmah.
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Psikologi merupakan perkembangan ilmu pengetahuan dan merupakan cabang dari ilmu pengetahuan psikologi pada umumnya.ilmu tersebut menguraikan tentang kegiatan-kegiatan manusia dalam berinteraksi dengan masyarakat lainya baik secara formal maupun non formal,berinteraksi secara formal contohnya kegiatan belajar mengajar sedangkan yang non formal contohnya kegiatan sehari-hari yang berhubungan dengan masyarakat.Oleh sebab itu disini kami akan sedikit menguraikan tentang pertumbuhan dan perkembangan serta faktor-faktor yang mempengaruhi dan hubunganya dengan proses pendidikan.
B.Rumusan masalah
Disini kami dapat mengambil beberapa rumusan masalah diantaranya:
1.Apakah yang di maksud dengan pertumbuhan dan perkembangan?
2.Apakah implakasi pertumbuhan dan perkembangan terhadap penyelengaraan pendidikan?
3.Bagaimanakah permasalahan dan upaya penanganan masalah peserta didik pada usia remaja?






BAB 2
PEMBAHASAN
A.Pengertian pertumbuhan dan perkembangan
Secara umum pertumbuhan dan perkembangan digunakan secara bergantian, padahal kedua proses ini berlangsung secara interdepedensi artinya saling bergantung satu sama lain. kedua proses itu tidak dapat dipisahkan tetapi dapat dibedakan untuk memperjelas penggunaannya.
Pertumbuhan berkaitan dengan perubahan fisik secara kuantitatif yang menyangkut peningkatan ukuran dan struktur biologis. Jadi pertumbuhan adalah perubahan secara fisiologis sebagai hasil proses pematangan fungsi dalam perjalanan waktu tertentu. pertumbuhan dapat pula diartikan sebagai proses transmisi dari konstitusi fisik (keadaan tubuh atau keadaan jasmaniyah) yang herediter dalam bentuk proses aktif berkesinambungan.
Adapun faktor yang mempengaruhi pertumbuhan yang kurang normal pada organisme adalah sebagai berikut:
1. Faktor sebelum lahir, seperti peristiwa kekurangan nutrisi pada ibu janin: janin terkena virus, keracunan sewaktu bayi dalam kandungan, terkena inveksi oleh bakteri siphilis, TBC, kolera, tifus, gondok, sakit gula dan lain-lain.
2. Faktor pada saat kelahiran, seperti pendarahan pada kulit bayi yang disebabkan tekanan dari dinding rahim ibu sewaktu ia dilahirkan,dan efek susunan saraf pusat karena proses kelahiran bayi dilakukan dengan bantuan tang (tangver-lossing).
3. Faktor yang dialami bayi sesudah lahir, seperti pengalaman traumatik pada kepala, kepala bagian dalam terluka karena kepala janin terpukul atau mengalami serangan sinar matahari. infeksi pada otak atau selaput otak misalnya: penyakit cerebral meningitis, gabak, malaria tropika, dan lain-lain.
4. Faktor fisiologis, misalnya bayi atau anak yang ditinggal kedua orang tuanya, anak dititipkan pada rumah yatim piatu atau yayasan perawatan bayi. Mereka kurang mendapatkan perawatan jasmaniyah dan kasih sayang orang tuanya sehingga anak tersebut mengalami tekanan mental dan kehampaan psikis. hal ini mengakibatkan kelambatan pertumbuhan pada semua fungsi jasmani dan rohaninya.
Pertumbuhan fisik memang mempengaruhi perkembangan psikologis dan sebaliknya faktor psikologis mempengaruhi pertumbuhan fisik, jadi semua penyebab tersebut mengakibatkan pertumbuhan bayi maupun anak menjadi terganggu.
 Sedangkan istilah perkembangan adalah sebagai berikut:
menurut Werner perkembangan sesuai dengan prinsip orthogenetis, yaitu perkembangan berlangsung dari keadaan global dan kurang berdiferensiasi sampai pada keadaan diferensiasi, artikulasi, dan integrasi meningkat secara bertahap.
Misalnya,Sejak bayi dilahirkan ia telah mempunyai gambaran lengkap tentang dunia hanya saja gambaran tersebut masih kabur dan samar-samar. terbawa oleh perkembangannya, gambaran total yang samar-samar tadi berangsur-angsur menjadi terang dan bagian-bagiannya bertambah nyata, jelas, dan srukturnya semakin lengkap.
Bijau dan baner berpendapat bahwa perkembangan psikologi adalah perubahan progresif yang menunjukkan cara organisme bertingkah laku dan berinteraksi dengan lingkunganya. Sedangkan menurut Libert dan paulus perkembangan adalah proses perubahan dalam pertumbuhan pada saat tertentu sebagai fungsi kematangan dan ineraksi dengan lingkunganya.

B.Implikasi pertumbuhan dan perkembangan terhadap penyelenggaraan pendidikan.

1.Perubahan fisik pada masa remaja meliputi dua hal antara lain:
a) Percepatan pertumbuhan
Waktu dan proses pertumbuhan fisik tidak sama bagi semua remaja.banyak faktor individual yang memengaruhi jalanya pertumbuhan ini,sehingga baik awal maupun akhir prosesnya terjadi secara berbeda-beda.
b) proses kematangan seksual
meskipun berlangsung dalam batas-batas dan urutan tertentu dalam perkembangan ciri-ciri kelaminya,kematangan seksual anak-anak remaja juga berjalan secara individual.
2. Perkembangan intelek peserta didik usia remaja
Istilah intelek dapat diartikan kekuatan mental yang menyebabkan manusia dapat berpikir kritis.Menurut Webster New World Dictionary of the American Language, istilah intelek berarti:
a). Kecakapan untuk berfikir, mengamati atau mengerti, kecakapan untuk mengamati perbedaan dalam lingkungannya.
b). Kecakapan mental yang besar, sangat intelegence.
c). Pikiran atau intelegence.
 Singgih Gunarsa juga mengajukan beberapa rumus intelegence diantaranya sebagai berikut:
• intelegensi merupakan suatu kumpulan kemampuan seseorang yang memungkinkannya memperoleh ilmu pengetahuan dan mengamalkan ilmu tersebut dalam hubungannya dengan lingkungan dan masalah-masalah yang timbul.
• Intelegensi adalah suatu bentuk tingkah laku tertentu yang tampil dalam kelancaran tindakan serta meliputi pengalaman dan kemampuan bertambahnya pengertian dengan pola-pola yang baru dan mempergunakannya secara efektif.
Beberapa rumusan definisi tersebut mengungkapkan bahwa makna intelegensi mengandung unsur-unsur yang sama dengan yang dimaksudkan dalam istilah intelek, yaitu menggambarkan kemampuan seseorang dalam berpikir dan atau bertindak. Para ahli psikologi telah mengembangkan berbagai alat ukur (tes intelegence) untuk menyatakan tingkat kemampuan berfikir atau intelegensi seseorang.
Intelegensi pada masa remaja tidak mudah diukur karena perubahan kecepatan perkembangan kemampuan pada masa remaja tidak mudah terlihat. Pada masa remaja, kemampuan untuk mengatasi masalah yang majemuk terus bertambah. Pada awal remaja, kira-kira pada umur 12 tahun mereka berada pada masa yang disebut masa operasi formal (berfikir abstrak).

