Senin, 21 Mei 2012

pengembangan pemikiran pendidian agama islam

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Faktor terpenting bagi seorang guru adalah etikanya. itulah yang akan menentukan apakah ia menjadi pendidik dan pembina yang baik bagi anak didiknya, ataukah akan menjadi perusak atau penhacur bagi hari depan anak didik, terutama bagi anak didik yang masih kecil (tingkat sekolah dasar) untuk menanamkan pondasi keagamaan dan mereka yang sedang mengalami kegoncangan jiwa (tingkat menengah).
Perasaan dan emosi guru yang mempunyai kepribadian terpadu tampak stabil, optimis dan menyenangkan. Dia dapat memikat hati anak didiknya, karena setiap anak merasa diterima dan disayangi oleh guru, betapapun sikap dan tingkah lakunya.
Tingkah laku atau moral guru pada umumnya, merupakan penampilan lain dari kepribadiannya. Bagi anak didik yang masih kecil, guru adalah contoh teladan yang sangat penting dalam pertumbuhannya, guru adalah orang pertama sesudah orang tua, yang mempengaruhi pembinaan kepribadian anak didik. Kalaulah tingkah laku atau akhlak guru yang tidak baik, pada umumnya akhlak anak didik akan rusak olehnya, karena anak mudah terpengaruh oleh orang yang dikaguminya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Apakah pengertian mengajar?
2.      Apakah pengertian etika mengajar?
3.      Bagaimanakah pendapat para ulama tentang etika mengajar?
4.      Bagaimanakah pengembangan etika mengajar dalam pendidikan Islam?
C.    Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui pengertian dari mengajar.
2.      Untuk mengetahui etika mengajar.
3.      Untuk mengetahui pendapat para ulama tentang etika mengajar.
4.      Untuk mengetahui pengembangan pemikiran etika mengajar dalam pendidikan Islam.



BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Mengajar
Dari segi bahasa kata mengajar dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mengajar diartikan sebagai memberikan serta menjelaskan kepada orang tentang suatu ilmu, memberi pelajaran dan melatih.
Pendidik (pengajar) adalah seoarang dewasa yang bertanggung jawab memberi bimbingan atau bantuan kepada anak didik dalam perkembangan jasmani dan rohani agar mencapai kedewasaannya.[1]
Mengajar menurut William Burton adalah upaya dalam memberikan peransang, bimbingan, pengarahan dan dorongan kepada siswa agar terjadi prose belajar. Sejalan dengan definisi diatas bahwa mengajar adalah memberikan ilmu dan menjelaskan ilmu kepada orang atau murid, dan mengajar adalah memberi pelajaran tentang suatu ilmu dan melatih anak murid yang di ajarkan.[2]
Kegiatan mengajar bagi seoarang guru menghendaki hadirnya sejumlah murid, berbeda dengan belajar, belajar tidak selamanya memerlukan seorang guru. Hal ini terkait dengan yang diungkapkan oleh Djamharah, bahwa “guru yang mengajar dan anak didik yang belajar adalah satu dwi tunggal dalam perpisahan raga jiwa bersatu antara guru dan murid”.
Konsep mengajar sering ditafsirkan karena senantiansa dilandasi oleh teori belajar tertentu, sedangkan tafsiran tentang mengajar adalah mewariskan kebudayaan nenek moyang masa lampau ke generasi baru secara turun-temurun sehingga terjadi konservasi kebudayaan, Ada pula yang menyatakan bahwa mengajar adalah proses menyampaikan pengetahuan dan kecakapan kepada siswa.[3]
Dapat dirumuskan bahwa mengajar adalah guru yang mengajar dan murid yang belajar. Mengajar paling terpenting dalam lingkungan pencarian ilmu. Mengajar merupakan suatu kewajiban bagi orang-orang yang berilmu. Dan mengajar adalah memberi berbagai macam ilmu pengetahuan kepada anak didiknya atau murid yang di ajarkan. Mengajar juga pada dasarnya adalah belajar mengajar. Ada pun dalam arti yang sederhana mengajar ada yang memberi istilah degan guru, ustad, kyai, dan ulama.
B.   Etika Mengajar
Dalam proses mengajar, guru tidak lepas dari etika mengajar apabila kesuksesan pendidikan ingin dicapai dengan sempurna. Jika seorang guru memiliki etika yang baik dalam mengajar dan memikat maka ia akan menjadi seorang guru yang disukai murid-muridnya. Mereka akan menerima pelajaran yang diberikan dengan hati senang dan antusias. Dan tidak diragukan lagi, guru yang tidak memiliki etika dalam mengajar, tidak akan bertahan lama menekuni profesi sebagai seorang guru, kecuali karena terpaksa. Karena etika yang baik akan membentuk sifat menerima antara guru dan murid-muridnya, yang merupakan unsur terpenting dalam proses pendidikan.
Sedangkan menurut Moh. Athiyah Al-Abrasyi, seorang pendidik Islam harus memiliki sifat-sifat tertentu agar ia melaksanakan tugasnya dengan baik. Adapun sifat-sifat itu ialah:
1.      Memiliki sifat zuhud, tidak mengutamakan materi dan mengajar karena mencari keridaan allah semata.
2.      Seorang guru harus jauh dari dosa besar, sifat riya’ (mencari nama), dengki, permusuhan perselisihan dan lain-lain sifat yang tercela.
3.      Ikhlas dalam pekerjaan, keikhlasan dan kejujuran serorang guru di dalam pekerjaannya merupakan jalan terbaik kearah suksesnya kedalam tugasnya dan sukses murid-muridnya.
4.      Seorang guru harus bersifat pemaaf terhadap muridnya, ia sanggup menahan diri, menahan kemarahan, lapang hati, banyak sabar dan jangan pemarah karena sebab-sebab yang kecil, berkepribadian dan mempunyai harga diri.
5.      Seorang guru harus mencintai murid-mridnya, seperti cintanya terhadap anak-anaknya sendiri dan memikirkan keadaan mereka seperti memikirkan diri sendiri.
6.      Seorang guru harus mengetahui tabiat, pembawaan, adat, kebiasaan, rasa dan pemikiran murid-muridnya agar ia tidak keliru dalam mendidik murid-muridnya.
7.      Seorang guru harus menguasai mata pelajaran yang akan diberikannya, serta memperdalam pengetahuannya sehingga mata pelajaran yang diajarkannya tidak akan bersifat dangkal.[4]
C.  Problem Mengajar
Secara umum problem mengajar dalam pendidikan Islam sebagai berikut:
1.      Kurangnya profesionalitas pendidik baik secara metode, teknik, strategi, teori serta prakteknya.
2.      Keanekaragaman peserta didik karena perbedaan karakter peserta didik dengan latar belakang masing- masing.
3.      Adanya kebijakan- kebijakan dari pemerintah yang kurang mementingkan kemaslahatan bersama.
4.      Kurang adanya komunikasi aktif antar lingkungan pendidikan.

