Rabu, 20 Oktober 2010

BAB II
PEMBAHASAN TENTANG DIL²LAH LAFAL NASH

A. PENGERTIAN DIL²LAH LAFAL NASH
Secara bahasa kata “دلا لـة” adalah bentuk mashdar (kata dasar) dari kata “دل- يـدل” yang berarti menunjukkan dan kata dilâlah sendiri berarti petunjuk atau penunjukkan. Adapun menurut istilah sebagaimana disebutkan oleh Quthub Mustafa Sanu , bahwa yang dimaksud dengan dilâlah adalah ;
كـون الشـئ بـحـالـة يـلـزم مـن الـعـلم بـه الـعـلم بشـئ أخـر.
Artinya ; Dilâlah itu ialah keadaan sesuatu yang dapat memastikan untuk me ngetahui yang lainnya.

Dengan kata lain, dilâlah itu ialah penunjukkan suatu lafal nash kepada pengertian yang dapat dipahami, sehingga dengan pengertian tersebut kita dapat mengambil kesimpulan hukum dari sesuatu dalil nash. Tegasnya, dilâlah lafal itu ialah makna atau pengertian yang ditunjukkan oleh suatu lafal nash dan atas dasar pengertian tersebut kita dapat mengetahui ketentuan hukum yang dikandung oleh sesuatu dalil nash.
Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat berikut ini ;
واحـل الله الـبـيـع وحـرم الـربـا ... (البـفـرة /٢:٢٧٥)
Artinya ; Dan Allah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba’.
Dilalah atau penunjukkan yang dapat dipahami dari ayat ini adalah bahwa jual-beli itu hukumnya halal dan riba’ itu hukumnya haram, karena makna atau pengertian inilah yang segera dan mudah ditangkap oleh akal seseorang tanpa memerlukan qar³nah yang menjelaskannya.
Pembahasan tentang dilâlah ini sangat penting dalam ilmu ushul fiqh, karena termasuk dalam salah satu system berpikir. Menurut Amir Syarifuddin , bahwa untuk mengetahui sesuatu tidak mesti melihat atau mengamati sesuatu itu secara langsung tetapi cukup dengan menggunakan petunjuk yang ada. Berpikir dengan menggunakan petunjuk dan isyarat disebut dengan berpikir secara dilâlah.
Ditinjau dari segi bentuk dalil yang digunakan dalam mengetahui sesuatu, dilalah itu dibagi kepada dua macam, yaitu ; dilâlah lafziyah dan dilalah gair lafziyah.
1. Dilâlah lafziyah, yaitu dilâlah (petunjuk) dengan dalil yang menggunakan untuk memberi petunjuk kepada sesuatu dalam bentuk lafal, suara atau kata. Oleh karena itu lafal, suara atau kata-kata menunjukkan kepada maksud tertentu, petunjukkan ini dapat diketahui melalui tiga hal.
1.1. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang menunjukkan kepada maksud tertentu yang dapat diketahui oleh setiap orang di seluruh ala mini. Umpamanya “rintihan” yang keluar dari mulut seseorang adalah memberi petunjuk bahwa orang yang mengeluarkan suara rintihan itu berada dalam kesakitan. Dengan adanya rintihan itu, maka semua orang mengetahui bahwa orang itu sakit, meskipun ia tidak pernah menyatakan bahwa ia sedang dalam kesakitan. Penunjukkan (dilalah) seperti ini disebut dengan tabi’iyah; Secara lengkap disebut dengan dilâlah lafziyah tabi’iyah.
1.2. Melalui akal. Dengan perantaraan akal pikiran, seseorang dapat mengetahui bahwa suara atau kata yang didengarnya memberi petunjuk kepada maksud tertentu. Umpamanya suara kendaraan di belakang rumah menunjukkan adanya bentuk kendaraan tertentu yang lewat di belakang rumah itu. Dengan adanya suara itu dapat dicerna oleh akal bahwa suara itu adalah suara kendaraan jenis tertentu meskipun kendaraan tersebut belum dilihat secara nyata. Penunjukkan secara suara tersebut dinamai dengan ‘aqliyah ; Secara lengkap disebut dengan dilâlah lafziyah ‘aqliyah.
1.3. Melalui “istilah” yang dipahami dan digunakan bersama untuk maksud tertentu. Amir Syarifuddin memberikan contoh, “kalau kita mendengar ucapan, “binatang yang mengeong”, kita akan mengetahui apa yang dimaksud ucapan itu, yaitu kucing. Hal ini dimungkinkan karena kita sudah memahami dan menggunakan ungkapan “binatang mengeong” itu untuk memberi istilah kepada kucing. Penunjukkan bentuk ini disebut dengan “wadl’iyah” (وضـعـيـة), secara lengkapnya “dilâlah lafziyah wadl’iyah. Dari ketiga bentuk dilalah ini yang paling dominan dibicarakan dalam ushul fiqh.
Para ahli membagi dilâlah wadl’iyah kepada tiga macam, yaitu ;