3. Perkembangan Bakat Khusus Peserta Didik Usia Remaja

Tidak dapat diingkari bahwa ada perbedaan individual antara individu dalam tingkat kemampuan atau prestasi. Perbedaan tersebut tampak dari perbedaan bakatnya, sedangkan perbedaan bakat dibawa sejak lahir dan bisa juga hasil dari latihan atau pengalaman.
Pemberian nama terhadap jenis-jenis bakat khusus biasanya dapat dilakukan berdasarkan bidang apa bakat tersebut berfungsi, seperti bakat matematika, olahraga, seni, bahasa dan lain sebagainya. Dengan demikian, bakat khusus ini sangat bergantung pada konteks kebudayaan tempat seorang individu hidup dan dibesarkan. Jadi bisa diartikan bahwa faktor pengalaman atau lingkungan sangat mempengaruhi bakat khusus.
 Faktor-faktor yang mempengaruhi bakat antara lain:
a). Anak itu sendiri. Misalnya, anak itu kurang berminat untuk mengembangkan bakat-bakat yang dimiliki atau kurang termotivasi untuk mencapai prestasi yang tinggi dan bisa juga mempunyai kesulitan atau masalah pribadi sehingga ia mengalami hambatan dalam mengembangkan bakatnya.
b). Lingkungan anak. Misalnya, orang tua kurang mampu untuk menyediakan kesempatan dan sarana pendidikan yang dibutuhkan anak, ekonominya cukup tinggi tetapi kurang memberi perhatian terhadap pendidikan anaknya.

4. Pengembangan emosi peserta didik usia remaja
Kehidupan anak itu penuh dengan dorongan dan minat untuk mencapai atau memiliki sesuatu. Oleh karena itu, kita perlu mengetahui apa yang ia lakukan, inginkan dan apa yang mereka pikirkan. Gejala-gejala emosional seperti rasa kecewa, marah, takut, bangga, cinta dan benci, harapan-harapan dan rasa putus asa perlu dicermati dan dipahami dengan baik oleh orang tua dan guru.
 Pada saat emosi, sering terjadi perubahan-perubahan pada fisik seseorang, seperti:
a). Peredaran darah bertanbah cepat bila marah.
b). Denyut jantung bertambah cepat bila marah.
c). Bernafas panjang bila kecewa.
d). Bulu roma berdiri bila takut.
C. Masalah dan Upaya Penanganan Masalah Peserta Didik pada Usia Remaja
1.Karateristik masalah peserta didik usia remaja
Masa remaja adalah masa yang paling berkesan dalam hidup seseorang,dan dalam perkembanganya mereka sering menjadi bingung karena kadang-kadang mereka diperlakukan sebagai anak-anak tetapi dilain waktu mereka dituntut untuk bersikap mandiri dan dewasa.
 Permasalahan yang muncul pada usia remaja antara lain:
• Kebimbangan mereka dalam memilih sekolah lanjutan.
• Penyesuaian diri,misalnya masalah teman,mereka akan kehilangan teman yang lama dan terpaksa mencari teman yang baru. 2.Upaya penanganan masalah pada peserta didik usia remaja
Setiap individu mempunyai karakter yang berbeda-beda dan disini kita akan menguraikan strategi yang dipelajari individu untuk meminimalkan kecemasan dalam situasi yang tidak dapat mereka tanggulagi.upaya-upaya tersebut antara lain:
a. Represi
Represi didefinisikan sebagai upaya individu untuk menyingkirkan frustasi,konflik batin,stess,dan lain-lain.bila represi terjadi,hal-hal yang mencemaskan itu tidak akan memasuki kesadaran walaupun masih ada pengaruhnya terhadap perilaku orang tersebut.sehingga pada umumnya mereka menekankan aspek positif dari kehidupanya,misalnya:
• Mereka cenderung untuk tidak berlama-lama mengenali sesuatu yang tidak menyenangkan dibanding dengan hal-hal yang menyenangkan.
• Lebih sering mendengarkan berita baik daripada berita buruk.
• Lebih mudah mengingat hal-hal positif daripada hal-hal yang negatif.
• Lebih sering menekankan kejadian yang membahagiakan dan enggan menekankan yang tidak membahagiakan.
b.Denial(menyangkal kenyataan)
Bila individu menyangkal kenyataan,dia menganggap tidak ada atau menolak adanya pengalaman yang tidak menyenangkan dengan maksud,untuk melindungi dirinya sendiri .
c.Fantasi
dengan berfantasi pada apa yang mungkin menimpa dirinya,individu sering merasa mencapai tujuan dan dapat menghindari dirinyadari peristiwa yang tidak menyenangkan.dengan demikian berfantasi tampaknya menjadi srategi yang cukup membantu.






DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN

A. Pengertian Metodologi Tafsir
Kata Manhaj berasal dari bahasa Yunani “methodos”, yang berarti cara atau jalan. Dalam bahasa Inggris, kata ini ditulis method, dan bangsa Arab menerjemahkannya dengan thariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia, kata tersebut mengandung arti: “cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai maksud (dalam ilmu pengetahuan dan sebagainya) cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai suatu yang ditentukan.” Pengertian serupa ini juga dijumpai dalam kamus Webster.
Metode adalah salah satu sarana yang amat penting untuk mencapai tujuan yang telah ditentukan, maka studi tafsir Al-Qur’an tidak lepas dari metode, yakni suatu cara yang teratur dan terpikir baik-baik untuk mencapai pemahaman yang dimaksudkan Allah didalam ayat-ayat Al-Qur’an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw.
Definisi itu memberikan gambaran kepada kita bahwa metode tafsir Al-Qur’an tersebut berisi seperangkat kaidah dan aturan yang harus diindahkan ketika menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Apabila seseorang menafsirkan Al-Qur’an tanpa menerapkan metode, tidak mustahil penafsirannya akan keliru. Tafsir serupa ini disebut bi-al-ra’y al-mahdh (tafsir berdasarkan pemikiran semata) yang dilakukan oleh Nabi, bahkan Ibnu Taymiyah menegaskan bahwa penafsiran serupa itu haram.
Pembahasan teoritis dan ilmiah mengenai metode muqarin (perbandingan), misalnya, disebut analisis metodologis, sedangkan jika pembahasan itu berkaitan dengan cara penerapan metode itu terhadap ayat-ayat Al-Qur’an, ini disebut pembahasan metodik. Cara menyajikan atau memformulasikan tafsir tersebut dinamakan teknik atau seni penafsiran. Jadi, metode tafsir merupakan kerangka atau kaidah yang digunakan dalam menafsirkan Al-qur’an.