D.  Etika Mengajar Menurut Para Ulama
1.    Al-Ghazali
Dalam suatu proses pendidikan adanya pendidik merupakan suatu keharusan. Pendidik sangat berjasa dan berperan dalam suatu proses pendidikan dan pembelajaran sehingga Al-Ghazali merumuskan sifat-sifat yang harus dimiliki pendidik diantaranya guru harus cerdas, sempurna akal, dan baik akhlaknya; dengan kesempurnaan akal seorang guru dapat memiliki ilmu pengetahuan secara mendalam dan dengan akhlak yang baik dia dapat memberi contoh dan teladan bagi muridnya.
Menurut Al-Ghazali, guru yang dapat diserahi tugas mengajar selain harus cerdas dan sempurna akalnya juga baik akhlak dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal ia dapat memiliki berbagai ilmu pengetahuan secara mendalam, dengan akhlaknya dapat menjadi contoh dan teladan bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya guru dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik dan mengarahkan anak-anak muridnya.[5]
Selain sifat-sifat umum di atas pendidik kendaknya juga memiliki sifat-sifat khusus dan tugas-tugas tertentu diantaranya:
a.       Sifat kasih sayang.
b.      Mengajar dengan ikhlas dan tidak mengharapkan upah dari muridnya.
c.       Menggunakan bahasa yang halus ketika mengajar.
d.      Mengarahkan murid pada sesuatu yang sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuan siswa.
e.       Menghargai pendapat dan kemampuan orang lain.
f.       Mengetahui dan menghargai perbedaan potensi yang dimiliki murid.[6]
Seorang guru ketika mengajar dan hendak mengajar hendaknya memperhatikan etika-etika berikut :
a.       Mensucikan diri dari hadats dan kotoran.
b.      Berpakaian yang sopan dan rapi serta berusaha berbau wewangian.
c.       Berniat beribadah ketika dalam mengajarkan ilmu
d.      Menyampaikan hal-hal yang diajarkan oleh Allah (walaupun hanya sedikit)
e.       Membiasakan membaca untuk menambah ilmu pengetahuan
f.       Memberikan salam ketika masuk kedalam kelas
g.      Sebelum belajar berdo’alah untuk para ahli ilmu yang telah terlebih dahulu meninggalkan kita
h.      Berpenampilan yang kalem dan menghindarkan hal-hal yang tidak pantas dipandang mata
i.        Menghindarkan diri dari gurauan dan banyak tertawa
j.        Jangan sekali-kali mengajar dalam kondisi lapar, makan, marah, mengantuk, dan lain sebagainya
k.      Hendaknya mengambil tempat duduk yang strategis
l.        Usahakan berpenampilan ramah, tegas, lugas dan tidak sombong
m.    Dalam mengajar hendaknya mendahulukan materi yang penting dan disesuaikan dengan profesionalisme yang dimiliki
n.      Jangan mengajarkan hal-hal yang bersifat subhat yang dapat menyesatkan
o.      Perhatikan msing-masing kemampuan murid dalam meperhatikan dan jangan mengajar terlalu lama
p.      Menciptakan ketengan dalam belajar
q.      Menegur dengan lemah lembut dan baik ketika terdapat murid yang bandel
r.        Bersikap terbuka dengan berbagai persoalan yang ditemukan
s.       Berilah kesempatan pada murid yang datang terlambat dan ulangilah penjelasannya agar mudah dipahami apa yang dimaksud
t.        Dan apabila sudah selesai berilah kesempatan kepada anak didik untuk menanyakan hal-hal yang belum dimengerti.[7]