a. Muthâbaqiyah (مـطابـقـيـة) yaitu ; istilah yang digunakan sebagai dilâlah merupakan keseluruhan yang lengkap dan mencakup unsur yang harus ada pada istilah tersebut.
b. Tadlammuniyah, (تضمنية)yaitu istilah yang digunakan sebagai dilalah merupakan salah satu bagian yang terkandung dalam keutuhan istilah itu. Meskipun hanya menggunakan salah satu unsur saja, namun sudah dapat menunjukkan maksud yang dituju. Umpamanya kata “ngeong” yang hanya berbentuk unsur fasal dalam istilah, tetapi semua orang sudah dapat mengetahui maksudnya, yaitu kucing.
c. Iltizâmiyah (الـتـزامـيـة), yaitu bila dilâlah bukan arti atau istilah yang sebenarnya, tetapi merupakan sifat tertentu yang lazim itu orang akan mengetahui apa yang dimaksud umpamanya ungkapan “bilangan genap” untuk angka 4. Bilangan genap bukanlah arti yang sebenarnya dari angka 4, karena angka 4 itu sebnarnya 2 + 2 atau 6 – 2, atau lainnya. Penggunaan ungkapan bilangan genap untuk angka 4 sebenarnya tidak salah karena memang ia merupakan salah satu sifat yang berlaku pada angka 4 itu, namun bukan arti yang sebenarnya.
2. Dilâlah Ghari Lafziyah (دلا لـة غــيرلـفـظيـة).
Yang dimaksud dengan dilâlah ini ialah dilalah yang digunakan bukan dalam bentuk suara, bukan dalam bentuk lafal dan bukan pula dalam bentuk kata . Hal ini berarti bahwa “dia” atau tidak bersuaranya sesuatu dapat pula memberi petunjuk kepada sesuatu, maksudnya “raut muka” seseorang mengandung maksud tertentu.
Menurut Amir Syarifuddin , diamnya sesuatu itu dapat diketahui maksudnya melalui hal-hal berikut ini.
a. Melalui hal-hal yang bersifat alami yang dapat dipahami oleh semau orang. Umpamanya warna pucat pada wajah seseorang menunjukkan bahwa ia sedang ketakutan. Hal ini dapat diketahui secara alamiah tanpa dibuat-buat bila seseorang dalam ketakutan maka mukanya akan pucat. Pucat itu akan timbul dengan sendirinya dari rasa takut. Penunjukkan ini disebut dengan “thabi’iyah”, lengkapnya disebut : دلا لـة غــيرلـفـظيـة طـبعـيـة
b. Melalui akal. Makdusnya meskipun tidak ada suara atau kata namun akal dapat mengetahui apa yang terdapat dibalik diamnya sesuatu. Misalnya asap yang mengepul dari sesuatu menunjukkan ada api di dalamnya, meskipun tidak ada petunjuk dalam bentuk suara atau kata, namun seseorang melalui akalnya dapat mengetahuinya, karena menurut pertimbangan akal dimana ada asap pasti ada api. Petunjuk dalam bentuk ini disebut dengan دلا لـة غــيرلـفـظيـة عـقـلـية
c. Melalui kebiasaan dalam menggunakan sesuatu sebagai tanda atau isyarat untuk maksud tertentu. Umpamanya huruf H di depan nama seorang muslim menunjukkan bahwa orang itu sudah melaksanakan ibadah haji. Hal ini dapat diketahui karena sudah menjadi kebiasaan yang dapat dipahami bersama bahwa orang yang sudah haji menambahkan huruf H di depan namanya. Meskipun tidak ada orang yang mengatakannya sudah haji, namun adanya huruf H di depan namanya, maka orang tahu dia sudah haji. Menurut Amir Syarifuddin , penggunaan tanda atau isyarat, baik dengan huruf atau tanda lainnya, banyak digunakan dalam kehidupan. Di antara maksudnya adalah untuk penghematan bahasa. Dengan cara ini maka sedemikian banyak maksud yang disampaikan dalam komunikasi dapat disingkat dengan menggunakan lambing dalam bentuk huruf atau tanda. Di antaranya seperti tanda kepangkatan di lingkungan ABRI dan tanda rambu-rambu lalu lintas. Penunjukkan seperti ini disebut dengan wadl’iyah atau lengkapnya disebut dengan:
دلا لـة غــيرلـفـظيـة وضـعـية
Kedua bentuk dilalah lafal di atas, selain digunakan dalam ilmu mantiq, juga dikaji dalam ilmu ushul fiqh, meskipun diantara meeka terdapat perbedaan dalam menggunakan peristilahannya. Amir Syarifuddin menegaskan bahwa bentuk dilalah yang luas digunakan ialah dilâlah lafziyah karena mengandung maksud yang langsung dan jelas tentang hukum. Bentuk dilalah dengan “diam” dalam dilalah gair lafziyah juga digunakan dalam penunjukkannya terhadap hukum, tetapi mengundang banyak perbedaan pendapat di kalangan ulama ushul fiqh. Pada uraian berikut ini akan dibahas tentang dilalah gair lafziyah dan dilalah gair lafziyah yang berlaku di kalangan ulama Hanafiyah dan Jumhur ulama.