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Muqarin
Dari berbagai literatur yang ada, bahwa yang dimaksud dengan Metode Muqarin (komparatif) ialah:
1. Membandingkan teks (nash) ayat-ayat Al-Qur’an yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda kasus yang sama.
2. Membandingkan ayat Al-Qur’an dengan hadits yang pada lahirnya terlihat bertentangan.
3. Membandingkan berbagai pendapat ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
Ruang lingkup atau wilayah kajian dari masing-masing aspek itu berbeda-beda. Wilayah bahasan aspek pertama dan kedua sebagaimana dijelaskan oleh M. Quraish Shihab:
“Dalam metode ini khususnya yang membandingkan antara ayat dengan ayat (juga ayat dengan hadits). Biasanya mufasirnya menjelaskan hal-hal yang berkaitan dengan perbedaan kandungan yang dimaksud oleh masing-masing ayat atau perbedaan kasus/masalah itu sendiri.”
Dalam membahas perbedaan-perbedaan itu, mufasir harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut, seperti latar belakang turun ayat-ayat Al-Qur’an dan seni atau teknik ialah cara yang dipakai ketika menerapkan kaidah yang telah tertuang didalam metode, sedangkan metodologi tafsir ialah pembahasan ilmiah tentang metode-metode penafsiran Al-Qur’an.
Adapun aspek ketiga perbandingan pendapat para musafir mencakup ruang lingkup yang sangat luas karena uraiannya membicarakan berbagai aspek, baik menyangkut kandungan (makna) ayat maupun korelasi (munasabat) antara ayat dengan ayat atau surah dengan surah dan sebagainya, seperti perbandingan yang dilakukan Muhammad Quraisy Shihab tentang kandungan (makna) ayat 151 surat al-An’am dengan ayat 31 surah al-Isra’ juga ayat 12 surah al-A’raf dengan ayat 75 surah Shad.
B. Ciri-ciri Metode Muqarin
Al-Farmawi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan metode muqarin ialah: menjelaskan ayat-ayat Al-Qur’an yang berdasarkan pada apa yang telah ditulis oleh sejumlah mufasir”. Selanjutnya langkah-langkah yang harus diterapkan untuk mencapai tujuan itu adalah dengan memusatkan perhatian pada sejumlah ayat tertentu, lalu melacak berbagai pendapat para musafir tentang ayat tersebut, baik yang klasik (salaf) maupun yang ditulis oleh ulama khalaf. Dari uraian yang dikemukakan itu diperoleh gambaran bahwa dari segi sasaran (objek) bahasan ada tiga aspek yang dikaji di dalam tafsir perbandingan yaitu perbandingan ayat dengan ayat, ayat dengan hadits, dan pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan Al-Qur’an.
C. Ruang Lingkup Metode Komparatif
Berikut akan diuraikan ruang lingkup dan langkah-langkah penerapan metode ini pada masing-masing aspek:
1. Perbandingan Ayat dengan Ayat
Jika yang akan dibandingkan itu kemiripan redaksi, misalnya, maka langkah-langkahnya sebagai berikut:
a. Mengidentifikasi dan menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang redaksinya bermiripan sehingga diketahui mana yang mirip dan mana yang tidak.
b. Memperbandingkan antara ayat-ayat yang redaksinya bermiripan itu, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama.
c. Menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik perbedaan tersebut mengenai konotasi ayat, maupun redaksinya seperti berbeda dalam menggunakan kata dan susunannya dalam ayat, dan sebagainya; dan
d. Memperbandingkan antara berbagai pendapat para musafir tentang ayat yang dijadikan objek bahasan.
2. Perbandingan Ayat dengan Hadits
Perbandingan penafsiran dalam aspek ini terutama dilakukan terhadap ayat-ayat Al-Qur’an yang tampak lahirnya bertentangan dengan hadits-hadits Nabi yang diyakini shahih. Itu berarti, hadits-hadits yang sudah dinyatakan dha’if tidak perlu dibandingkan dengan Al-Qur’an karena level dan kondisi keduanya tidak seimbang. Jadi hanya hadis sahih saja yang akan dikaji di dalam aspek ini dan diperbandingkan dengan ayat-ayat Al-Qur’an. Dalam hal ini dapat ditempuh langkah-langkah sebagai berikut :
a. Menghimpun ayat-ayat yang pada lahirnya tampak bertentangan dengan hadis-hadis Nabi saw, baik ayat-ayat tersebut mempunyai kemiripan redaksi dengan ayat-ayat lain atau tidak.
b. Membandingkan dan menganalisa pertentangan yang dijumpai di dalam kedua teks ayat dan hadis itu; dan
c. Memperbandingkan antara berbagai pendapat para ulama tafsir dalam menafsirkan ayat dan hadis tersebut.
D. Kelebihan dan Kekurangan Metode Muqarin
1. Kelebihan
a. Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain.
b. Membuka pintu untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontrakdiktif.
c. Tafsir dengan metode muqarin ini amat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang suatu ayat.
d. Dengan menggunakan metode muqarin, maka mufasir didorong untuk mengaji berbagai ayat dan hadis-hadis serta pendapat-pendapatpara mufasir yang lain.


2. Kekurangan
a. Penafsiran yang memakai metode muqarin tidak dapat diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada pada tingkat sekolah menengah ke bawah.
b. Metode muqarin kurang dapat diandalkan untuk menjawab permasalahan social yang tumbuh di tengah masyarakat.
c. Metode muqarin terkesan lebih banyak menelusuri penafsiran-penafsiran yang pernah diberikan oleh ulama daripada mengemukakan penafsiran-penafsiran.
Berdasarkan uraian diatas, tampak dengan jelas bahwa metode muqarin ini amat penting posisinya, terutama dalam rangka mengembangkan pemikiran tafsir, yang rasional dan objektif, sehingga kita mendapatkan gambaran yang lebih komprehensif berkenaan dengan latar belakang lahirnya suatu penafsiran dan sekaligus dapat dijadikan perbandingan dan pelajaran dalam mengembangkan penafsiran Al-Qur’an pada periode-periode selanjutnya.
E. Pengertian Maudhu’i
Metode Maudhu’i (Tematik) ialah membahas ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan tema atau judul yang telah ditetapkan. Semua dijelaskan dengan rinci dan tuntas, serta didukung oleh dalil-dalil atau fakta-fakta yang dapat dipertanggungjawabkan secaa ilmiah, baik argument itu berasal dari Al-Qur’an, hadis, maupun pemikiran rasional.
Diantara tafsir yang masuk kategori ini misalnya, Al-Ihsan fi Al-Qur’an, dan Al-Marat fi Al-Qur’an; keduanya karangan Mahmud al-‘Aqqad, Al-Riba fi Al-Qur’an karangan Al-Maududi.