2.    Al- Zarnuzi
Sebagai calon pendidik selayaknya kita mengetahui kriteri guru yang baik. Karena itu merupakan salah satu poin yang dibahas dalam konsep penddikan Al- Zarnuzi yakni memilih ilmu, guru, teman dan ketahanan dalam belajar. Dalam pembahasan memilih guru ada beberapa kriteri yang ditulis oleh Al- Zarnuzi dalam kitabnya Ta’lim Muta’alim sebagai berikut:
a.       Pedegogik merupakan ilmu yang mengkaji bagaimana membimbing anak, bagaimana sebaiknya pendidik berhadapan dengan anak didik, apa tugas pendidik dan tujuan mendidik anak. Dari kesimpulan tersebut bahwa guru harus paham dan mengerti betul-betul hal-hal yang berhubungan dengan pendidikan.
b.      Seorang guru adalah figur yang berbicara didepan dan harus bisa menghidupkan suasana dengan kemampuan socialnya.
c.       Profesional berarti seorang pendidik harus paham betul akan materi yang ia sampaikan. Lebih detail lagi ia selalu akan tugas atau materi yang ia bawakan kemaren, sehingga materi yang dibawakan itu akan terus nyambung bagaikan mata rantai yang seling membutuhkan satu sama lain.
d.      Guru tidak hanya sebagai pentransfer ilmu, akan tetapi juga sebagai pengajar etika yang berperan sebagai uri tauladan. Konsep orang jawa bahwa guru adalah orang yang di gugu dan ditiru, artinya guru adalah orang yang dihormati dan menjadi tauladan bagi muridnya. Maka guru harus mengisi kepribadiannya dengan akhlakul karimah.
Dari keempat kriteri diatas, bukan berarti salah satu atau salah dua yang harus dimiliki oleh pendidik profesional, akan tetapi kesemua itu bagaikan mata rantai yang berurutan yang memang satu sama lain harus berhubungan dan melengkapi. Sehingga hal itu akan menjadi efektif dan efisien dalam pencapaian tujuan pendidikan.
3.    Ibn Al-Jama’ah
Etika Guru/Ulama Menurut Ibnu Jama’ah bahwa ulama sebagai mikrokosmos manusia dan secara umum dapat dijadikan sebagai tipologi makhluk terbaik (khair al-bariyah). Atas dasar ini, maka derajat seorang alim berada setingkat dibawah derajat Nabi. Hal ini didasarkan pada alasan karena para ulama adalah orang yang paling takwa dan takut kepada Allah SWT. Dari konsep tentang seorang alim tersebut, Ibnu Jama’ah membawa konsep tentang guru.
Untuk itu Ibnu Jama’ah menawarkan sejumlah etika yang harus dipenuhi oleh seorang guru. Etika pendidik tersebut meliputi 6 hal, yaitu:
a.       Menjaga akhlak selama melaksanakan tugas pendidikan.
b.      Tidak menjadikan profesi guru sebagai usaha untuk menutupi kebutuhan ekonominya.
c.       Mengetahui situasi social kemasyarakatan.
d.      Kasih sayang dan sabar.
e.       Adil dalam memperlakukan peserta didik.
f.       Menolong dengan kemampuan yang dimilikinya.
Dari keenam etika tersebut, yang menarik adalah etika tentang tidak bolehnya profesi guru dijadikan sebagai usaha mendapatkan keuntungan materil, suatu konsep yang di masa sekarang tampak kurang relevan, karena salah satu ciri kerja professional adalah pekerjaan dimana orang yang melakukannya menggantungkan kehidupan di atas profesinya itu.
Namun Ibnu Jama’ah berpendapat demikian sebagai konsekuensi logis dari konsepnya tentang pengetahuan. Bagi Ibnu Jama’ah pengetahuan (ilmu) sangat agung lagi luhur, bahkan bagi pendidik menjadi kewajiban tersendiri untuk mengagungkan pengetahuan tersebut, sehingga pendidik tidak menjadikan pengetahuannya itu sebagai lahan komoditasnya, dan jika hal itu dilakukan berarti telah merendahkan keagungan pengetahuan. Secara umum etika-etika tersebut diatas menampakkan kesempurnaan sifat-sifat dan keadaan pendidik dengan memiliki persyaratan-persyaratan tertentu sehingga layak menjadi pendidik sebagaimana mestinya.[8]
E.   Pengembangan Pemikiran Etika Mengajar Dalam Pendidikan Islam
Dari uraian di atas jelaslah bahwa seorang guru Muslim memiliki peranan bukan saja di dalam sekolah, tetapi juga diluarnya. Oleh yang demikian menyiapkannya juga harus untuk sekolah dan untuk luar sekolah. Maka haruslah penyiapan ini juga dipikul bersama oleh institusi-institusi penyiapan guru seperti fakulti-fakulti pendidikan dan maktab-maktab perguruan bersama-sama dengan masyarakat Islam sendiri, sehingga guru-guru yang dihasilkannya adalah guru yang soleh, membawa perbaikan (muslih), memberi dan mendapat petunjuk untuk menyiarkan risalah pendidikan Islam.
Petunjuk Islam di dalam dan di luar adalah sebab tujuan pendidikan dalam Islam untuk membentuk generasi-generasi umat Islam yang memahami dan menyedari risalahnya dalam kehidupan dan melaksanakan risalah ini dengan sungguh-sungguh dan amanah dan juga menyedari bahawa mereka mempunyai kewajipan kepada Allah S.W.T dan mereka harus melaksanakan tugas itu dengan sungguh-sungguh dan ikhlas. Begitu juga mereka sadar bahwa mereka mempunyai tanggung jawab, maka mereka menghadapinya dengan sabar, hati-hati dan penuh prihatin.
Begitu juga mereka sadar bahwa mereka mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakatnya, maka mereka melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab, amanah, professionalism. Dengan demikian umat Islam akan mencapai cita-citanya dalam kehidupan dengan penuh kemuliaan, kekuatan, ketenteraman dan kebanggaan. Lebih spesifiknya jika peran pendidik lebih terlihat di berbagai masalah perubahan masyarakat. Baik dalam pendidikan, sosial, kebudayaan, ekonomi, agama dan juga politik.
BAB III
KESIMPULAN
Mengajar adalah guru yang mengajar dan murid yang belajar. Mengajar paling terpenting dalam lingkungan pencarian ilmu. Mengajar merupakan suatu kewajiban bagi orang-orang yang berilmu. Dan mengajar adalah memberi berbagai macam ilmu pengetahuan kepada anak didiknya atau murid yang di ajarkan. Mengajar juga pada dasarnya adalah belajar mengajar. Ada pun dalam arti yang sederhana mengajar ada yang memberi istilah degan guru, ustad, kyai, dan ulama.
Dalam proses mengajar, guru tidak lepas dari etika mengajar apabila kesuksesan pendidikan ingin dicapai dengan sempurna. Jika seorang guru memiliki etika yang baik dalam mengajar dan memikat maka ia akan menjadi seorang guru yang disukai murid-muridnya. Mereka akan menerima pelajaran yang diberikan dengan hati senang dan antusias. Dan tidak diragukan lagi, guru yang tidak memiliki etika dalam mengajar, tidak akan bertahan lama menekuni profesi sebagai seorang guru, kecuali karena terpaksa. Karena etika yang baik akan membentuk sifat menerima antara guru dan murid-muridnya, yang merupakan unsur terpenting dalam proses pendidikan.
Dengan demikian menyiapkannya juga harus untuk sekolah dan untuk luar sekolah. Maka haruslah penyiapan ini juga dipikul bersama oleh institusi-institusi penyiapan guru seperti fakulti-fakulti pendidikan dan maktab-maktab perguruan bersama-sama dengan masyarakat Islam sendiri, sehingga guru-guru yang dihasilkannya adalah guru yang soleh, membawa perbaikan (muslih), memberi dan mendapat petunjuk untuk menyiarkan risalah pendidikan Islam.
Begitu juga mereka sadar bahwa mereka mempunyai tanggung jawab, maka mereka menghadapinya dengan sabar, hati-hati dan penuh prihatin. Begitu juga mereka sedar bahawa mereka mempunyai tanggungjawab terhadap masyarakatnya, maka mereka melaksanakannya dengan penuh tanggungjawab, amanah, professionalisme dan kecekalan. Dengan demikian umat Islam akan mencapai cita-citanya dalam kehidupan dengan penuh kemuliaan, kekuatan, ketenteraman dan kebanggaan.


DAFTAR PUSTAKA

Hamalik, Oemar. 2010. Psikologi Belajar Mengajar. Bandung: Sinar Baru Algensindo.
Hamdani, Ihsan. 2007. Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: CV. Pustaka Setia.
Kholiq, Abdul. 1999. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik & Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Rizal, Samsul. 2002. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta: Ciputat Pers.
Subana, M. 2009. Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia: Berbagai Pendekatan Metode Tehnik Dan Pengajaran. Bandung: CV Pustaka Setia.
Zainuddin, 1991. Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, Jakarta: Bumi Aksara.
pengembangan pemikiran etika mengajar/etika-guru-menurut-perspektif-para.html. oleh Syamsul Arifin pada 14 Mei 2011 di akses tanggal 23 Maret 2012


[1] Ihsan Hamdani dan Ihsan A. Fuad, Filsafat Pendidikan Islam, (Bandung: CV Pustaka Setia, 2007). 93
[2] M Subana dan Sunarti, Strategi Belajar Mengajar Bahasa Indonesia Berbagai Pendekatan Metode Tehnik Dan Pengajaran ( Bandung: CV Pustaka Setia, 2009). 13
[3] Oemar Hamalik, Psikologi Belajar Mengajar (Bandung: Sinar Baru Algensindo,  2010). 58

[4] Ibid, Hamdani, Filsafat Pendidikan Islam. 104-105
[5] Zainuddin, Seluk Beluk Pendidikan dari Al-Ghazali, (Jakarta: Bumi Aksara,1991).  56
[6] Abdul Kholiq, Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Tokoh Klasik & Kontemporer, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999).  24
[7] Samsul Rizal, Filsafat Pendidikan Islam, (Jakarta: Ciputat Pers, 2002). 167- 168
[8] pengembangan pemikiran etika mengajar/etika-guru-menurut-perspektif-para.html. oleh syamsul arifin pada 14 mei 2011 di akses tanggal 23 maret 2012