B. DILÂLAH LAFAL NASH MENURUT MAZHAB HANAFI
Nash Al-Qur’an dan As-Sunnah adalah merupakan kumpulan lafal-lafal yang dalam ushul fiqh disebut pula dengan dalil dan setiap dalil memiliki dil±lah atau dal±lah tersendiri. Yang dimaksud dengan dalil di sini, sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Wahab Khalaf adalah sebagai berikut;
مـايـسـتـد ل الـنـظرالصحيح فـيـه عـلى حكم شـرعي عـملي عـلى ســبـيـل ا لـقـطع أوالـظن
Artinya; “segala sesuatu yang dapat dijadikan petunjuk dengan menggunakan pemikiran yang benar untuk menetapkan (menemukan) hukum syara’ yang bersifat amali, baik sifatnya qoth’iy maupun zhanniy.”

Oleh karena itu dapat dipahami bahwa, pada dasarnya, yang disebut dengan dalil atau dalil hukum itu ialah segala sesuatu yang dapat dijadikan alasan atau pijakan dalam usaha menemukan dan menetapkan hukum syara’ atas dasar pertimbangan yang benar dan tepat.
Sementara itu, yang dimaksud dengan dilâlah, seperti dijelaskan oleh Muhammad Al-Jarjani , dalam kitab “Al-Ta’rifât” adalah :
كـيـفـية د لا لـة اللـفــظ عـلى المـعـنى
Yaitu; cara penunjukkan lafaz atas sesuatu makna atas pengertian yang dikandung oleh Nash.

Atas dasar ini dapat disimpulkan bahwa dalil adalah yang memberi petunjuk dan dil±lah ialah sesuatu yang ditunjukkan. Menyangkut dil±lah lafaz nash ini di kalang ulama ushul memang terdapat perbedaan.
Kalangan ulama Hanafiyah membagi cara penunjukkan dil±lah lafal nash itu kepada empat macam, yaitu ‘ib±rat al-nash, isy±rat al-nash, dil±lah al-nash, dan iqtidl±’ al-nash.
4.1. Ibârat al-Nash
Yang dimaksud dengan Ibârat al-Nash ialah:
عــبـارة الـنـص هـي دلا الـكلآ م عــلى الـمـعـنـى الـمـقـصود مـنـه ا مـا أصالـة أوتــبـعـا
Artinya ; Ibarat nash ialah petunjuk kalimat (lafal) kepada pengertian yang dikehendaki sesuai dengan apa yang dituturkan langsung oleh kalimat itu sendiri.

Depinsi lain, sebagaimana diungkapkan oleh Quthub Mustafa Sanu adalah ;
عــبـارة الـنـص هـي دلا لـة الـفــظ عــلى مـا كان الـكلا م مـسـوقـا لآجـلـه أصا لـة أ و تـبـعـا وعـلـم قـبـل الـتـأ مـل أن ظا هـر اللـفـظ يـتـنـا ولـه.
Artinya ; Ibarat al-Nash ialah petunjuk lafal yang didasarkan pada susunan kalimatnya sendiri secara langsung dan ia dapat diketahui dengan mudah dan jelas yang tercakup di dalamnya.

Dari dua definisi di atas dapat dipahami bahwa, Ibârat al-Nash itu ialah petunjuk lafal kepada suatu pengertian atas suatu ketentuan hukum yang diungkapkan langsung oleh lafal nash itu sendiri. Sebagai contoh Firman Allah dalam ayat berikut ini.
واحـل الله البــيـع وحـرم الـربـا ...
Artinya ; Dan Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riaba’…

Menurut Wahbah Zuhaili bahwa ayat ini arti asalnya adalah menjelaskan antara jual – beli dan riba’ itu dua hal yang berbeda atau tidak sama. Kemudian ayat ini diartikan pula bahwa jual – beli itu boleh dan riba’ itu haram. Kedua pengertian ini dipahami atau diperoleh dari petunjuk susunan lafal yang terdapat dalam ayat.
4.2. Isyârat al-Nash
Yang dimaksud dengan Isy±rat al-Nash ialah ;
هـى الـد لا لـة اللـفــظ عـلى حـكم لـم يـقـصد أصا لـة ولا تـبـعـا ولكـنـه لازم للـمـعـنى الذى سـيـق الـكلا م لا فـاد تـه.
Artinya ; Isyarat dan al-nash ialah penunjukkan lafal atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan langsung oleh lafal nash tetapi merupakan kelaziman bagi arti yang diucapkan diungkapkan untuk itu.