F. Ciri-ciri metode Maudhu’i (Tematik)
Sesuai dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topic pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga ini disebut metode topikal.
Ada beberapa langkah yang harus ditempuh oleh mufasir. Antara lain sebagaimana diungkapkanoleh al-Farmawi berikut ini:
1) Menghimpun ayat-ayat
2) Menelusuri latar belakangturun(asbab nuzul) ayat-ayat yang telah dihimpun (kalau ada)
3) Meneliti dengan cermat semua kata atau kalimat yang dipakai dalam ayat tersebut, terutama kosakata yang menjadi pokok permasalahan di dalam ayat itu.
4) Mengkaji pemahaman ayat-ayat itu dari pemahaman berbagai aliran dan pendapat para mufasir, baik yang klasik maupun yang kontemporer.
5) Semua itu di kaji secara tuntas dan seksama dengan menggunakan penalaran yang objektif melalui kaidah-kaidah tafsir yang mu’tabar, serta di dukung oleh fakta (kalau ada), dan argument-argumen dari Al-Qur’an, hadis, atau fakta-fakta sejarah yang dapat ditemukan.
G. Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhu’i
1. Kelebihan
a. Menjawab tantangan zaman
Semakin modern kehidupan, permasalahan yang tombul semakin kompleks dan rumit, serta mempunyai dampak yang luas.
Untuk menghadapi permasalahan yang demikian, dilihat dari sudut tafsir Al-Qur’an, tidak dapat ditangani dengan metode-metode penafsiran selain maudhu’i. Hal itu dikarenakan kajian metode mudhu’i ditujukan untuk menyelesaikan permasalahan.
b. Praktis dan Sistematis
Dengan adanya tafsir maudhu’I, mereka akan mendapatkan petunjuk Al-Qur’an secara praktis dan sistematis serta dapat lebih menghemat waktu, efektif dan efisien.
c. Dinamis
Metode maudhu’i membuat tafsir Al-Qur’an selalu dinamis sesuai dengan tuntutan zaman sehingga menimbulkan image di dalam benak pembaca dan pendengarnya bahwa Al-Qur’an senantiasa mengayomi dan membimbing kehidupan di muka bumi ini pada semua lapisan dan strata social.
d. Membuat pemahaman menjadi utuh
Dengan ditetapkan judul-judul yang akan di bahas, maka pemahaman ayat-ayat Al-Qur’an dapat diserap secara utuh.
2. Kekurangan
a. Memenggal ayat Al-Qur’an
Memenggal ayat Al-Qur’an yang dimaksudkan disini adalah mengambil satu kasus yang terdapat di dalam satu ayat atau lebih yang mengandung banyak permasalahan yang berbeda.
b. Membatasi pemahaman ayat
Dengan ditetapkannya judul penafsiran, maka pemahaman suatu ayat menjadi terbatas pada permasalahan yang dibahas. Akibatnya mufasir terikat oleh judul itu.
BAB III
PENUTUP

A. Ruang Lingkup Metode Komparatif
1. Perbandingan Ayat dengan Ayat
2. Perbandingan Ayat dengan Hadits
B. Kelebihan dan Kekurangan Metode Muqarin
1. Kelebihan
a. Memberikan wawasan penafsiran yang relatif lebih luas kepada para pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain.
2. Kekurangan
a. Penafsiran yang memakai metode muqarin tidak dapat diberikan kepada para pemula, seperti mereka yang sedang belajar pada pada tingkat sekolah menengah ke bawah.
C. Ciri-ciri metode Maudhu’i (Tematik)
Sesuai dengan namanya tematik, maka yang menjadi ciri utama dari metode ini ialah menonjolkan tema, judul atau topic pembahasan, sehingga tidak salah jika dikatakan bahwa metode ini juga ini disebut metode topikal
D. Kelebihan dan Kekurangan Metode Maudhu’i
1. Kelebihan
a. Menjawab tantangan zaman
b. Praktis dan Sistematis
c. Dinamis
2. Kekurangan
a. Memenggal ayat Al-Qur’an
b. Membatasi pemahaman ayat

Daftar pustaka

Ramli, abdul wahid. Ulumul qur’an. Jakarta: r
BAB II
PEMBAHASAN TENTANG DIL²LAH LAFAL NASH

A. PENGERTIAN DIL²LAH LAFAL NASH
Secara bahasa kata “دلا لـة” adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “دل- يـدل” yang berarti menunjukkan dan kata dilâlah sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan. Adapun menurut istilah sebagaimana disebutkan oleh Quthub Mustafa Sanu , bahwa yang dimaksud dengan dilâlah adalah ;
كـون الشـئ بـحـالـة يـلـزم مـن الـعـلم بـه الـعـلم بشـئ أخـر.
Artinya ; Dilâlah itu ialah keadaan sesuatu yang dapat memastikan untuk me ngetahui yang lainnya.