Dari pengertian ini dapat dipahami bahwa isyârat al-nash itu sesungguhnya adalah petunjuk lafal atas sesuatu yang bukan dimaksudkan untuk arti menurut asalnya. Tegasnya, isyârat al-nash itu ialah dilâlah lafal yang didasarkan atas arti yang tersirat, bukan atas dasar yang tersurat. Sebagai contoh dapat dilihat dalam ayat .
وعـلى المولود لــه رزقــهـن وكـسـوتهـن بالمعـروف ... (البقـرة / ۲ : ۲۳۳)
Artinya; “Dan kewajiban Ayah (suami) memberi nafkah dan pakaian dengan layak kepada isteri …”

Secara ibarat Nash pengertian yang dapat ditangkap dari ayat ini adalah bahwa Ayah (suami) wajib mengayomi isteri-isteri mereka berupa pemberian nafkah dan pakaian, bahkan tempat tinggal secara layak dan patut (ma’ruf). Menurut Amir Syarifuddin , bahwa ungkapan “المولودلـه” yang diartikan denga ayah adalah sebagai pengganti kata “الاب” dalam ayat di atas. Akan tetapi mengapa Allah menggunakan kata “المولود له” dalam ayat ini. Dalam pandangan para Mujtahid tentu ada maksud yang tidak dapat dipahami oleh orang biasa. Ungkapan “المولود له” adalah terdiri dua unsur kata, yaitu “المولود”yang arti dasarnya adalah “anak yang dilahirkan, dan kata “له” yang berarti “untuknya” dan kata “له” itu sendiri dimaksud-kan di sini adalah ayah. Sehingga “ungkapan” “المولود له” arti asalnya “anak untuk ayah” . Oleh karena itu, ungkapan lafal “المولود له” mengandung arti lain. Selain dari arti yang disebutkan, yaitu anak adalah milik ayah dan oleh karenanya anak-anak yang lahir dinasabkan kepada ayahnya bukan kepada ibunya. Pengertian yang disebut terakhir ini merupakan “Isyarat” yang dapat ditangkap dibalik susunan lafal nash.

4.3.Dilâlat al-Nash
Dilâlat al-Nash ini disebut juga dengan dilâlat al-dilâlat. Adapun yang dimaksud dengan dilâlat al-dilâlat adalah
دلا لـة الـنص هـى دلا لـة الـكلا م عـلـى ثـبـوت حـكـم المنصوص عـلـيه المـسـكـوت عـنـه لا شـتــراكهـما فى عـلـة الحكم التى يـمكـن فـهـمهـا بـمجـرد فـهـم اللـغـة مـن غـيـر احـتـيـاج الى نـظـرواجـتـهـا د
Maksudnya ; Dilalat Nash ialah petunjuk lafal atas suatu ketetapan hukum yang disebutkan Nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan (maskut ‘anhu), karena antara kedua -- yang disebutkan dan yang tidak disebutkan -- terdapat pertautan ‘illat, dimana pemahaman atas keduanya dapat dilakukan dengan mudah, yang cukup dengan analisa kebahasaan dan tidak memerlukan Ijtihad dengan mengerahkan segala kemampuan daya nalar.

Contoh untuk maksud ini dapat dilihat dalam ayat berikut ini :
فلأ تـقـل لــهـما أ ف ولا تـنـهرهـما ...
Artinya : “Maka janganlah kamu mengucapkan kata “ah” kepada kedua orang tuamu dan jangan pula kamu hardik mereka berdua…”

Dari ayat ini dapat dipahami bahwa kita “tidak boleh” atau “dilarang” mengucapkan kata-kata “ah” atau “cis” dan menghardik kedua orang tua (ibu-bapak) yang telah melahirkan dan membesarkan kita. Hal ini tidak lain karena perbuatan ini adalah “menyakitkan” perasaan kedua orang tua. Ketentuan hukum larangan ini juga dapat diberlakukan kepada perbuatan misalnya “memukul” atau perbuatan-perbuatan yang sejenisnya - yang pada dasarnya membawa akibat yang sama yaitu menyakitkan orang tua baik perasaan maupun fisik. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa apapun perbuatan atau tindakan yang dilakukan - selain ucapan “ah” atau hardikan - yang dapat menyakiti kedua orang tua adalah dilarang dan mengakibatkan seseorang berdosa kepada Allah SWT. Tentang dilâlat al-nash ini dalam pandangan Syafe’i , disebut dengan mafhûm muwâfaqah atau qiyâs jali. Disebut dengan mafhûm muwâfaqah, ialah apa yang tidak disebutkan oleh nash sejalan dengan apa yang dituturkan oleh nash. Dengan kata lain, ketentuan hukum yang tidak disebutkan oleh nash sesuai dengan ketentuan hukum yang disebutkan oleh lafal nash. Disebut dengan qiyas jali ialah karena ketentuan hukum terhadap sesuatu yang tidak disebutkan itu lebih kuat dibandingkan dengan yang disebutkan oleh Nash. Sebagaimana contoh di atas bahwa “memukul” orang tua adalah lebih berat dan lebih menyakitkan jika dibandingkan dengan mengucapkan ucapan “ah” atau “uf” kepada kedua orang tua.
4.4. Iqtidlâ’ al-Nash
Dilâlah al-Iqtidhâ’al- nash’ ini disebut juga dilâlat al-iqtidlâ’. Yang maksud dengan iqtidhâ’al- nash ialah ;
اقـتـضاء الـنـص هى دلا لـة الكلآ م عـلى مـسـكوت عـنـه يـتـو قــف عـلـيه صدق الكلآ م.
Artinya ; Iqtidla’ al-nash ialah penunjukkan lafal nash kepada sesuatu yang tidak disebutkan, yang sebenarnya tergantung kepada yang tidak disebutkan.

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa suatu dilâlah (petunjuk makna lafal nash baru bisa dipahami secara jelas bila ada penambahan kata untuk memperjelas maksud yang terkandung dari suatu teks nash. Sebagai contoh dapat dilihat dalam firman Allah pada ayat berikut ini ;
حـرمت عـليـكم الـمـيـتــة والدم ولحـم الـخـنـزيـر...
Artinya : Diharamkan atas kamu bangkai, darah dan daging babi…
Pengertian ayat ini belum jelas. Oleh karena itu diperlukan penjelasan dengan menambah unsur kata dari luar teks. Untuk kasus dalam ayat ini maksudnya “diharamkan memakan atau memanfaatkan darah dan daging babi. Sebab keharaman tanpa hubungan dengan perbuatan manusia tidak ada manfaatnya.
Dalam pandangan ulama ushul, dari keempat macam cara penunjukkan dilalah yang telah dikemukakan di atas, maka yang paling kuat adalah dilalah “ibârat al-nash, kemudian menyusul isyârat al-nash dan setelah itu baru dilâlat al-nash dan yang terakhir adalah iqtidlâ’ al-nash. Sebagaimana dijelaskan oleh Zaky al-Din Sya’ban bila terjadi perlawanan hukum yang didasarkan pada ibârat al-nash dengan suatu ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan isyârat nash, maka ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibârat al-nash lebih didahulukan dari pada isyârat al-nash. Begitu pula jika terjadi pertentangan ketentuan hukum yang ditetapkan berdasarkan ibârat nash atau isyârat nash dengan dilâlat al-nash, maka lebih didahulukan salah satu dari keduanya dari pada dilâlat al-nash. Bila terjadi pertentangan antara dilâlat al-nash dengan iqtidlâ’ al-nash, maka dilâlat al-nash lebih didahulukan atas iqtidlâ’ al-nash. Sebagai contoh adalah firman Allah berikut ini ;
يـايـهـاالـذ يـن امـنـوا كـتـب عـلـيـكـم الـقـصاص فى الـقـتـلى...
Artinya ; “Wahai orang-orang yang beriman diwajibkan kepada kamu (melaksanakan qishash dalam pembunuhan …”

Ayat ini dilihat dari segi ibârat nash menunjukkan wajibnya melaksanakan qishash bagi pembunuh sengaja. Kemudian Firman Allah dalam ayat berikut ini ;
"ومـن يـقـتـل مـؤ مـنـا مـتـعـمـدا فـجـزاؤه جـهـنـم خـالـدا فـيـهـا وغـضـب الله عـلـيـه ولـعـنـه واعـد لـه عـذا بـا عـظـيـمـا" ( النساء/ ٤:۹۳)
Artinya ; Dan barang siapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah neraka jahanam, ia kekal di dalamnya dan Allah akan murka dan melaknatnya serta Allah menyediakan azab yang besar baginya.