Dengan kata lain, dilâlah itu ialah penunjukkan suatu lafal nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Tegasnya, dilâlah lafal itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafal nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.
Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat berikut ini ;
واحـل الله الـبـيـع وحـرم الـربـا ... (البـفـرة /٢:٢٧٥)
Artinya ; Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba’.
Dilalah atau penunjukkan yang dapat dipahami dari ayat ini adalah bahwa jual-beli itu hukumnya halal dan riba’ itu hukumnya haram, karena makna atau pengertian inilah yang segera dan mudah ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan qar³nah yang menjelaskannya.
Pembahasan tentang dilâlah ini sangat penting dalam ilmu ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu system berpikir. Menurut Amir Syarifuddin , bahwa untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berpikir secara dilâlah.
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu dibagi kepada dua macam, yaitu ; dilâlah lafziyah dan dilalah gair lafziyah.
1. Dilâlah lafziyah, yaitu dilâlah (petunjuk) dengan dalil yang menggunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafal, suara atau kata. Oleh karena itu lafal, suara atau kata-kata menunjukkan kepada maksud tertentu, petunjukkan ini dapat diketahui melalui tiga hal.
1.1. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjukkan kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang di seluruh ala mini. Umpamanya “rintihan” yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Dengan adanya rintihan itu, maka semua orang mengetahui bahwa orang itu sakit, meskipun ia tidak pernah menyatakan bahwa ia sedang dalam kesakitan. Penunjukkan (dilalah) seperti ini disebut dengan tabi’iyah; Secara lengkap disebut dengan dilâlah lafziyah tabi’iyah.
1.2. Melalui akal. Dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu. Umpamanya suara kendaraan di belakang rumah menunjukkan adanya bentuk kendaraan tertentu yang lewat di belakang rumah itu. Dengan adanya suara itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan jenis tertentu meskipun kendaraan tersebut belum dilihat secara nyata. Penunjukkan secara suara tersebut dinamai dengan ‘aqliyah ; Secara lengkap disebut dengan dilâlah lafziyah ‘aqliyah.
1.3. Melalui “istilah” yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu. Amir Syarifuddin memberikan contoh, “kalau kita mendengar ucapan, “binatang yang mengeong”, kita akan mengetahui apa yang dimaksud ucapan itu, yaitu kucing. Hal ini dimungkinkan karena kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan “binatang mengeong” itu untuk memberi istilah kepada kucing. Penunjukkan bentuk ini disebut dengan “wadl’iyah” (وضـعـيـة), secara lengkapnya “dilâlah lafziyah wadl’iyah. Dari ketiga bentuk dilalah ini yang paling dominan dibicarakan dalam ushul fiqh.
Para ahli membagi dilâlah wadl’iyah kepada tiga macam, yaitu ;
a. Muthâbaqiyah (مـطابـقـيـة) yaitu ; istilah yang digunakan sebagai dilâlah merupakan keseluruhan yang lengkap dan mencakup unsur yang harus ada pada istilah tersebut.
b. Tadlammuniyah, (تضمنية)yaitu istilah yang digunakan sebagai dilalah merupakan salah satu bagian yang terkandung dalam keutuhan istilah itu. Meskipun hanya menggunakan salah satu unsur saja, namun sudah dapat menunjukkan maksud yang dituju. Umpamanya kata “ngeong” yang hanya berbentuk unsur fasal dalam istilah, tetapi semua orang sudah dapat mengetahui maksudnya, yaitu kucing.
c. Iltizâmiyah (الـتـزامـيـة), yaitu bila dilâlah bukan arti atau istilah yang sebenarnya, tetapi merupakan sifat tertentu yang lazim itu orang akan mengetahui apa yang dimaksud umpamanya ungkapan “bilangan genap” untuk angka 4. Bilangan genap bukanlah arti yang sebenarnya dari angka 4, karena angka 4 itu sebnarnya 2 + 2 atau 6 – 2, atau lainnya. Penggunaan ungkapan bilangan genap untuk angka 4 sebenarnya tidak salah karena memang ia merupakan salah satu sifat yang berlaku pada angka 4 itu, namun bukan arti yang sebenarnya.
2. Dilâlah Ghari Lafziyah (دلا لـة غــيرلـفـظيـة).
Yang dimaksud dengan dilâlah ini ialah dilalah yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan dalam bentuk lafal dan bukan pula dalam bentuk kata . Hal ini berarti bahwa “dia” atau tidak bersuaranya sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, maksudnya “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu.
Menurut Amir Syarifuddin , diamnya sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal berikut ini.
a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semau orang. Umpamanya warna pucat pada wajah seseorang menunjukkan bahwa ia sedang ketakutan. Hal ini dapat diketahui secara alamiah tanpa dibuat-buat bila seseorang dalam ketakutan maka mukanya akan pucat. Pucat itu akan timbul dengan sendirinya dari rasa takut. Penunjukkan ini disebut dengan “thabi’iyah”, lengkapnya disebut : دلا لـة غــيرلـفـظيـة طـبعـيـة
b. Melalui akal. Makdusnya meskipun tidak ada suara atau kata namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat dibalik diamnya sesuatu. Misalnya asap yang mengepul dari sesuatu menunjukkan ada api di dalamnya, meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun seseorang melalui akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut pertimbangan akal dimana ada asap pasti ada api. Petunjuk dalam bentuk ini disebut dengan دلا لـة غــيرلـفـظيـة عـقـلـية
c. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu. Umpamanya huruf H di depan nama seorang muslim menunjukkan bahwa orang itu sudah melaksanakan ibadah haji. Hal ini dapat diketahui karena sudah menjadi kebiasaan yang dapat dipahami bersama bahwa orang yang sudah haji menambahkan huruf H di depan namanya. Meskipun tidak ada orang yang mengatakannya sudah haji, namun adanya huruf H di depan namanya, maka orang tahu dia sudah haji. Menurut Amir Syarifuddin , penggunaan tanda atau isyarat, baik dengan huruf atau tanda lainnya, banyak digunakan dalam kehidupan. Di antara maksudnya adalah untuk penghematan bahasa. Dengan cara ini maka sedemikian banyak maksud yang disampaikan dalam komunikasi dapat disingkat dengan menggunakan lambing dalam bentuk huruf atau tanda. Di antaranya seperti tanda kepangkatan di lingkungan ABRI dan tanda rambu-rambu lalu lintas. Penunjukkan seperti ini disebut dengan wadl’iyah atau lengkapnya disebut dengan:
دلا لـة غــيرلـفـظيـة وضـعـية
Kedua bentuk dilalah lafal di atas, selain digunakan dalam ilmu mantiq, juga dikaji dalam ilmu ushul fiqh, meskipun diantara meeka terdapat perbedaan dalam menggunakan peristilahannya. Amir Syarifuddin menegaskan bahwa bentuk dilalah yang luas digunakan ialah dilâlah lafziyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum. Bentuk dilalah dengan “diam” dalam dilalah gair lafziyah juga digunakan dalam penunjukkannya terhadap hukum, tetapi mengundang banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh. Pada uraian berikut ini akan dibahas tentang dilalah gair lafziyah dan dilalah gair lafziyah yang berlaku di kalangan ulama Hanafiyah dan Jumhur ulama.

B. DILÂLAH LAFAL NASH MENURUT MAZHAB HANAFI
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafal-lafal yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dil±lah atau dal±lah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut;
مـايـسـتـد ل الـنـظرالصحيح فـيـه عـلى حكم شـرعي عـملي عـلى ســبـيـل ا لـقـطع أوالـظن
Artinya; “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth’iy maupun zhanniy.”

Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan dilâlah, seperti dijelaskan oleh Muhammad Al-Jarjani , dalam kitab “Al-Ta’rifât” adalah :
كـيـفـية د لا لـة اللـفــظ عـلى المـعـنى
Yaitu; cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna atas pengertian yang dikandung oleh Nash.

Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dil±lah ialah sesuatu yang ditunjukkan. Menyangkut dil±lah lafaz nash ini di kalang ulama ushul memang terdapat perbedaan.
Kalangan ulama Hanafiyah membagi cara penunjukkan dil±lah lafal nash itu kepada empat macam, yaitu ‘ib±rat al-nash, isy±rat al-nash, dil±lah al-nash, dan iqtidl±’ al-nash.
4.1. Ibârat al-Nash
Yang dimaksud dengan Ibârat al-Nash ialah:
عــبـارة الـنـص هـي دلا الـكلآ م عــلى الـمـعـنـى الـمـقـصود مـنـه ا مـا أصالـة أوتــبـعـا
Artinya ; Ibarat nash ialah petunjuk kalimat (lafal) kepada pengertian yang dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan langsung oleh kalimat itu sendiri.

Depinsi lain, sebagaimana diungkapkan oleh Quthub Mustafa Sanu adalah ;
عــبـارة الـنـص هـي دلا لـة الـفــظ عــلى مـا كان الـكلا م مـسـوقـا لآجـلـه أصا لـة أ و تـبـعـا وعـلـم قـبـل الـتـأ مـل أن ظا هـر اللـفـظ يـتـنـا ولـه.
Artinya ; Ibarat al-Nash ialah petunjuk lafal yang didasarkan pada susunan kalimatnya sendiri secara langsung dan ia dapat diketahui dengan mudah dan jelas yang tercakup di dalamnya.

Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa, Ibârat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Sebagai contoh Firman Allah dalam ayat berikut ini.
واحـل الله البــيـع وحـرم الـربـا ...
Artinya ; Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riaba’…

Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ayat ini arti asalnya adalah menjelaskan antara jual – beli dan riba’ itu dua hal yang berbeda atau tidak sama. Kemudian ayat ini diartikan pula bahwa jual – beli itu boleh dan riba’ itu haram. Kedua pengertian ini dipahami atau diperoleh dari petunjuk susunan lafal yang terdapat dalam ayat.
4.2. Isyârat al-Nash
Yang dimaksud dengan Isy±rat al-Nash ialah ;
هـى الـد لا لـة اللـفــظ عـلى حـكم لـم يـقـصد أصا لـة ولا تـبـعـا ولكـنـه لازم للـمـعـنى الذى سـيـق الـكلا م لا فـاد تـه.
Artinya ; Isyarat dan al-nash ialah penunjukkan lafal atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan langsung oleh lafal nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan diungkapkan untuk itu.

Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa isyârat al-nash itu sesungguhnya adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya. Tegasnya, isyârat al-nash itu ialah dilâlah lafal yang didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar yang tersurat. Sebagai contoh dapat dilihat dalam ayat .
وعـلى المولود لــه رزقــهـن وكـسـوتهـن بالمعـروف ... (البقـرة / ۲ : ۲۳۳)
Artinya; “Dan kewajiban Ayah (suami) memberi nafkah dan pakaian dengan layak kepada isteri …”

Secara ibarat Nash pengertian yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa Ayah (suami) wajib mengayomi isteri-isteri mereka berupa pemberian nafkah dan pakaian, bahkan tempat tinggal secara layak dan patut (ma’ruf). Menurut Amir Syarifuddin , bahwa ungkapan “المولودلـه” yang diartikan denga ayah adalah sebagai pengganti kata “الاب” dalam ayat di atas. Akan tetapi mengapa Allah menggunakan kata “المولود له” dalam ayat ini. Dalam pandangan para Mujtahid tentu ada maksud yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Ungkapan “المولود له” adalah terdiri dua unsur kata, yaitu “المولود”yang arti dasarnya adalah “anak yang dilahirkan, dan kata “له” yang berarti “untuknya” dan kata “له” itu sendiri dimaksud-kan di sini adalah ayah. Sehingga “ungkapan” “المولود له” arti asalnya “anak untuk ayah” . Oleh karena itu, ungkapan lafal “المولود له” mengandung arti lain. Selain dari arti yang disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak-anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang disebut terakhir ini merupakan “Isyarat” yang dapat ditangkap dibalik susunan lafal nash.

4.3.Dilâlat al-Nash
Dilâlat al-Nash ini disebut juga dengan dilâlat al-dilâlat. Adapun yang dimaksud dengan dilâlat al-dilâlat adalah
دلا لـة الـنص هـى دلا لـة الـكلا م عـلـى ثـبـوت حـكـم المنصوص عـلـيه المـسـكـوت عـنـه لا شـتــراكهـما فى عـلـة الحكم التى يـمكـن فـهـمهـا بـمجـرد فـهـم اللـغـة مـن غـيـر احـتـيـاج الى نـظـرواجـتـهـا د
Maksudnya ; Dilalat Nash ialah petunjuk lafal atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan Nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara kedua -- yang disebutkan dan yang tidak disebutkan -- terdapat pertautan ‘illat, dimana pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan daya nalar.

Contoh untuk maksud ini dapat dilihat dalam ayat berikut ini :
فلأ تـقـل لــهـما أ ف ولا تـنـهرهـما ...
Artinya : “Maka janganlah kamu mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tuamu dan jangan pula kamu hardik mereka berdua…”

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita “tidak boleh” atau “dilarang” mengucapkan kata-kata “ah” atau “cis” dan menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah “menyakitkan” perasaan kedua orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada perbuatan misalnya “memukul” atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya - yang pada dasarnya membawa akibat yang sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan maupun fisik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apapun perbuatan atau tindakan yang dilakukan - selain ucapan “ah” atau hardikan - yang dapat menyakiti kedua orang tua adalah dilarang dan mengakibatkan seseorang berdosa kepada Allah SWT. Tentang dilâlat al-nash ini dalam pandangan Syafe’i , disebut dengan mafhûm muwâfaqah atau qiyâs jali. Disebut dengan mafhûm muwâfaqah, ialah apa yang tidak disebutkan oleh nash sejalan dengan apa yang dituturkan oleh nash. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang tidak disebutkan oleh nash sesuai dengan ketentuan hukum yang disebutkan oleh lafal nash. Disebut dengan qiyas jali ialah karena ketentuan hukum terhadap sesuatu yang tidak disebutkan itu lebih kuat dibandingkan dengan yang disebutkan oleh Nash. Sebagaimana contoh di atas bahwa “memukul” orang tua adalah lebih berat dan lebih menyakitkan jika dibandingkan dengan mengucapkan ucapan “ah” atau “uf” kepada kedua orang tua.
4.4. Iqtidlâ’ al-Nash
Dilâlah al-Iqtidhâ’al- nash’ ini disebut juga dilâlat al-iqtidlâ’. Yang maksud dengan iqtidhâ’al- nash ialah ;
اقـتـضاء الـنـص هى دلا لـة الكلآ م عـلى مـسـكوت عـنـه يـتـو قــف عـلـيه صدق الكلآ م.
Artinya ; Iqtidla’ al-nash ialah penunjukkan lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung kepada yang tidak disebutkan.