Ayat ini dengan cara isyârat menunjukkan batas ketiadaan wajibnya qishash bagi pembunuh sengaja. Oleh sebab itu, ayat ini berlawanan dengan ayat sebelumnya yang secara ibârat nash mewajibkan qishash atas pembunuhan sengaja. Karena itu, ketetapan suatu ketentuan hukum dengan ibârat nash lebih diutamakan dari isyârat nash, yaitu dalam hal ini wajibnya qishash bagi pembunuhan sengaja.

C. DILÂLAH LAFAL MENURUT MAZHAB SYAFE’I
Kalangan ulama Syafeiyah , dilâlah lafal nash dibagi kepada dua macam, yaitu dilâlat al-mantûq (دلالـة الـمـنطوق) dan dilâlat al-mafhûm
(دلالـة الـمـفـهـوم). Yang dimaksud dengan dilalat al-mantuq ialah :
دلالـة الـمـنطوق هى دلا لـة اللـفـظ عـلى حـكـم شـئ ذكـر فى الـكلآ م ونـطـق بـه.
Artinya ; Dilalat mantuq ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketetapan hukum (pengertian) sesuai dengan apa yang diucapkan dan dituturkan langsung oleh lafal.

Dari definisi ini dapat dipahami bahwa dilâlat al-mantûq ialah suatu ketetapan hukum yang dapat dipahami dari penuturan langsung lafal nash secara tekstual. Sebagai contoh dapat dilihat pada ayat berikut ;
...وربائــكم التى فى حجوركم من نســـا ئكم التى دخـلـتم بـهـن ...
Artinya : … Diharamkan bagi kamu (menikahi) anak-anak tiri yang berada dalam asuhan kamu dari isteri-isteri yang telah kamu gauli…”

Berdasarkan ayat ini dapat dipahami bahwa mant­qnya ialah menunjuk-kan secara jelas bahwa haram menikahi anak-anak tiri yang berada dalam asuhan suami dari isteri-isteri yang sudah digauli. Dilãlat al-mantûq dibagi kepada dua macam, yaitu ; mantûq sarih dan mant­q gair sar³h. Menurut Wahbah Zuhaili yang dimaksud dengan mantûq sar³h ialah penunjukkan lafal nash yang jelas secara langsung tercakup dalam ungkapan lafal nash dan mantuq gair sarih ialah penunjukkan lafal nash yang tidak jelas.
Kemudian, yang dimaksud dengan dilālat al-mafhūm ialah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan langsung dalam susunan kalimat . Tegasnya, dilālat al-mafhūm itu adalah penunjukkan lafal nash atas suatu ketentuan hukum yang didasarkan atas pemahaman dibalik yang tersurat. Di kalangan jumhur, yaitu Syafeiyah dilālat al-mafhūm ini dibagi kepada dua macam, yaitu mafhūm muwāfaqah dan mafhūm mukhālafah. Yang dimaksud dengan mafhūm muwāfaqah ialah Penunjukkan lafal atas suatu ketetapan yang disebutkan oleh nash berlaku pula atas sesuatu yang tidak disebutkan, karena antara keduanya -- yang disebutkan dan yang tidak disebutkan -- terdapat persamaan ‘illat. Tegasnya, mafhūm muwāfaqah itu adalah ketentuan hukum atas sesuatu yang tidak disebutkan bersesuaian dengan ketentuan hukum yang disebutkan oleh nash.
Selanjutnya yang dimaksud dengan mafhūm mukhālafah ialah penunjukkan lafal atas sesuatu ketentuan hukum yang tidak disebutkan merupakan lawan atau kebalikan dari apa yang disebutkan oleh nash. Disebut dengan mukhlāfah karena hukum yang tidak disebutkan berlawan dengan hukum yang disebutkan.
Mafhūm mukhālafah ini terdiri dari lima macam berikut ini ;
a. Disebut mafhūm sifat, yaitu menetapkan hukum yang dikaitkan dengan sifat yang terdapat pada lafal dan menetapkan sebaliknya bila berlawanan dengan sifat dimaksud. Contohnya, dalam surat An-Nisa’ ayat 25 disebutkan bahwa “barangsiapa yang tidak memiliki kemampuan untuk menikahi wanita merdeka mukmin, maka ia boleh menikahi wanita beriman dari hamba sahaya yang kamu miliki”.
Mantuq dari ayat ini ialah boleh menikahi hamba sahaya mukmin bila tidak mampu menikahi wanita merdeka mukmin. Mafhūm sifatnya dari ayat ini ialah tidak boleh menikahi hamba sahaya yang tidak mukmin.
b. Mafhūm syarat, yaitu menetapkan hukum kebalikan dari yang disebutkan yang dikaitkan dengan syarat. Tegasnya bila syarat terpenuhi maka berlaku hukum dan bila tidak terpenuhi maka tidak dapat ditetapkan hukum sebaliknya. Contohnya firman Allah dalam surat al-Thalaq ayat 6 menyebutkan ;
“jika perempuan (yang dicerai) itu dalam keadaan hamil maka berilah nafkah mereka sampai mereka melahirkan”.
Mantuq ayat ini menetapkan bahwa wajib memberi nafkah bagi perempuan yang dicerai dengan syarat bila ia dalam keadaan hamil. Mafhūm syarat ayat ini tidak wajib memberi nafkah pada isteri yang diceraikan bila ia tidak sedang dalam keadaan hamil.
c. Mafhūm al-g±yah, yaitu menetapkan hukum yang dikaitkan dengan hinggaan atau limid waktu. Tegasnya, menetapkan lawan hukum bagi sesuatu yang tidak disebutkan melalui batasan yang terdapat pada mantuq. Contohnya ialah firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 230.
“Jika suami mentalak isterinya (talak tiga), tidak halal baginya bekas isterinya hingga bekas isterinya itu menikah dengan laki-laki lain”.
Mantuq ayat ini ialah tidak boleh menikahi isteri yang telah ditalak tiga sampai ia menikah dengan laki-laki lain. Mafhūm al-gayahnya bila bekas isteri itu telah menikah dengan laki-laki lain dan bercerai dengan laki-laki itu serta habis masa iddahnya, maka ia boleh menikah kembali dengan bekas isterinya tersebut.
d. Mafhūm al-Adad yaitu, penetapan hukum yang merupakan kebalikan dari ketentuan hukum yang disebutkan dengan dikaitkan dengan jumlah atau bilangan. Contohnya sebagaimana firman Allah dalam surat al-Nur ayat 2 ;
“Pezina perempuan dan pezina laki-laki hendaklah masing-masing mereka dicambuk sebanyak seratus kali”.
Mantuq ayat ini adalah wajib hukumnya mencambuk pezina baik laki-laki maupun perempuan sebanyak seratus kali. Mafh­m adadnya ialah tidak sah cambukan terhadap pezina tersebut bila cambukannya itu lebih atau kurang dari seratus kali.
e. Mafhūm laqab yaitu menetapkan atau menyebutkan suatu ketentuan hukum atas suatu nama atau jenis tertentu dan tidak berlakunya hukum itu untuk sebaliknya (orang lain). Misalnya, dalam Firman Allah surat Ali Imran ayat 97 disebutkan ;
“… mengerjakan haji adalah kewajiban manusia kepada Allah, yaitu bagi orang yang mampu pergi ke Baitullah…”
Mantuq ayat ini menjelaskan bahwa mengerjakan haji itu adalah pergi ke baitullah di Makkah al-Mukarramah. Mafhûm laqabnya adalah tidak sah dan tidak diterima pergi menunaikan haji ke tempat lain selain ke Baitullah.
Di kalangan ulama sepakat untuk dapat beramal dan berhujah dengan mafhūm sifat, syarat, adat dan gayah, kecuali mafhūm laqab. Karene menurut mereka mafhūm laqab tidak mungkin kita menghasilkan ketentuan hukum kebalikannya. Ulama berbeda pendapat tentang kekuatan hukum yang ditetapkan melalui beberapa bentuk mafhum dalam kaitannya dengan teks hukum. Menurut penjelasan Amir Syarifuddin, kalangan jumhur ulama berpendapat bahwa nash-nash hukum memberi petunjuk tentang hukum atas sesuatu kejadian bila dikaitkan kepada sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, mempunyai kekuatan untuk menetapkan hukum atas kejadian yang memiliki sifat, syarat, bilangan atau batas waktu tersebut. Begitu pula nash hukum tersebut mempunyai kekuatan dalam menetapkan hukum yang sebaliknya jika tidak terdapat sifat, syarat, bilangan atau batas waktu yang sudah berlalu.
Alasan kalangan jumhur ulama ialah ; Pertama, yang mudah dipahami dari ungkapan bahasa Arab dan tradisi penggunaan ‘ibaratnya adalah bahwa mengaitkan sesuatu dengan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu. Untuk menunjukkan berlakunya hukum bila terdapat kaitan tersebut ; juga menunjukkan tidak berlakunya hukum tersebut bila kaitan itu tidak terdapat dalam satu keadan. Kedua, kaitan yang terdapat dalam nash syara’ baik dalam bentuk sifat, syarat, bilangan atau batas waktu, bukanlah tanpa arti. Ia mempunyai maksud tertentu, yaitu menetapkan hukum dalam kejadian lain, kecuali bila ada penjelasan tersendiri yang menyatakan adanya maksud lain dari kaitan tersebut. Dalam keadaan demikian memang tidak berlaku mafh­m mukh±lafah.
Kemudian kalangan Hanafiyah berpendapat bahwa nash syara’ yang menunjukkan hukum pada suatu kejadian bila dikaitkan pada suatu sifat, syarat, bilangan atau batas waktu maka mempunyai kekuatan hukum terhadap kejadian yang disebutkan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu itu saja secara manthuq. Adapun nash hukum yang tidak ditemukan sifat, syarat, bilangan dan batas waktu maka tidak dapat diketahui hukumnya dari mafhum mukhalafahnya, tetapi harus melalui dalil lain. Hal ini berarti kita tidak dapat menetapkan hukum apapun hanya melalui mafhûm mukhâlafah saja. Adapun yang menjadi alasan dari kalangan Hanafiyah adalah, pertama, Tidaklah umum dalam ungkapan bahasa arab bahwa mengaitkan hukum dengan sifat, syarat, bilangan atau limit waktu berarti menunjukkan berlakunya hukum ketika ada kaitannya itu, dan hukum tidak berlaku bila kaitan itu tidak ada. Cukup banyak ungkapan bahasa arab yang dikaitkan dengan salah satu dari kaitan itu (sifat, syarat, bilangan dan limit waktu) tetapi tidak mengandung daya mahfûm (tersirat). Umpamanya firman Allah yang berikut ini ;
يـايـهـاالـذ يـن امـنـوا لا تـا كلـوا الـربــوا ا ضـعـا فــا مـضا عـفـة ...
Artinya ; “Wahai orang-orang yang beriman janganlah kamu memakan riba’ secara berlipat ganda…”