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa suatu dilâlah (petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash. Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada ayat berikut ini ;
حـرمت عـليـكم الـمـيـتــة والدم ولحـم الـخـنـزيـر...
Artinya : Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi…
Pengertian ayat ini belum jelas. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau memanfaatkan darah dan daging babi. Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada manfaatnya.
Dalam pandangan ulama ushul, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash, kemudian menyusul isyârat al-nash dan setelah itu baru dilâlat al-nash dan yang terakhir adalah iqtidlâ’ al-nash. Sebagaimana dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bila terjadi perlawanan hukum yang didasarkan pada ibârat al-nash dengan suatu ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan isyârat nash, maka ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibârat al-nash lebih didahulukan dari pada isyârat al-nash. Begitu pula jika terjadi pertentangan ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibârat nash atau isyârat nash dengan dilâlat al-nash, maka lebih didahulukan salah satu dari keduanya dari pada dilâlat al-nash. Bila terjadi pertentangan antara dilâlat al-nash dengan iqtidlâ’ al-nash, maka dilâlat al-nash lebih didahulukan atas iqtidlâ’ al-nash. Sebagai contoh adalah firman Allah berikut ini ;
يـايـهـاالـذ يـن امـنـوا كـتـب عـلـيـكـم الـقـصاص فى الـقـتـلى...
Artinya ; “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu (melaksanakan qishash dalam pembunuhan …”

Ayat ini dilihat dari segi ibârat nash menunjukkan wajibnya melaksanakan qishash bagi pembunuh sengaja. Kemudian Firman Allah dalam ayat berikut ini ;
"ومـن يـقـتـل مـؤ مـنـا مـتـعـمـدا فـجـزاؤه جـهـنـم خـالـدا فـيـهـا وغـضـب الله عـلـيـه ولـعـنـه واعـد لـه عـذا بـا عـظـيـمـا" ( النساء/ ٤:۹۳)
Artinya ; Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah akan murka dan melaknatnya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya.

Ayat ini dengan cara isyârat menunjukkan batas ketiadaan wajibnya qishash bagi pembunuh sengaja. Oleh sebab itu, ayat ini berlawanan dengan ayat sebelumnya yang secara ibârat nash mewajibkan qishash atas pembunuhan sengaja. Karena itu, ketetapan suatu ketentuan hukum dengan ibârat nash lebih diutamakan dari isyârat nash, yaitu dalam hal ini wajibnya qishash bagi pembunuhan sengaja.

C. DILÂLAH LAFAL MENURUT MAZHAB SYAFE’I
Kalangan ulama Syafeiyah , dilâlah lafal nash dibagi kepada dua macam, yaitu dilâlat al-mantûq (دلالـة الـمـنطوق) dan dilâlat al-mafhûm
(دلالـة الـمـفـهـوم). Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah :
دلالـة الـمـنطوق هى دلا لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م ونـطـق بـه.
Artinya ; Dilalat mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat berikut ;
...وربائــكم التى فى حجوركم من نســـا ئكم التى دخـلـتم بـهـن ...
Artinya : … Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli…”

Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mant­qnya ialah menunjuk-kan secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu ; mantûq sarih dan mant­q gair sar³h. Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantûq sar³h ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash dan mantuq gair sarih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas.
Kemudian, yang dimaksud dengan dilālat al-mafhūm ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan langsung dalam susunan kalimat . Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat. Di kalangan jumhur, yaitu Syafeiyah dilālat al-mafhūm ini dibagi kepada dua macam, yaitu mafhūm muwāfaqah dan mafhūm mukhālafah. Yang dimaksud dengan mafhūm muwāfaqah ialah Penunjukkan lafal atas suatu ketetapan yang disebutkan oleh nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan, karena antara keduanya -- yang disebutkan dan yang tidak disebutkan -- terdapat persamaan ‘illat. Tegasnya, mafhūm muwāfaqah itu adalah ketentuan hukum atas sesuatu yang tidak disebutkan bersesuaian dengan ketentuan hukum yang disebutkan oleh nash.
Selanjutnya yang dimaksud dengan mafhūm mukhālafah ialah penunjukkan lafal atas sesuatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan merupakan lawan atau kebalikan dari apa yang disebutkan oleh nash. Disebut dengan mukhlāfah karena hukum yang tidak disebutkan berlawan dengan hukum yang disebutkan.
Mafhūm mukhālafah ini terdiri dari lima macam berikut ini ;
a. Disebut mafhūm sifat, yaitu menetapkan hukum yang dikaitkan dengan sifat yang terdapat pada lafal dan menetapkan sebaliknya bila berlawanan dengan sifat dimaksud. Contohnya, dalam surat An-Nisa’ ayat 25 disebutkan bahwa “barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan untuk menikahi wanita merdeka mukmin, maka ia boleh menikahi wanita beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki”.
Mantuq dari ayat ini ialah boleh menikahi hamba sahaya mukmin bila tidak mampu menikahi wanita merdeka mukmin. Mafhūm sifatnya dari ayat ini ialah tidak boleh menikahi hamba sahaya yang tidak mukmin.
b. Mafhūm syarat, yaitu menetapkan hukum kebalikan dari yang disebutkan yang dikaitkan dengan syarat. Tegasnya bila syarat terpenuhi maka berlaku hukum dan bila tidak terpenuhi maka tidak dapat ditetapkan hukum sebaliknya. Contohnya firman Allah dalam surat al-Thalaq ayat 6 menyebutkan ;
“jika perempuan (yang dicerai) itu dalam keadaan hamil maka berilah nafkah mereka sampai mereka melahirkan”.
Mantuq ayat ini menetapkan bahwa wajib memberi nafkah bagi perempuan yang dicerai dengan syarat bila ia dalam keadaan hamil. Mafhūm syarat ayat ini tidak wajib memberi nafkah pada isteri yang diceraikan bila ia tidak sedang dalam keadaan hamil.
c. Mafhūm al-g±yah, yaitu menetapkan hukum yang dikaitkan dengan hinggaan atau limid waktu. Tegasnya, menetapkan lawan hukum bagi sesuatu yang tidak disebutkan melalui batasan yang terdapat pada mantuq. Contohnya ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230.
“Jika suami mentalak isterinya (talak tiga), tidak halal baginya bekas isterinya hingga bekas isterinya itu menikah dengan laki-laki lain”.
Mantuq ayat ini ialah tidak boleh menikahi isteri yang telah ditalak tiga sampai ia menikah dengan laki-laki lain. Mafhūm al-gayahnya bila bekas isteri itu telah menikah dengan laki-laki lain dan bercerai dengan laki-laki itu serta habis masa iddahnya, maka ia boleh menikah kembali dengan bekas isterinya tersebut.
d. Mafhūm al-Adad yaitu, penetapan hukum yang merupakan kebalikan dari ketentuan hukum yang disebutkan dengan dikaitkan dengan jumlah atau bilangan. Contohnya sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nur ayat 2 ;
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki hendaklah masing-masing mereka dicambuk sebanyak seratus kali”.
Mantuq ayat ini adalah wajib hukumnya mencambuk pezina baik laki-laki maupun perempuan sebanyak seratus kali. Mafh­m adadnya ialah tidak sah cambukan terhadap pezina tersebut bila cambukannya itu lebih atau kurang dari seratus kali.
e. Mafhūm laqab yaitu menetapkan atau menyebutkan suatu ketentuan hukum atas suatu nama atau jenis tertentu dan tidak berlakunya hukum itu untuk sebaliknya (orang lain). Misalnya, dalam Firman Allah surat Ali Imran ayat 97 disebutkan ;
“… mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi orang yang mampu pergi ke Baitullah…”
Mantuq ayat ini menjelaskan bahwa mengerjakan haji itu adalah pergi ke baitullah di Makkah al-Mukarramah. Mafhûm laqabnya adalah tidak sah dan tidak diterima pergi menunaikan haji ke tempat lain selain ke Baitullah.
Di kalangan ulama sepakat untuk dapat beramal dan berhujah dengan mafhūm sifat, syarat, adat dan gayah, kecuali mafhūm laqab. Karene menurut mereka mafhūm laqab tidak mungkin kita menghasilkan ketentuan hukum kebalikannya. Ulama berbeda pendapat tentang kekuatan hukum yang ditetapkan melalui beberapa bentuk mafhum dalam kaitannya dengan teks hukum. Menurut penjelasan Amir Syarifuddin, kalangan jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum memberi petunjuk tentang hukum atas sesuatu kejadian bila dikaitkan kepada sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, mempunyai kekuatan untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau batas waktu tersebut. Begitu pula nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat, bilangan atau batas waktu yang sudah berlalu.
Alasan kalangan jumhur ulama ialah ; Pertama, yang mudah dipahami dari ungkapan bahasa Arab dan tradisi penggunaan ‘ibaratnya adalah bahwa mengaitkan sesuatu dengan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu. Untuk menunjukkan berlakunya hukum bila terdapat kaitan tersebut ; juga menunjukkan tidak berlakunya hukum tersebut bila kaitan itu tidak terdapat dalam satu keadan. Kedua, kaitan yang terdapat dalam nash syara’ baik dalam bentuk sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, bukanlah tanpa arti. Ia mempunyai maksud tertentu, yaitu menetapkan hukum dalam kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya maksud lain dari kaitan tersebut. Dalam keadaan demikian memang tidak berlaku mafh­m mukh±lafah.
Kemudian kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan atau batas waktu maka mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu itu saja secara manthuq. Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu maka tidak dapat diketahui hukumnya dari mafhum mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil lain. Hal ini berarti kita tidak dapat menetapkan hukum apapun hanya melalui mafhûm mukhâlafah saja. Adapun yang menjadi alasan dari kalangan Hanafiyah adalah, pertama, Tidaklah umum dalam ungkapan bahasa arab bahwa mengaitkan hukum dengan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu berarti menunjukkan berlakunya hukum ketika ada kaitannya itu, dan hukum tidak berlaku bila kaitan itu tidak ada. Cukup banyak ungkapan bahasa arab yang dikaitkan dengan salah satu dari kaitan itu (sifat, syarat, bilangan dan limit waktu) tetapi tidak mengandung daya mahfûm (tersirat). Umpamanya firman Allah yang berikut ini ;
يـايـهـاالـذ يـن امـنـوا لا تـا كلـوا الـربــوا ا ضـعـا فــا مـضا عـفـة ...
Artinya ; “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba’ secara berlipat ganda…”

Mantuq ayat ini, larangan riba’ diberi kaitan dengan sifat berlipat ganda. Meskipun demikian riba’ tetap saja haram sekalipun dilakukan tidak dengan cara berlipat ganda. Kedua, banyak nash syara’ yang menunjukkan suatu hukum yang diberi kaitan dengan suatu kait, namun hukum itu tetap saja berlaku meskipun kaitan itu tidak ada. Shalat dalam perjalanan tetap dapat diqashar meskipun orang yang melakukannya tidak lagi dalam keadaan takut diserang dalam peperangan, padahal kebolehan qashar shalat itu diberi syarat kalau takut mendapat serangan dari orang-orang kafir. Allah berfirman dalam surat al-Nisa’ ayat 101 berikut ini ;
“Bila kamu melakukan perjalanan di atas bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat bila kamu khawatir diserang oleh orang-orang kafir…”
Bila mengamalkan mafhûm mukhâlafah dari ayat ini tentu tidak boleh lagi mengqashar shalat di waktu tidak ada lagi peperangan. Qashar shalat masih berlaku meskipun peperangan tidak ada lagi, berarti mafhûm mukhlâfah tidak diamalkan dalam pemahaman ayat ini.
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa di kalangan ulama ushul terdapat perbedaan dalam memahami dan melihat lafal nash dan cara penunjukkan dilalahnya dalam kaitannya dengan kesimpulan hukum yang akan diambil atau ditetapkan. Perbedaan ini bukan saja dari segi penyebutan istilah yang digunakan, tetapi juga mereka berbeda dalam hal pengamalan atau penerapannya. Jika kalangan Hanafi membagi dilalah lafal nash kepada empat macam bentuk dilâlah, yaitu ; ‘ibârat nash, isyârat al-nash, dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash, maka kalangan Syafe’i membaginya kepada dua macam, yaitu ; dilâlat manthûq dan dilâlat mafhûm. Dilihat mafhûm dibagi pula kepada dua macam yaitu ; mafhûm muwâfaqah dan mafhûm mukhâlafah. Sebetulnya bila dicermati antara istilah yang digunakan oleh Hanafi dan Syafe’i, sekalipun berbeda, tetapi dari segi maksudnya ada kesamaannya. Jika Hanafi menyebut dilâlat ‘ibârat al-nash, maka Syafe’i menyebutnya dengan dilâlat manthûq. Adapun dilâlat isyârat al-nash, dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash pada dasarnya sama dengan mafhûm. Hanya saja Syafe’i membedakan atau membagi dilâlat mafhûm kepada muwâfaqah dan ‘mukhâlafah. Terhadap mahfûm mukhâlafah ini memang terjadi perbedan pendapat antara Hanafi dan Syafe’i, terutama di dalam kehujahan dan pengamalannya, seperti telah diuraikan di atas.