Mantuq ayat ini, larangan riba’ diberi kaitan dengan sifat berlipat ganda. Meskipun demikian riba’ tetap saja haram sekalipun dilakukan tidak dengan cara berlipat ganda. Kedua, banyak nash syara’ yang menunjukkan suatu hukum yang diberi kaitan dengan suatu kait, namun hukum itu tetap saja berlaku meskipun kaitan itu tidak ada. Shalat dalam perjalanan tetap dapat diqashar meskipun orang yang melakukannya tidak lagi dalam keadaan takut diserang dalam peperangan, padahal kebolehan qashar shalat itu diberi syarat kalau takut mendapat serangan dari orang-orang kafir. Allah berfirman dalam surat al-Nisa’ ayat 101 berikut ini ;
“Bila kamu melakukan perjalanan di atas bumi, maka tidaklah mengapa kamu mengqashar shalat bila kamu khawatir diserang oleh orang-orang kafir…”
Bila mengamalkan mafhûm mukhâlafah dari ayat ini tentu tidak boleh lagi mengqashar shalat di waktu tidak ada lagi peperangan. Qashar shalat masih berlaku meskipun peperangan tidak ada lagi, berarti mafhûm mukhlâfah tidak diamalkan dalam pemahaman ayat ini.
Dari ayat di atas dapat dilihat bahwa di kalangan ulama ushul terdapat perbedaan dalam memahami dan melihat lafal nash dan cara penunjukkan dilalahnya dalam kaitannya dengan kesimpulan hukum yang akan diambil atau ditetapkan. Perbedaan ini bukan saja dari segi penyebutan istilah yang digunakan, tetapi juga mereka berbeda dalam hal pengamalan atau penerapannya. Jika kalangan Hanafi membagi dilalah lafal nash kepada empat macam bentuk dilâlah, yaitu ; ‘ibârat nash, isyârat al-nash, dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash, maka kalangan Syafe’i membaginya kepada dua macam, yaitu ; dilâlat manthûq dan dilâlat mafhûm. Dilihat mafhûm dibagi pula kepada dua macam yaitu ; mafhûm muwâfaqah dan mafhûm mukhâlafah. Sebetulnya bila dicermati antara istilah yang digunakan oleh Hanafi dan Syafe’i, sekalipun berbeda, tetapi dari segi maksudnya ada kesamaannya. Jika Hanafi menyebut dilâlat ‘ibârat al-nash, maka Syafe’i menyebutnya dengan dilâlat manthûq. Adapun dilâlat isyârat al-nash, dilâlat al-nash dan iqtidlâ’ al-nash pada dasarnya sama dengan mafhûm. Hanya saja Syafe’i membedakan atau membagi dilâlat mafhûm kepada muwâfaqah dan ‘mukhâlafah. Terhadap mahfûm mukhâlafah ini memang terjadi perbedan pendapat antara Hanafi dan Syafe’i, terutama di dalam kehujahan dan pengamalannya, seperti telah diuraikan di atas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar