Selasa, 21 Desember 2010

Kepemimpinan Wanita dalam Organisasi Politik Menurut Tinjauan Hukum Islam
Saturday, 28 February 2009
SETELAH kita mengetahui beratnya medan politik dan tingkat kemampuan yang dibutuhkan secara umum, barangkali
timbul beberapa pertanyaan. Apakah wanita memiliki potensi untuk menjadi pemimpin organisasi politik? Ditinjau dari
faktor sifat fisiknya, psikisnya dan peran kewanitaannya.
Dalam situasi umum, apakah potensi wanita dapat menyamai atau melebihi laki-laki dalam memimpin organisasi politik?
Sebagaimana telah diketahui secara umum bahwa wanita berbeda dengan laki-laki dan wanita dibahas dalam buku
maskulin dan feminin karya Save M. Dagun, diantaranya ialah : Unsur genetikanya, laki-laki dengan kromosom XY,
perempuan YY. Alat kelamin. Buah dada. Pangkal tenggorokan. Pertumbuhan bulu di tempat-tempat tertentu.
Menstruasi. Pertumbuhan otot (kekuatan). Adanya tempat kandungan pada organ tubuh.
Persamaan laki-laki dan wanita dalam kontak biologis sama sama mendapatkan orgasme perbedaannya hanya pada
kecepatannya laki-laki cenderung dapat sulit dan memakan waktu lama, setelah melakukan hubungan, laki-laki tidak
hamil sedangkan wanita mengalami kehamilan dan melahirkan anak. Pada masa ini, wanita banyak merasakan
penderitaan. Dari realitas-realitas biologis ini, terpikirkan peran mereka dalam memenuhi kebutuhan kehidupan,
bagaimana posisi mereka yang seharusnya dalam memenuhi kebutuhan hidup akibat kontak biologis, diantara mereka
ada yang mewajibkan hidup akibat orang yang bertanggung jawab terhadap kehidupan keluarga, kalau wanita juga
dibebani tanggung jawab material, barangkali tidak adil, mereka sama mendapatkan kenikmatan seksual dan anak,
tetapi wanita yang merasakan penderitaan lewat kehamilan dan kelahiran.
Barangkali dari pemikiran ini lahir pemeranan kepribadian, pengetahuan lapangan kerja dan peran wanita berpikirnya
maka lahirlah pola pandangan tentang peran wanita di masyarakat. Tiap-tiap penempatan peran senantiasa bersandar
pada hukum realitas, kenyataan riel tentang keadaan biologis antara laki-laki dan wanita, bedanya hanya pada tingkat
perbedaan melihat realitas biologisnya dan pada sosialisasi peran, ada yang menerima pembaruan dan lainnya tidak
menerima perubahan. Sekarang ini ada kecenderungan pada kaum wanita untuk membongkar peran-peran wanita yang
dipandang sebagai warisan budaya/tradisi sebagai hal yang kolot dan bersifat penindasan, tanpa menilai sejauh dapat
keluar dari sifat dasarnya, seperti keadaan kaum wanita barat.
Diantara mereka ada yang membedakan peran laki-laki dan wanita di masyarakat lewat pendekatan emosi, kekuatan,
kecerdasan yang dipandang memiliki perbedaan secara alamiah dan tingkat kemajuan masyarakat. Masyarakat pada
umumnya dalam meninjau kelayakan wanita menjadi pemimpin politik ada 4 macam, yaitu : Memperhatikan potensi
dasarnya dan realitas rielnya, bilamana mereka memiliki potensi yang berhubungan dengan syarat umum seorang
pemimpin politik, ia dipandang memiliki potensi.
Dihubungkan dengan sifat fisiknya dan perannya sebagai khas seorang wanita seperti menjalani menstruasi, hamil,
melahirkan dan perannya dalam rumah tangga. Sejauh mana memberikan hambatan didalam menangani masalah
organisasi, bilamana dipandang memberikan hambatan secara mendasar, mereka dipandang tidak memiliki potensi,
dengan catatan diatas.
Berdasarkan dengan potensi laki-laki yang tidak mengalami menstruasi, hamil dan melahirkan, dilihat dari aspek ini lakilaki
memiliki kelebihan dalam mendapatkan pengetahuan dan penanganan kerja, dan kelemahan dilihat dari
kemampuan membangun regenerasi (anak turun) laki-laki dan wanita bilamana memiliki kemampuan sama dalam hal
mendapatkan kesempatan menjadi pemimpin maka laki-laki lebih berkualitas dibandingkan perempuan. Maka tidak layak
memilih wanita sebagai pemimpin politik pada masyarakat, dimana laki-lakinya banyak berperan aktif dalam dunia politik.
Bersandar dengan sistem kekuasaan, budaya dan modernitas di masyarakat. Bilamana kekuasaan masyarakat bersifat
otoriter yang sewenang-wenang, budaya tidak mendukung dan tingkat perkembangan perekonomiannya, pengetahuan
dan teknologi belum maju, kehadiran wanita menjadi pemimpin organisasi politik dipandang sangat menyulitkan
pekerjaannya di lapangan. (Iskandar Al Warisy).
Malut Post
http://malutpost.com/berita Powered by Joomla! Generated: 23 October, 2010, 23:44

Kontroversi seputar boleh tidaknya seorang perempuan menjadi presiden seakan tak ada habisnya. Tapi sekarang fokusnya tidak seperti beberapa waktu menjelang pemilu dan beberapa saat sebelum Sidang Umum MPR tahun 1999 lalu yang diwarnai oleh penolakan keras khususnya dari kalangan parpol-parpol Islam tentang kemungkinan wanita menjadi presiden. Kini parpol-parpol Islam itu telah “merevisi” pendapatnya. Melalui berbagai rekayasa konstruktif, mereka mencoba mengesahkan kepemimpinan wanita dalam konteks negara.
Presiden Partai Keadilan, M. Hidayat Nurwahid pun mengatakan, “Sejak dulu sesungguhnya umat Islam menerima presiden wanita asal sesama muslim.” (Media Indonesia 3/3/2001). Bahkan menurut tokoh PDI-P Soetardjo Soerjoguritno, Amien Rais, Hamzah Haz dan bahkan Ahmad Soemargono yang sebelumnya dikenal gigih menentang kepemimpinan Megawati, telah bersumpah mendukung Megawati sebagai presiden Indonesia sampai 2004 (Rakyat Merdeka, 7/3/2001). Sikap ini didukung oleh Nurcholish Madjid dengan mengatakan bahwa sebagian besar ulama tidak mempersoalkan naiknya wanita sebagai presiden/kepala negara. Hanya sebagian kecil dari mereka yang melarang wanita menjadi presiden. Sementara itu, KH Salahuddin Wahid, dalam sebuah dialog yang diselenggarakan di Mesjid Universitas Indonesia, pada 13/7/2001, menyatakan, hendaknya umat Islam Indonesia bisa menerima kehadiran Megawati sebagai kepala negara. Sebab, penolakan Islam terhadap kepemimpinan perempuan bukanlah harga mati.
Rekayasa konstruktif untuk mengegolkan ide keabsahan kepemimpinan perempuan dalam entitas negara ini juga terlihat dalam seminar sehari yang diselenggarakan di komisi VII DPR pada tanggal 4/7/2001. Seminar yang menghadirkan Nazaruddin Umar dan KH. Husein Mohamad itu bertujuan memberikan legitimasi syari’ah terhadap keabsahan kepemimpinan wanita dalam konteks negara. Meskipun demikian, seminar itu lebih tepat disebut sebagai rekayasa untuk mencairkan hambatan-hambatan teologis yang kerap kali berujung pada pemerkosaan nash-nash agama dengan kepentingan-kepentingan politik.
Terlepas dari fakta-fakta konkrit di atas, benarkah Islam, sebagaimana yang kini dikatakan oleh parpol-parpol Islam dan para intelektual muslim, tidak lagi mempersoalkan apakah wanita boleh atau tidak menjadi presiden?
Hak dan Kewajiban Yang Diberikan Islam Kepada Lelaki dan Perempuan
Sebelum membahas permasalahan kepemimpinan wanita dalam Islam, dalam konteks kepemimpinan negara, terlebih dahulu akan dibicarakan pembahasan yang lebih mendasar dan karenanya sangat penting, yakni sejauh mana Islam memberikan berbagai hak dan kewajiban kepada laki-laki dan perempuan.
Dengan melakukan kajian komprehensif (istiqra`) terhadap nash-nash syara’ yang berhubungan hak dan kewajiban yang diberikan Islam kepada laki-laki dan perempuan, akan didapatkan kesimpulan berikut. Bahwa Islam telah memberikan hak kepada perempuan seperti yang diberikan Islam kepada laki-laki, demikian pula Islam telah memikulkan kewajiban kepada perempuan seperti yang dipikulkan Islam kepada laki-laki, kecuali hak atau kewajiban yang dikhususkan Islam untuk perempuan, atau yang dikhususkan Islam untuk laki-laki, berdasarkan dalil-dalil syar’i. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 253)
Kesimpulan ini bila dirinci mengandung 3 (tiga) butir pemikiran : Pertama, bahwa Islam pada dasarnya memberikan hak dan kewajiban yang sama kepada laki-laki dan perempuan. Kedua, bahwa terdapat pengkhususan hak atau kewajiban kepada perempuan saja, atau laki-laki saja. Ketiga, pengkhususan ini harus berdasarkan nash-nash syariat dari Al Qur`an dan As Sunnah.
Kesimpulan ini didasarkan pada fakta dari nash-nash syara’ dalam Al Qur`an dan Al Hadits, bahwa Allah SWT telah berbicara kepada para hamba-Nya dalam kedudukannya sebagai manusia, tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Misalnya firman Allah SWT :
“Katakanlah,’Hai manusia sesungguhnya aku adalah utusan Allah kepada kamu semua.” (QS Al A’raaf : 158)
“Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu.” (QS An Nisaa` : 1)
Nash-nash seperti ini berbicara kepada manusia secara umum tanpa melihat apakah dia laki-laki atau perempuan. Karena itulah, Syariat Islam datang kepada manusia, bukan datang kepada laki-laki dalam sifatnya sebagai laki-laki atau kepada perempuan dalam sifatnya sebagai perempuan. Jadi taklif-taklif syar’i dalam Syariat Islam tiada lain hanyalah dibebankan kepada manusia. Begitu pula berbagai hak dan kewajiban yang terdapat dalam Syariat Islam tiada lain adalah hak bagi manusia dan kewajiban atas manusia.
Keumuman dalam khithab Asy Syari’ (seruan/pembicaraan Allah) ini tetap dalam keumumannya dalam Syariat Islam secara keseluruhan, demikian pula hukum-hukum yang terkandung dalam Syariat Islam tetap dalam keumumannya, selama tidak terdapat hukum khusus untuk perempuan yang didasarkan pada nash syara’, atau hukum khusus untuk laki-laki yang didasarkan pada nash syara’. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam yabqa ‘ala ‘umumihi ma lam yarid dalil at takhshish.
“Lafazh umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya.” (Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqih, halaman 318)
Jadi jika terdapat nash syara’ yang mengkhususkan keumuman ini, maka pada saat itulah perempuan dikhususkan dengan hukum khusus untuknya sebagaimana yang telah dijelaskan oleh nash syara’, demikian pula pada saat itulah laki-laki dikhususkan dengan hukum khusus untuknya seperti yang telah dijelaskan oleh nash syara’. Namun hukum-hukum lain yang tidak dikhususkan tetaplah dalam keumumannya, tanpa mempertimbangkan lagi apakah yang dibebani hukum itu laki-laki atau perempuan. Kaidah Ushul Fiqih menetapkan :
Al ‘aam ba’da at takhshish hujjatun fi al baqi
“Lafazh umum yang telah dikhususkan tetap berlaku sebagai hujjah (dalil) bagi hukum-hukum sisanya (yang tidak dikhususkan).” (Muhlish Usman, Kaidah-Kaidah Ushuliyah dan Fiqhiyah, halaman 43)
Dengan demikian, pengkhususan (takhshish) hukum untuk laki-laki atau perempuan dengan hukum-hukum tertentu merupakan perkecualian dari prinsip umum Syariat Islam. Jadi Syariat Islam tetap dalam keumumannya dan pengecualian (istitsna`) dari keumumannya ini harus berhenti pada batas yang ada dalam nash syara’, tidak boleh melampauinya. Hukum-hukum yang dikhususkan untuk perempuan, bukan untuk laki-laki, misalnya keharusan meninggalkan sholat dan berbuka pada puasa Ramadhan jika perempuan sedang haid. Contoh lainnya, kesaksian satu orang wanita adalah cukup dan dapat berlaku untuk perkara-perkara yang pada umumnya tidak dapat diketahui kecuali oleh perempuan, misalnya perkara keperawanan. Hukum-hukum ini adalah khusus untuk perempuan karena terdapat nash-nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk perempuan, bukan laki-laki. Selain itu ada pula hukum-hukum yang dikhususkan untuk laki-laki, misalnya kekuasaan atau pemerintahan, yakni maksudnya tidak dibenarkan duduk dalam kekuasaan kecuali laki-laki. Ini adalah hukum khusus untuk laki-laki karena terdapat nash syara’ yang mengkhususkan hukum ini untuk laki-laki, bukan perempuan.
Namun demikian, pengkhususan yang ada haruslah hanya pada perkara yang dijelaskan oleh nash syara’, tidak boleh melampaui batas yang telah digariskan nash syara’ da;am Al Qur`an dan As Sunnah. Misalnya, masalah pengkhususan kekuasaan bagi laki-laki saja, hanya berlaku untuk konteks kekuasaan. Jadi yang tidak dibolehkan bagi perempuan hanya menjadi pemimpin dalam konteks kekuasaaan, tidak mencakup yang lain-lain di luar kekuasaan seperti peradilan (qadha`) dan kepemimpinan aspek lainnya yang bukan pemerintahan.
Berdasarkan ini, maka sebenarnya dalam Islam tidak ada yang dinamakan hak-hak perempuan atau hak-hak laki-laki. Begitu pula dalam Islam tidak ada apa yang dinamakan kewajiban perempuan dan kewajiban laki-laki. Yang ada dalam Islam tiada lain adalah hak-hak dan kewajiban-kewajiban manusia dalam kedudukannya sebagai manusia, tidak melihat lagi apakah dia laki-laki atau perempuan. Syariat Islam datang untuk manusia pada tiap-tiap hukumnya, kemudian sebagian daripadanya dikhususkan untuk perempuan dalam kedudukanya sebagai perempuan dengan nash khusus, sebagaimana sebagiannya dikhususkan untuk laki-laki dalam kedudukannya sebagai laki-laki dengan nash khusus.
Maka dari itu, berdasarkan keumuman Syariat Islam dan keumuman tiap-tiap hukum dalam Syariat Islam, maka perempuan berhak beraktivitas dalam aspek perdagangan, pertanian, dan perindustrian sebagaimana laki-laki, sebab Syariat Islam telah datang dalam seruan yang bersifat umum untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula menjalankan seluruh tasharrufat qauliyah, yakni melaksanakan berbagai akad-akad dan muamalah sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Perempuan berhak pula memiliki satu sebab di antara sebab-sebab kepemilikan harta dan berhak pula untuk mengembangkan hartanya dengan cara syar’i apa pun baik dia kerjakan sendiri maupun dikerjakan orang lain, sebab Syariat Islam datang untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. Demikian pula perempuan berhak pula melakukan kegiatan pendidikan, berjihad, melakukan kegiatan politik seperti bergabung dengan sebuah partai politik, serta melakukan segala aktivitas dalam segala aspek kehidupan sebagaimana laki-laki, sebab Syariat adalah untuk manusia, baik laki-laki maupun perempuan. (Taqiyuddin An Nabhani, Muqaddimah Ad Dustur, halaman 255-257)
Kepemimpinan Wanita Sebagai Kepala Negara
Dalam pembahasan ini ada 2 (dua) hal yang harus diperhatikan agar tidak terjadi kerancuan atau kesalahpahaman. Pertama, masalah individu perempuan dalam perannya sebagai pemimpin pemerintahan. Kedua, masalah sistem pemerintahan.
Kedua hal itu harus dipahami sebagai satu kesatuan, bukan terpisah, sehingga jika dikatakan bahwa perempuan tidak dibenarkan menjadi presiden, bukan otomatis dipahami bahwa kalau laki-laki dibolehkan. Dalam sistem pemerintahan sekuler sekarang ini, baik laki-laki maupun perempuan, adalah tidak dibenarkan menjadi presiden, sebab sistem pemerintahan dalam Islam adalah Khilafah, bukan republik, kerajaan, atau sistem pemerintahan sekuler lainnya.
a. Sistem Pemerintahan Islam adalah Khilafah, bukan Republik
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah… (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Ijma Shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah Islamiyyah, bukanlah sistem pemerintahan Islam. Haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Semisal menjadi presiden, kaisar, ataupun raja.
Ini saja sebenarnya sudah cukup untuk menggugurkan pendapat bolehnya wanita menjadi presiden. Bahkan bukan hanya wanita saja, laki-laki pun haram menjadi presiden, raja, ataupun kaisar. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di tengah hari!. Perdebatan yang berlarut-larut tentang absah atau tidaknya Megawati memegang tampuk kepresidenan, sebenarnya merupakan perdebatan tak bermutu; disamping akan melupakan persoalan dasarnya; yakni sah atau tidaknya-menurut Islamsistem kenegaraan yang melingkupinya. Selama sistem yang diterapkan adalah sistem republik, keterlibatan kaum muslimin dalam sistem ini -dalam hal kekuasaan, dan penetapan policy-adalah haram. Walhasil, jangankan Megawati, Gus Dur yang konon kyai haji pun haram menjadi presiden.
b. Islam Mengharamkan Kepemimpinan Perempuan Dalam Negara
Seluruh ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Jadi masalah haramnya perempuan menjadi pemimpin negara bukanlah masalah khilafiyah. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-Jaami’ li Ahkam Al-Quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa :
“Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah). Namun mereka berselisih tentang bolehnya wanita menjadi qadhi berdasarkan diterimanya kesaksian wanita dalam pengadilan”.
Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw:
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra)
Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi dirayah (pemahaman makna); dalalah hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara. Meski dalam bentuk ikhbar -dilihat dari sighatnya- hadits ini tidak otomatis menunjukkan hukum mubah. Sebab, parameter yang digunakan untuk menyimpulkan apakah sebuah khithab berhukum wajib, sunnah, mubah, makruh, ataupun haram adalah qarinahnya (indikasi), bukan sighatnya (bentuk kalimatnya).
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persia yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian pengangkatan wanita menjadi raja, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata qaum di atas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumun”. Selain itu, tidak ada satupun riwayat yang mentakhsish hadits ini. Dengan demikian berlaku kaidah, Al-’aam yabqa fi ‘umuumihi ma lam yarid dalil at-takhsish” (Lafadz umum tetap dalam keumumannya selama tidak ada dalil yang mengkhususkannya). Sedangkan latar belakang (sababul wurud) turunnya hadits ini tidak pula bisa digunakan dalil untuk mentakhshishnya (mengkhususkannya). Sebab, lafadz hadits ini dalam bentuk umum. Sedangkan latar belakang kejadian bukanlah dalil syara’. Karena latar belakang bukanlah hadits Nabi. Oleh karena itu latar belakang sabda Nabi di atas tidak ada kaitannya sama sekali dengan penetapan hukum. Oleh karena itu latar belakang atau suatu sebab dari suatu dalil tidak dapat mentakhsis dalil. Maka berlaku kaidah bahasa yang masyhur dalam ilmu usul fiqh, “Al-’Ibrah bi ‘umum al-lafzhi la bi khususi as-sabab,” (pengertian diambil dari umumnya lafadz bukan khususnya sebab).
Adapun hukum yang terkandung di dalamnya pembahasannya sebagai berikut. Meski, hadits ini dalam bentuk ikhbar (kalimat berita), namun di dalam lafadz hadits itu ada qarinah yang menunjukkan keharamannya secara pasti.. Pertama, harf lan (harf nahy li al-mustaqbal au li al-ta’bid), huruf larangan untuk masa mendatang jadi maksudnya adalah tidak akan pernah, dan untuk selamanya. Kedua, huruf lan ini dihubungkan dengan yufliha (beruntung), lafadz ini menunjukkan adanya dzam (celaan) dari Rasulullah SAW.
Menjawab Beberapa Keraguan
1. Memang ada sementara kalangan, misalnya Fatima Mernissi seorang feminis muslim, yang meragukan keabsahan hadits tersebut. Kendati shahih, mereka meragukan kredibilitas perawi hadits ini, yakni shahabat Abu Bakrah, sebagai orang yang kesaksiannya diragukan lantaran didakwa pernah melakukan tuduhan palsu dalam kasus perzinahan di masa khalifah Umar bin Khattab. Tuduhan ini ternyata tidak terbukti. Kitab Tahdzibu al-Kamal fi Asma`i al-Rijal, juga Thabaqat Ibnu Saad dengan tegas menyebut bahwa shahabat Abu Bakrah adalah shahabat yang alim dan perawi yang terpercaya (tsiqah).
2. Kemudian ada lagi yang mengatakan bahwa kepemimpinan laki-laki atas wanita secara mutlak hanya ada dalam konteks rumah tangga. Memang ayat 34 dari surah Annisa, menyebutkan bahwa para lelaki menjadi pemimpin atas perempuan. Bila ayat ini dimaksudkan sebagai petunjuk tentang kepemimpinan laki-laki atas perempuan dalam rumah tangga, maka dengan mafhum muwafaqah, dalam urusan yang lebih besar, yakni urusan negara, lelaki tentu lebih wajib lagi menjadi pemimpin.
Imam Az Zamakhsyari dalam tafsir Al Kasysyaf menyebutkan mengenai tafsir surat An Nisaa ayat 34 tersebut, “yaquumuuna alaihinna aamiriina naahiina kamaa yaqumu al wulaatu ‘ala ar ra’aaya .” (Kaum laki-laki berfungsi terhadap isteri-isteri mereka sebagai yang memerintah dan melarang, seperti halnya pemimpin (wali) berfungsi seperti itu terhadap rakyatnya.)”
3. Argumentasi yang mengatakan bahwa syarat wajibnya pemimpin dari kaum lelaki hanyalah untuk negara Islam (Khilafah Islamiyah), oleh karena Indonesia bukan negara Islam syarat tersebut tidak bisa digunakan, tidak bisa diterima. Mengingat celaan rasul ketika anak perempuan Kisra diangkat menjadi ratu menggantikan ayahandanya yang meninggal terjadi juga bukan di negara Islam. Kisra adalah julukan
untuk pemimpin tertinggi dalam kekaisaran Persia.
4. Dikatakan bahwa Imam Ibnu Jarir al-Thabari dan sebagian ulama Malikiyah (pengikut madzhab Imam Malik bin Anas) seperti dilansir oleh Ibnu Hajar al-Asqalani disebut-sebut membolehkan seorang perempuan menjadi kepala negara. Sebenarnya tidak, karena yang dimaksud dalam kitab tersebut bukan kebolehan perempuan menjadi kepala negara tapi menjadi qadhi (hakim). Jelas berbeda antara qadhi dan kepala negara.
5. Argumen bahwa wanita dalam Islam bisa saja menjadi kepala negara sebagaimana ditunjukkan pada kisah Syajaratuddur dan ratu Bilqis tidak bisa diterima. Memang ratu Syajaratuddur, seorang perempuan dari dinasti Mamalik pernah berkuasa di Mesir. Tapi kenyataan sejarah ini tidak bisa dijadikan landasan argumentasi bolehnya seorang perempuan menjadi presiden, karena landasan syar’iy adalah Al-Qur’an, Al-Hadits, Ijma’ Shahabat dan Qiyas. Lagi pula Syajaratuddur mendapatkan kekuasaan secara kebetulan. Ia kebetulan adalah istri dari penguasa Mesir, Malikus Shalih, yang tunduk kepada khalifah al-Mustansir Billah dari Bani Abbasiyah yang berpusat di Baghdad. Setelah Malikus Shalih wafat, kekuasaannya diserahkan kepada istrinya Syajaratuddur. Mendengar hal ini, khalifah al-Mustansir Billah segera mengirim surat mempersoalkan keadaan di Mesir, apakah tidak ada laki-laki yang bisa menjadi pemimpin. Bila tidak ada, khalifah akan segera mengirim seorang laki-laki untuk menggantikan Malikush Shalih memimpin Mesir. Akhirnya, setelah berkuasa selama tiga bulan, Syajaratuddur digantikan oleh Emir Izzudin yang kemudian menikahinya.
Demikian juga tentang kisah ratu Bilqis. Kisah yang diabadikan dalam al-Qur’an tidak bisa dijadikan sebagai landasan syar’iy. Lagi pula, dalam kisah itu, ratu Bilqis akhirnya juga melepaskan kekuasaanya setelah ditundukkan oleh Nabi Sulaiman dalam tempo sesingkat-singkatnya. Bahkan akhirnya menjadi istri nabi yang telah menaklukkannya itu.
Lagipula, kisah umat sebelum Islam dalam ushul fiqih termasuk dalam Syar’u Man Qablana (Syariat Umat Sebelum Kita) yang sebenarnya tidak merupakan syariat bagi kita (umat Islam).Sebab syariat Islam telah menasakh syariat-syariat sebelum Islam, sesuai firman Allah SWT :
“Dan telah Kami turunkan kepadamu Al Qur`an dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan muhaimin (penasakh) terhadap kitab-kitab yang lain itu…” (QS Al Maaidah : 48)
Dalam hal ini para ulama Asy’ ariyah, Imam Ahmad (dalam satu riwayat), Ibnu Hazm, sebagian ulama Ahnaf, dan mayoritas mujtahid madzhab Asy Syafi’i (seperti Al Ghazali, Al Amidi, Ar Razi) berpendapat bahwa syariat umat sebelum kita, bukanlah syariat bagi kita (Muhammad Husain Abdullah, Al Wadhih fi Ushul Al Fiqh, hal. 209)
6. Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM, dan demokrasi. Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan Islam. Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang HAM dan demokrasi yang kufur, pelarangan wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati, hanya mengambil ketetapan dari Al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Bukan sebaliknya, yaitu mengambil HAM dan demokrasi walaupun bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Cukuplah Al-Quran dan As Sunnah sebagai dalil bagi kaum muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang muslim yang bertakwa, keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang bertakwa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan Al-Quran dan As Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata! Bahkan, Allah swt menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum feminis yang sok demokratis dengan firman-Nya :
“Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (QS An-Nisaa’ [4]:32)
Penutup
Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyah. Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’ dan pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.
Maka sikap membangkang terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya adalah merupakan tindak kemaksiyatan yang paling besar. Apalagi, kalau sikap tersebut diikuti dengan tindakan pemerkosaan dan pemaksaan terhadap nash-nash qath’iy agar sejalan dengan kepentingan politik dan hawa nafsu manusia. Sungguh, hanya kembali kepada syari’at Allah dengan menegakkan negara Khilafah Islamiyyah-lah, kaum muslim akan selamat serta seluruh problem kaum muslimin dapat dipecahkan dengan sahih. [Muhammad Shiddiq Al Jawi]
http://www.gaulislam.com/kepemimpinan-perempuan-dalam-pandangan-islam










HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KEPEMIMPINAN WANITA DENGAN DISIPLIN KERJA
GUMILAR, RAKHMI (2009) HUBUNGAN ANTARA PERSEPSI TERHADAP KEPEMIMPINAN WANITA DENGAN DISIPLIN KERJA. Skripsi thesis, Universitas Muhammadiyah Surakarta.
PDF
Restricted to Repository staff only
651Kb


Preview
PDF
36Kb
Image view: http://viewer.eprints.ums.ac.id/archive/etd/3705
Abstract
Kedisiplinan kerja bagi karyawan merupakan suatu hal yang mutlak, karena dalam suatu organisasi terdiri dari sejumlah karyawan dengan keinginan dan kebutuhan yang berbeda-beda. Oleh karena itu perlu dilakukan tindakan pendisiplinan yang tepat bagi setiap karyawan. Bila disiplin tidak dapat ditegakkan, maka tujuan organisasi tidak dapat tercapai. Salah satu hal yang mempengaruhi perilaku disiplin dalam bekerja adalah faktor pimpinan, namun ketika tampuk kepemimpinan tersebut jatuh ke tangan wanita, hal tersebut menjadi pro dan kontra, serta menimbulkan perbedaan persepsi. Padahal dari persepsi inilah akan timbul kesan yang berlanjut membentuk suatu perilaku, dengan kata lain apabila karyawan memiliki persepsi positif terhadap pimpinannya, khususnya pimpinan wanita, maka perilaku kerja yang timbul juga akan positif, seperti timbulnya disiplin kerja. Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui: 1) hubungan antara persepsi terhadap kepemimpinan wanita dengan disiplin kerja; 2) persepsi karyawan terhadap kepemimpinan wanita; 3) tingkat kedisiplinan kerja karyawan. Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini yaitu ada hubungan positif antara persepsi terhadap kepemimpinan wanita dengan disiplin kerja. Penelitian ini menggunakan studi populasi karena seluruh subjek yang menjadi anggota populasi dijadikan sampel penelitian. Subjek dalam penelitian ini adalah karyawan Balai Inseminasi Buatan (BIB) Ungaran. Alat ukur yang digunakan yaitu skala persepsi terhadap kepemimpinan wanita dan dokumentasi disiplin kerja. Berdasarkan hasil analisis dengan menggunakan teknik analisis korelasi product moment diperoleh nilai koefisien korelasi r = 0,516 dengan p = 0,000 (p < 0,01) yang berarti ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi terhadap kepemimpinan wanita dengan disiplin kerja, sedangkan peranan atau sumbangan efektif persepsi terhadap kepemimpinan wanita terhadap disiplin kerja sebesar 26,6% yang berarti masih terdapat 73,4% faktor-faktor lain yang mempengaruhi disiplin kerja diluar variabel persepsi terhadap kepemimpinan wanita. Hasil penelitian menunjukkan rerata empirik persepsi terhadap kepemimpinan wanita sebesar 115,848, kondisi ini menggambarkan persepsi terhadap kepemimpinan wanita pada subjek penelitian tergolong tinggi (positif). Sedangkan rerata empirik disiplin kerja sebesar 82,647 yang berarti disiplin kerja pada subjek penelitian tergolong baik. Hasil penelitian ini menunjukkan ada hubungan positif yang sangat signifikan antara persepsi terhadap kepemimpinan wanita dengan disiplin kerja. Hal ini berarti variabel persepsi terhadap kepemimpinan wanita dengan segala aspek yang ada didalamnya dapat dijadikan sebagai prediktor untuk mengukur disiplin kerja karyawan.

http://etd.eprints.ums.ac.id/3705/

Oleh: Muh. Halimi
PENDAHULUAN
Menurut mayoritas pemikir politik islam, seperti al-Mawardi dalam kitabnya, “al-Ahkâm al-Shulthâniyyah”, menegaskan bahwa pemerintahan yang sah untuk menjamin kelestarian social dalam suatu Negara atau daerah adalah wajib hukumnya, baik menurut akal maupun syara’. Menurut akal, tidak mungkin ada suatu Negara atau daerah tanpa pemerintahan yang dipimpin oleh kepala Negara atau daerah. Sebab, jika demikian, maka masyarakat akan hidup tanpa ada pihak yang mencegah terjadinya kedhaliman dan tidak ada yang akan menyelesaikan perselisihan dan persengketaan (tanâzu’ wa takhâshum). Sedangkan menurut syara’, kepala Negara atau daerah diperlukan untuk mengatur masalah-masalah kemasyarakatan, juga masalah keagamaan. Sedangkan untuk membentuk atau melestarikan pemerintahan yang sah, membutuhkan proses pemilihan dan suksesi.
Ada banyak cara yang bisa dilakukan dalam proses penggantian kepemimpinan. Pada zaman primitive, proses perebutan kekuasaan ditempuh dengan cara perang fisik dan adu otot. Sehingga, untuk merebut kekuasaan, haruslah jago berperang dan pandai bertempur. Namun pada era modern, masyarakat lebih memilih metode pemilihan umum sebagai alternative yang paling rasional dan aman dalam perebutan kekuasaan.
Pada prinsipnya, pemilu adalah cermin dari kedaulatan rakyat, untuk memilih orang terpercaya untuk menjadi pemimpinnya. Pemilu merupakan suatu keharusan, demi berlangsungnya pemerintahan untuk mengatur urusan rakyat. Dalam Negara yang demokratis, masih meyakini bahwa pemilu adalah pesta rakyat yang paling aman dan lebih menjamin keadilan untuk proses suksesi kepemimpinan dalam suatu Negara atau daerah. Negara atau daerah adalah instrument kemasyarakatan, sedangkan pemilu adalah instrument kenegaraan, dimana tanpa pemilu, suatu Negara atau daerah akan mengalami stagnan. Oleh karenanya, pemilu menjadi suatu keniscayaan. Pemikiran semacam ini, sejalan dengan kaidah fiqhiyyah;
مَا لاَ يَتِمُّ الْوَاجِبُ إِلاَّ بِهِ، فَهُوَ وَاجِبٌ
“Sesuatu yang menjadi instrument yang wajib, dimana kewajiban tersebut tidak dapat dilakukan tanpanya, maka sesuatu itu wajib pula hukumnya”
Organisasi yang disebut Negara, di Negara modern ini masih diyakini sebagai suatu keharusan (baca:wajib), sedangkan pemilu adalah instrumennya. Maka, pemilu menjadi suatu keharusan pula (baca:wajib).
Dalam pemilu, yang memiliki hak suara adalah rakyat. Rakyat berhak untuk menentukan pilihan kepada salah satu calon pemimpin, sesuai dengan “getaran” nuraninya. Bahkan, rakyat juga berhak untuk tidak menyalurkan aspirasinya (golput) kepada siapapun. Sebab, golput juga merupakan suatu pilihan. Pilihan untuk golput, bisa jadi Karena factor proses pemilu yang tidak dapat dipercaya, atau karena sudah tidak lagi mempercayai produknya yang akan mewakili dan memimpinnya Akan tetapi, siapapun tidak berhak untuk memaksa rakyat untuk menyalurkan aspirasinya kepada calon tertentu. Sebab, secara secara undang-undang dan etika politik, tak seorangpun berwenang untuk memaksanya.
Pemilu, akan menjadi “hajat orang banyak” jika dapat mencerminkan kedaulatan rakyat. Oleh karena itu, memberikan suara kepada salah satu calon pemimpin bukanlah sebuah kewajiban secara personal (fardl ‘ain) menurut islam, namun sebatas kewajiban secara komunal (fardl kifâyah). Akan tetapi, disaat ini, ketika kita telah larut dalam permainan politik dan kurang memihak terhadap kepentingan rakyat, sementara diyakini ada salah satu calon pemimpin yang dipercaya dapat menjadi pemimpin dan membawa perubahan ke arah “pro rakyat”, maka partisipasi politik dan memberikan suara pada saat pemungutan suara menjadi sebuah kewajiban secara personal (fardl ‘ain).
HAK WANITA DALAM MENDUDUKI KEKUASAAN
Rasulullah saw, ketika mendengar kaum Persi dipimpin oleh seorang wanita, yakni putra raja Kisra yang bernama Bûran, beliau berkata,
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang dipimpin oleh wanita.”
Hadis tersebut menjelaskan, bahwa suatu kaum yang menyerahkan urusan mereka kepada seorang wanita, tidak akan memdapatkan keberuntungan. Padahal, meraih sebuah keberuntungan dan menghindarkan diri dari kesusahan adalah sebuah anjuran. Dari sini, Ulama berkesimpulan bahwa wanita tidak diperkenankan menduduki tampuk kekuasaan tertinggi dalam suatu Negara. Ketentuan semacam ni, menurut al-Qâdli Abû bakr ibn al-’Arabiy merupakan konsensus para ulama.
Sedangkan untuk kekuasaan yang cakupannya lebih terbatas, semisal pemimpin daerah, keabsahan kepemimpinan wanita masih menjadi perdebatan para ulama. Perbedaan ini, dilatarbelakangi adanya perbedaan sudut pandang dalam menilai kepemimpinan semacam ini, apakah termasuk bagian dari kekuasaan, persaksian, ataukah fatwa.
Imam Ahmad, Imam Malik, dan Imam Syafi’i berpendapat bahwa wanita tidak berhak menjadi pemimpin, meski dalam lingkup yang lebih terbatas. Sebab, bagaimanapun juga, menjadi pemimpin, baik dengan kekuasaan luas maupun terbatas, pada hakikatnya sama. Yang membedakan hanyalah wilayah kekuasaannya semata. Padahal, Rasulullâh jelas-jelas melarang seorang wanita menjadi pemimpin.
Sedangkan Abu Hanifah berpendapat bahwa wanita dapat menjadi penguasa dalam urusan harta. Beliau berpandangan, ketika wanita diperbolehkan memberikan kesaksian dalam urusan harta, berarti memberikan keputusan dalam wilayah tersebut juga sudah semestinya diperbolehkan.
Ibn Jarîr al-Thabariy, memiliki pandangan yang lebih longgar dalam permasalahan ini. Beliau berpendapat bahwa wanita dapat menjadi pemimpin daerah secara mutlak dalam semua hal. Dalam pandangan beliau, kepemimpinan semacam ini, identik dengan fatwa. Padahal, Rasulullâh sendiri merestui dan melegalkan seorang wanita untuk memberikan fatwa, sebagaimana sabda yang beliau sampaikan;
“Ambillah separuh ajaran agama kalian dari Khumayrâ’ ini”.
Prinsipnya, menurut beliau, setiap orang yang memiliki kredibilitas untuk menengahi-nengahi pertikaian atau persengketaan di antara manusia, (tanpa memandang jenis kelamin, entah laki-laki ataukah perempuan) maka keputusan hukumnya legal dan sah-sah saja, kecuali hal-hal yang memang telah diputuskan oleh ijmak, yaitu masalah kepemimpinan besar (al-imamah al-kubra).
http://islamtradisionalis.wordpress.com/2010/05/14/kepemimpinan-wanita-dalam-perspektif-agama/
Belajar dari Wanita Pemimpin

Margaret Thatcher dari Inggris, Cory Aquino dari Filipina; Benazir Bhutto dari Pakistan, Aung San Suu Kyi dari Myanmar, Tjut Njak Dhien dari Aceh, Mooryati Soedibyo, Martha Tilaar, dan tentunya Megawati dari Indonesia. Semua adalah para wanita pemimpin yang telah menunjukkan prestasi di bidang yang mereka tekuni.

Menjelang hari Kartini, tidak ada salahnya jika kita belajar dari para wanita pemimpin. Menurut Psychological Bulletin Vol. 129 No. 3, sebagai pemimpin, wanita memiliki berbagai kelebihan di beberapa bidang dibandingkan pria. Kelebihan apa yang dimiliki para wanita sebagai pemimpin? Inilah yang akan digali lebih lanjut dalam artikel ini.

PEMIMPIN TRANSFORMASIONAL
Psychological Bulletin Vol. 129 No. 3 melaporkan bahwa berbagai penelitian dalam kepemimpinan mengungkapkan bahwa wanita pemimpin umumnya mempraktikkan prinsip kepemimpinan transformasional. Pemimpin yang transformasional antara lain adalah pemimpin yang berorientasi pada pendukung, prinsip, dan perubahan.
Berorientasi pada pendukung. Wanita pemimpin umumnya lebih berorientasi pada pendukung. Penelitan mengungkapkan bahwa wanita pemimpin memberdayakan para pendukung dengan memberi kesempatan kepada orang-orang yang mereka pimpin untuk menyatakan pendapat dan memberi masukan. Para wanita pemimpin ini juga melakukan berbagai upaya untuk pengembangan diri. Selain memberdayakan pengikut mereka, para wanita pemimpin lebih banyak yang bertindak sebagai mentor daripada sebagai ”bos”. Wanita pemimpin memberi petunjuk dan bimbingan yang diperlukan kepada para pendukung untuk melakukan pekerjaan yang ditugaskan. Selain bertindak sebagai mentor, para wanita pemimpin juga cenderung untuk memimpin dengan memberi teladan kepemimpinan pada para pendukunng melalui sikap dan tindakan mereka. Jika mereka menginginkan disiplin untuk diterapkan oleh anak buah, maka mereka pun akan menunjukkan sikap disiplin, jika mereka ingin agar anak buah bersikap jujur dan terbuka, mereka pun akan memberikan teladan yang sama.
Misalnya: Kita bisa berguru pada Tjut Njak Dhien, pemimpin dari Aceh dan Cory Aquino dari Filipina yang senantiasa berorientasi pada para pendukung. Tujuan perjuangan mereka didasarkan pada kepentingan para pendukung (rakyat): Tjut Njak Dhien berjuang untuk membebaskan rakyatnya dari penjajahan dan kekejaman musuh, sedangkan Cory Aquino berjuang untuk mengembalikan kekuasaan pada rakyat dan membentuk pemerintahan yang bersih dari KKN. Dalam memberikan keteladanan sikap dan tindakan, kedua wanita pemimpin ini tidak diragukan lagi. Keterbukaan, ketulusan dan semangat juang tinggi merupakan keteladanan yang sangat menonjol ditunjukkan oleh kedua wanita ini.
Berorientasi pada perubahan. Kepemimpinan para wanita umumnya diarahkan pada perubahan. Tekanan sosial, budaya, dan ekonomi mendorong wanita untuk menunjukkan prestasi dua kali lebih besar dari pada para pria, untuk mendapatkan perhatian dari masyarakat sekitar. Para wanita seringkali harus mempersembahkan solusi yang luar biasa, yaitu yang membawa ”perubahan” signifikan bagi lingkungan mereka, untuk dapat diakui sebagai pemimpin. Ketika mereka diberi kesempatan memimpin pun, mereka tetap berjuang untuk membawa perubahan besar, karena hanya perubahanlah yang akan membuat masyarakat sekitar memperhatikan prestasi mereka. Dengan demikian, mereka memotivasi para pendukung dan orang-orang di sekitar mereka juga untuk bersama-sama menciptakan perubahan bagi lingkungan tempat mereka berkarya. Mereka memotivasi para pendukung untuk senantiasa mencari alternatif dan ide-ide segar yang inovatif.
Misalnya: Mary Eugenia Charles dari Republik Dominika yang menduduki posisi Perdana Menteri tidak lama setelah negaranya mendapat kemerdekaan dari Inggris tahun 1978, melakukan banyak perubahan, terutama di bidang ekonomi (memperbaiki ekonomi yang terpuruk selama masa prakemerdekaan) selama tiga periode kepemimpinannya. Mary Robinson dari Irlandia juga banyak membawa perubahan di berbagai bidang (hukum, politik, dan ekonomi) di negaranya.
Berorientasi pada prinsip. Banyak penelitian yang mengungkapkan bahwa umumnya wanita pemimpin bertindak dan mengambil keputusan terutama karena didorong oleh prinsip yang diperjuangkan, bukannya oleh kekuasaan yang diraih. Mereka menunjukkan semangat yang tinggi dalam mempertahankan dan memperjuangkan prinsip yang mereka pegang. Tidak heran jika mereka memiliki daya tahan yang lebih lama dan toleransi yang lebih tinggi atas krisis dan masalah yang mungkin harus mereka hadapi dalam menjalankan tugas mereka.
Misalnya: Ibu Teresa, pejuang hak-hak kaum papa, dan Benazir Bhutto, pemimpin dari Pakistan menunjukkan semangat tinggi dan ketahanan yang kuat terhadap masalah dan tekanan karena tindakan mereka didorong oleh prinsip yang mereka perjuangkan. Margaret Thatcher dari Inggris juga sependapat. Mantan Perdana Menteri Inggris ini mengatakan bahwa untuk memenangkan sebuah perjuangan, seringkali kita harus bertarung lebih dari satu kali. Dalam memperjuangkan prinsip mereka masing-masing, ketiga wanita pemimpin ini banyak mendapat hambatan dan masalah. Penjara, penyakit, penolakan, cercaan, kegagalan, dan tekanan dari pihak oposisi tidak memupuskan semangat juang mereka.

PEMIMPIN TRANSAKSIONAL
Penelitian yang diterbitkan Psychological Bulletin juga mengungkapkan bahwa selain berperan sebagai pemimpin yang transformasional, para wanita pemimpin juga memiliki kelebihan sebagai pemimpin yang transaksional.
Komunikasi. Diane Halpern, seorang profesor di bidang psikologi, mengungkapkan bahwa wanita memiliki kelebihan dalam kemampuan berkomunikasi. Beberapa peneliti lain juga mendukung pendapat Halpern dengan mengatakan bahwa wanita memiliki kemampuan berbahasa lebih baik dari pada pria. Dalam menjalankan kepemimpinannya, para wanita menggunakan kemampuan bahasa mereka untuk berkomunikasi dengan para pendukung. Dalam berinteraksi dengan para pendukung, para wanita memilih dengan hati-hati kata-kata yang mereka ucapkan. Kata-kata mereka jadikan senjata ampuh untuk menyampaikan pendapat, memberi motivasi dan dorongan bagi anak buah. Mereka sadar bahwa kata-kata yang tepat memiliki kekuatan yang dahsyat untuk menggerakkan orang lain.
Misalnya: Isabela Peron dari Argentina dan Indira Gandhi dari India dikenal efektif dalam menggunakan kemampuan berkomunikasi dan kekuatan kata-kata dalam memimpin. Kemampuan berkomunikasi mereka telah terbukti ampuh dalam menggalang dukungan luas dari berbagai pihak dan memotivasi rakyat untuk ikut berjuang bersama-sama dengan mereka. Kemampuan berkomunikasi mereka juga telah berhasil membawa mereka untuk menundukkan lawan dan memenangkan simpati kawan terhadap perjuang mereka, baik di tingkat nasional, regional, maupun internasional.
Kerja sama Tim. Dalam berperan sebagai pemimpin, para wanita enggan untuk bertindak sendirian. Mereka banyak menggalang kerja sama dengan berbagai pihak untuk mencapai visi dan misi yang telah ditetapkan. Mereka sadar bahwa tujuan akan lebih mudah dicapai jika dilakukan dengan dukungan dari banyak pihak. Mereka juga sadar bahwa masalah akan terasa lebih ringan jika ditanggung bersama. Untuk itulah, dalam menjalankan tugas-tugas kepemimpinan mereka, para wanita lebih banyak menjalin kerja sama dalam tim dari pada melakukan segala sesuatunya sendirian.
Misalnya: Anda tidak bisa berjabat tangan dengan tangan yang tertutup, demikian yang diucapkan oleh Golda Meir, mantan Perdana Menteri Israel. Yang dimaksud Meir di sini adalah, dalam bekerja sama, seorang pemimpin perlu menginvestasikan waktu dan usaha untuk membina hubungan baik perlu dibina agar sang pemimpin bisa diterima dengan tangan terbuka. Kerja sama tim juga diterapkan oleh Presiden Kumaratungga dari Sri Lanka yang senantiasa berusaha menggalang kerja sama tidak saja dengan berbagai pihak di dalam negeri, tetapi juga dengan negara-negara tetangga untuk mengatasi masalah, menciptakan stabilitas di bidang ekonomi, politik, dan sosial dan menciptakan perdamaian di tingkat regional dan internasional.
Terbuka. Para peneliti juga mengungkapkan bahwa wanita pemimpin dalam melakukan tugas-tugas kepemimpinannya umumnya bersikap lebih terbuka dalam hal membagikan informasi dan tanggung jawab pada para pendukung mereka. Dengan keterbukaan ini mereka menanamkan ”kepercayaan” pada para pendukung. Hasilnya, para pendukung umumnya menjadi lebih loyal pada wanita pemimpin mereka.
Misalnya: Aung San Suu Kyi, pemimpin para pejuang demokrasi dari Myanmar, memiliki banyak pengikut dan pendukung setia, karena keterbukaannya pada rakyat. Sikap ini memupuk kepercayaan rakyat akan ketulusan Aung San Suu Kyi dalam memperjuangkan nasib mereka.
Setiap orang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan orang lain di bidang-bidang yang berbeda. Demikian juga dengan wanita yang memiliki berbagai kelebihan dibandingkan pria di bidang-bidang tertentu. Jika kedua golongan ini bisa saling belajar satu dengan lainnya, dan saling mengisi dengan kelebihan masing-masing, tentunya banyak hal positif yang bisa diraih dan banyak perubahan positif yang juga bisa diciptakan. Di bulan April ini yang seringkali diasosiasikan dengan bulan perjuangan kaum ”Kartini”, mengapa kita tidak belajar dari hal-hal positif yang menjadi keunggulan para wanita pemimpin? n
Copyright © Sinar Harapan 2003




http://www.sinarharapan.co.id/ekonomi/mandiri/2004/0420/man01.html

Kepemimpinan Wanita
Menjelang perang Jamal berkecamuk, Ummul Mukminin Aisyah rodhiyallahu ‘anha, sebagai pemimpin pasukan, menemui seorang tokoh Bashrah Abu Bakrah, untuk minta dukungan. Dengan penuh rasa hormat, Abu Bakrah menjawab permintaan Aisyah. “Sungguh, Anda adalah ibu kami (orang-orang beriman). Sungguh Anda mempunyai hak yang agung di hadapan kami. Tapi saya mendengar Rosulullah saw bersabda, ‘Sebuah bangsa tidak akan meraih kejayaan ketika mereka menyerahkan urusan (kepemimpinan) kepada perempuan.’” (Fathul Bari, XII, 56).
Sikap Abu Bakrah, di samping dilandasi sabda Rosulullah saw, juga atas dasar ijtihad politiknya yang matang. Abu Bakrah melihat adanya kelompok oposisi yang mengeksploitasi kharisma Ummul Mukminin sebagai janda Rosulullah saw dan putri Abu Bakar untuk memobilisasi dukungan massa dalam menghadapi khalifah Ali bin Abi Thalib. Padahal, sebagai perempuan, reputasi Aisyah di medan perang masih belum memadai.
Ketika pasukannya mengalami kekalahan telak, khalifah Ali bin Abi Thalib memberi perlindungan pada Aisyah dengan penuh kehormatan. Perang Jamal sangat membekas dalam jiwa Aisyah. Setiap ia membaca surat al-Ahzab ayat 33 yang berisi perintah agar istri-istri Nabi senantiasa memelihara kehormatannya dengan menetap di rumah-rumah mereka, kerudungnya menjadi basah lantaran digunakan untuk menyeka air mata (Siroh Nabawiyah, Said Hawwa, III, 1272).
Asbabul wurud (kronologis keluarnya) hadits yang menjadi pijakan sikap Abu Bakrah menolak Aisyah, disebutkan dalam kitab Shohih Bukhari. Ketika Rosul mengetahui bahwa Persia diperintah oleh seorang putri Kisra, beliau segera mengatakan, “Sebuah bangsa tidak akan meraih kejayaan ketika mereka menyerahkan urusan (kepemimpinan) kepada seorang wanita.”
Seorang feminis asal Maroko, Fatimma Mernissi, secara prematur menilai hadits tersebut misogini (melecehkan perempuan). Menurutnya, hadits tersebut hanyalah fantasi misoginis Abu Bakrah untuk menolak secara diplomatis permintaan Aisyah. Ia juga menyayangkan sikap Al-Bukhari yang menurutnya secara tidak selektif telah memuat hadits tersebut dalam kitab Shohihnya (Wanita dalam Islam, 64).
Padahal kalau jeli, Fatima Mernissi akan mengetahui Abu Bakrah sebenarnya memiliki visi politik yang sama dengan Aisyah. Sebelum Aisyah meminta dukungan kepadanya, Abu Bakrah sudah bermaksud bergabung bersama Aisyah untuk menuntut Khalifah Ali bin Abi Thalib mengadili para tersangka pembunuh Utsman bin Affan (Fath al-Bari, XIII, 56).
Kalau kita cermati konteks historis saat itu, dengan melihat asbabul wurudnya, jelas esensi hadits dimaksud adalah sebagai kecaman Rosulullah saw terhadap nepotisme dalam tradisi pewarisan tahta Persia. Hanya lantaran putri adalah keturunan seorang Kaisar, ia berhak mewarisi tahtanya. Hal ini jelas bertentangan, tidak saja dengan nilai-nilai demokrasi, tapi juga dengan nilai-nilai kemanusiaan yang universal. Nasib sekian banyak manusia dipertaruhkan melalui mitos pengultusan sebuah dinasti dengan mengabaikan parameter the right man on the right place.
Dengan menerapkan pola kepemimpinan seperti ini, bagaimana mungkin sebuah bangsa akan meraih kejayaan. Bukankah Rosulullah saw pernah mengingatkan, bahwa jika sebuah permasalahan diserahkan bukan pada ahlinya kita tinggal menunggu kehancurannya?
Prediksi Rosulullah akhirnya terbukti. Sepeninggal Kisra, kekaisaran Persia tercabik-cabik seperti surat dakwah Rosulullah saw yang ia cabik-cabik dengan penuh kesombongan. Di ujung pedang mujahid Islam, pada masa kekhalifahan Umar bin Khattab, imperium besar itu tamat riwayatnya.
Ada kesamaan antara konteks pernyataan Rosulullah tentang kepemimpinan wanita di atas, dengan kondisi yang dialami bangsa Indonesia pasca pemilu 1999. Megawati Soekarno Putri, sosok wanita yang dibesarkan oleh mitos kharisma besar sang ayah, kini coba disodorkan oleh sementara pihak untuk jadi pemegang kendali negeri ini. Umat Islam dihadapkan pada kondisi dilematis, karena secara riil parpol yang dipimpinnya hampir dapat dipastikan meraih kemenangan yang signifikan, meski tidak mayoritas. Menghadapi kenyataan pahit ini, tidak sedikit di antara umat Islam yang frustrasi dan kehilangan rasa percaya diri.
Polemik soal boleh tidaknya perempuan menjadi pemimpin negara pun marak. Tak kurang seorang pemimpin parpol papan atas yang memiliki basis massa muslim tradisional bahkan mengatakan, “Jangan menghalang-halangi Mega dengan berbagai isu yang tidak mendidik dan kampungan, khususnya persoalan gender dan caleg non muslim.” Ia membenturkan antara aksioma syari’at Allah dengan pendapat pribadi yang sangat terbatas. Soal kepemimpinan wanita, bukan isu politik yang tanpa dasar, apalagi disebut tidak mendidik dan kampungan. Ia lupa bahwa ucapannya itu sama dengan menyakiti, melecehkan, dan mengkhianati peran ulama dan umat pendukungnya yang masih mendasarkan visi politik mereka pada tuntunan Ilahiyah dan kearifan sejarah.
Di luar masalah gender, kekhawatiran Rasulullah terhadap sekelompok orang yang ingin mengeksploitasi puteri Kisra yang dinobatkan sebagai pemimpin kerajaan juga memiliki korelasi dengan kondisi Megawati. Sosok Megawati bagi umat Islam cukup dilematis. Sampai saat ini ia belum menunjukkan kompetensi dan kapasitas yang siap diandalkan untuk memimpin bangsa ini. Melihat hal ini, bisa jadi Megawati adalah obyek fenomental yang dieksploitasi oleh sekelompok orang yang memiliki ambisi besar untuk menghipnotis bangsa melalui kharisma sang ayah. Padahal, jika mereka tulus menghormati Soekarno, mestinya manuver-manuver tersebut tidak perlu mereka lakukan dengan mengorbankan putrinya. Menjadikan Megawati sebagai komoditas politik dengan memberinya porsi yang tidak proporsional, sama artinya dengan mengungkungnya dalam penjara yang menyiksa dirinya. Beban moral tidak saja menyesakkan nafas Mega, tapi justru menyesakkan nafas bangsa.
Belum lagi bagi umat Islam, rekor kediktatoran ayahnya telah menyimpan catatan kelam. Ketika berkuasa, Soekarno membubarkan sejumlah institusi Islam dan menjebloskan sejumlah tokohnya ke penjara. Apakah manuver Megawati dalam menempatkan caleg-calegnya telah menjadi indikator awal bahwa sikap Islamofobia ayahnya akan mengalami reinkarnasi? Jika ini yang terjadi, tampilnya Mega sebagai presiden harus dibayar mahal oleh Umat Islam. Bukan saja nasib sebuah bangsa, tapi eksistensi sebagai komunitas umat mayoritas juga akan menjadi taruhan.
Sumber Majalah Sabili
Misbah

http://groups.yahoo.com/group/muslim/message/464

Skip to content
Skip to search - Accesskey = s
WAHAI UMAT MANUSIA, PELUKLAH AGAMA ISLAM AGAR KALIAN SELAMAT DUNIA AKHERAT, SESUNGGUHNYA ISLAM ADALAH SATU-SATUNYA JALAN KESELAMATAN (085657260185)
HARAMNYA KEPEMIMPINAN WANITA DALAM NEGARA
Posted in way of life by silahkan kunjungi situs islam yang sangat bermanfaat: www.muslim.or.id , www.kajian.net , www.eramuslim.com , www.rumaysho.com , www.pengusahamuslim.com , www.asysyariah.com , www.ustadzaris.com on September 3, 2009
Sistem kenegaraan dalam Islam adalah Khilafah al-Islamiyyah, bukan sistem republik, kerajaan, federasi, ataupun kekaisaran. Rasulullah saw bersabda:
“Dahulu Bani Israil selalu dipimpin dan diperlihara urusannya oleh para Nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, digantikan oleh nabi yang lain. Sesungguhnya tidak ada nabi setelah aku. (Tetapi) nanti akan ada banyak khalifah… (HR. Imam Muslim dari Abi Hazim).
Ijma shahabat juga menunjukkan dengan jelas, bahwa sistem kenegaraan dalam Islam adalah sistem Khilafah al-Islamiyyah. Sistem kenegaraan lain, selain sistem Khilafah al-Islamiyyah, bukanlah sistem Islam. Menurut Hizbut tahrir, haram bagi kaum muslim untuk mengadopsi ataupun terlibat dalam sistem-sistem kufur tersebut. Sebab, sistem-sistem tersebut, bukanlah sistem kenegaraan yang dicontohkan Rasulullah saw. Sistem tersebut merupakan sistem kenegaraan kufur yang secara diametral bertentangan dengan Islam. Perkara ini adalah perkara qath’iy (pasti); terang-benderang, seterang matahari di tengah hari!.
HARAMNYA KEPEMIMPINAN WANITA DALAM NEGARA: BUKANLAH PERKARA KHILAFIYYAH.
Sistem kenegaraan Islam adalah sistem Khilafah Islamiyyah. Seluruh ‘ulama sepakat bahwa wanita haram menduduki jabatan kekhilafahan. Imam Al-Qurthubiy, menyatakan dalam tafsirnya Al-jaami’ li Ahkam Al-quran, Juz I. hal. 270, menyatakan bahwa, “Khalifah haruslah seorang laki-laki dan mereka (para fuqaha) telah bersepakat bahwa wanita tidak boleh menjadi imam (khalifah).
Argumentasi paling gamblang dan sharih tentang haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan adalah, sabda Rasulullah saw,
“Tidak akan beruntung suatu kaum yang menyerahkan kepemimpinan mereka kepada wanita”. (HR Bukhari, Ahmad, Tirmidzi, dan an-Nasa’i dari Abu Bakrah ra)
Hadits ini dari segi riwayah tidak seorangpun pakar Hadits yang mempersoalkan kesahihannya. Sedangkan dari segi diroyah; dalalah hadits ini menunjukkan dengan pasti haramnya wanita memegang tampuk kekuasaan negara.
Latar belakang turunnya hadits ini memang ditujukan kepada masyarakat Persi yang menyerahkan urusan kekuasaan kepada seorang wanita. Akan tetapi, walaupun hadits ini merupakan komentar atas suatu kejadian –pengangkatan wanita menjadi raja–, namun kata “qaumun” (isim jins dalam bentuk nakirah) ini memberikan makna umum (‘aam). Artinya kata qoum diatas berlaku untuk semua kaum, termasuk kaum muslim di dalamnya. Dalam redaksi hadits itu, Rasul tidak melafadzkan dengan kata, lan yufliha qaum al-faaris (tidak beruntung masyarakat Persia), akan tetapi menggunakan kata-kata umum, yakni “qaumun”.
Adapun kisah Ratu Balqis dalam surat al-Naml, tidak ada hubungan sama sekali dengan masalah ini. Fragmen sejarah Ratu Bilqis tidak mempunyai implikasi hukum sama sekali. Itu hanya fragmen cerita ketika masa Nabi Sulaiman as. Tentu syari’at nabi terdahulu tidaklah berlaku bagi kita. Berdasar kaidah ushul syar’u man qablanaa laisa syar’an lanaa (syari’at sebelum kita bukanlah syari’at bagi kita). sehingga syari’at nabi-nabi terdahulu bukanlah dalil syara’ bagi kita—ummat Muhammad saw. Adapun sementara pihak yang menyatakan bahwa Allah memuji dia, hal itu sama sekali tidak benar, sebab kalau kita melakukan tadabbur terhadap al-Qur’an tentang kisan Bilqis; tidak ada satupun indikasi yang menunjukkan bahwa Allah swt memuji kearifan dan kebijaksanaan Ratu Bilqis yang penyembah matahari, penyuap itu –sebelum diperisteri Nabi Sulaiman.
Selanjutnya yang menjadi pertanyaan adalah, apakah Ratu Bilqis –ketika masih menjadi penyembah matahari, dan penyogok itu, layak dijadikan panutan bagi kaum muslim? Jawabnya, tegas, tidak!. Walhasil, kisah Ratu Balqis tidak bisa digunakan dalil untuk mengabsahkan kepemimpinan wanita dalam negara.
Demikian juga, munculnya pemimpin perempuan dari Dinasti Mamalik bernama Ratu Syajaratuddur, tidak juga bisa digunakan sebagai dalil. Sebab fakta sejarah kaum muslim bukanlah dalil syara’. Fakta sejarah kaum muslim sebenarnya merupakan penerapan hukum syara’ dalam kehidupan. Tentu bisa saja terjadi penyimpangan sesuai dengan kadar keterikatan mereka—pada waktu sejarah tersebut ditulis—terhadap hukum syara’. Tentu, kaum muslim tidak bisa menghalalkan khamr, hanya dengan bersandar pada kenyataan sejarah. Semisal, pada masa kekhilafahan Islam, ada sebagian kaum muslim di negeri Islam yang melakukan maksiyyah. Misalnya, meminum khamr. Lalu, apakah dengan dalil historis, kaum muslim boleh meminum khamr? Tentu tidak. Sebab haram atau halalnya khamr harus merujuk kepada al-Quran dan Sunnah, bukan bersandar kepada konteks sejarah.
Haramnya kepemimpinan wanita dalam negara juga tidak ada kaitannya dengan pelanggaran HAM, dan demokrasi. Haramnya kepemimpinan wanita merupakan bagian dari aturan Islam. Memang benar, dengan menggunakan sudut pandang kufur HAM, dan demokrasi, pemasungan hak wanita dalam kekuasaan negara bisa dianggap pelanggaran. Sebab, aturan HAM dan demokrasi memang menetapkan ketentuan semacam itu. Namun, seorang mukmin sejati, hanya mengambil ketetapan dari al-Quran dan Sunnah, walaupun bertentangan dengan HAM dan demokrasi. Cukuplah al-Quran dan Sunnah sebagai dalil bagi kaum muslim dan dia tidak akan berfikir untuk memilih yang lain. Tentu bagi seorang muslim yang muttaqi keridha’an Allah segala-galanya bagi dia. Sikap yang semacam inilah yang seharusnya dimiliki oleh muslim yang muttaqi. Sebagaimana firman Allah Ta’ala dalam surah al-Ahzab ayat 36. Maka memilih HAM dan demokrasi dan mencampakkan al-Quran dan Sunnah, merupakan bentuk kesesatan yang nyata!
Bahkan, Allah swt menjelaskan pula kebatilan serangan kafir kaum feminis yang sok demokratis dengan firman-Nya,
“Dan janganlah kamu iri hati dengan apa yang dikaruniakan Allah kepada sebagian kamu lebih banyak dari sebagian yang lain. (Karena) bagi laki-laki ada bagian dari apa yang mereka usahakan, dan bagi wanita (pun) ada bagian dari apa yang mereka usahakan” (An-Nisaa’ [4]:32)
Demikianlah, dengan penelaahan yang mendalam terhadap dalil-dalil syara’; dan dengan mendudukkan isu-isu yang dilontarkan kafir—musuh Allah—untuk menciptakan keraguan terhadap Islam, dapat disimpulkan bahwa wanita memang diharamkan memegang tampuk kekuasaan negara. Selanjutnya, sikap yang seharusnya dimiliki oleh mukmin sejati adalah ia tidak akan pernah memilah-milah atau menimbang-nimbang ketetapan Allah SWT: dalam al-Quran maupun Sunnah. Mereka akan tunduk dan patuh dengan ketetapan Allah SWT.
PENUTUP
Haramnya wanita menduduki tampuk kekuasaan negara, bukanlah perkara khilafiyyah. Dalil-dalil sharih telah menunjukkan hal itu. Sudah seharusnya kaum muslim kembali pada keputusan Allah SWT tanpa perasaan ragu maupun perasaan ‘sempit’ dan pasrah dengan sepenuhnya pasrah. Sikap yang seperti itulah yang dijelaskan oleh Allah SWT dalam surah al-Nisa’ ayat 65.
Maka sikap membangkang terhadap keputusan Allah dan Rasul-Nya adalah merupakan tindak kemaksiyatan yang paling besar. Apalagi, kalau sikap tersebut diikuti dengan tindakan pemerkosaan dan pemaksaan terhadap nash-nash qath’iy agar sejalan dengan hawa nafsu mereka. Sungguh, hanya kembali kepada syari’at Allah dengan menegakkan Daulah Khilafah Islamiyyahlah, kaum muslim akan selamat serta seluruh problem kaum muslim dapat dipecahkan.
Kami menyeru kepada wakil rakyat serta para pemimpin parpol, selesaikanlah terlebih dahulu problem dasarnya! gantikan sistem kufur ini dengan sistem Islam. karena itulah yang diperintahkan Allah SWT atas kita. Pasti, kemashlahatan hakiki akan terwujud tidak akan lama kemudian.
Wallahu a’lam bi al-shawab.
http://ita081325537150.wordpress.com/2009/09/03/haramnya-kepemimpinan-wanita-dalam-negara/

Universitas Muhammadiyah Malang
Department of Tarbiyah - student-research.umm.ac.id
KEPEMIMPINAN WANITA (Studi Perbandingan Antara Perspektif Mufassir dan Feminis Muslim
Oleh:
Ani Dwi agustina
Abstract
Salah satu isu yang banyak didiskusikan dalam diskursus feminisme belakangan ini adalah konsep kepemimpinan
wanita dalam rumah tangga. Para feminis Muslim menggugat paham kepemimpinan suami dalam rumah tangga yang
selama ini sudah mapan di kalangan kaum Muslimin. Bagi mereka, paham yang menempatkan suami sebagai
pemimpin rumah tangga tidak sejalan, bahkan bertentangan dengan ide utama feminisme yaitu kesetaraan laki-laki
dan wanita di dalam rumah tangga maupun kehidupan sosial bermasyarakat. Sebagai konsekuensi dari konsep
kesetaraan laki-laki dan wanita, maka dalam sebuah rumah tangga, status istri setara dengan status suami. Dalam
penulisan skripsi ini permasalahan yang diangkat adalah (1). pandangan para mufassir tentang kepemimpinan wanita,
(2). pandangan para feminis Muslim tentang kepemimpinan wanita, (3). serta perbandingan pendapat antara mufassir
dan feminis Muslim tentang kepemimpinan wanita. Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penulisan
skripsi ini adalah metode library research (penelitian kepustakaan) Sedangkan untuk metode analisa data, penulis
menggunakan metode deduktif dan komparatif. Dengan sistem penelitian dan metode tersebut, peneliti memberikan
penafsiran-penafsiran terhadap gagasan dari sumber acuan umum dan khusus yang telah dideskripsikan,
memberikan kritik terhadap serangkaian gagasan tersebut dan melakukan analisis terhadap serangkaian gagasan dari
sumber-sumber acuan khusus serta diakhiri dengan penyimpulan hasil penelitian.Dari hasil penelitian ini penulis
menyimpulkan bahwa, (1) pendapat para mufassir tentang konsep kepemimpinan wanita adalah laki-laki penanggung
jawab/pemimpin atas wanita karena berdasarkan dua hal, yaitu; laki-laki dijadikan lebih dari wanita secara kodrati
untuk melakukan pekerjaan di luar rumah dan laki-laki dibebani kewajiban memberi nafkah kepada keluarganya. (2)
Sedangkan pendapat para feminis Muslim tentang konsep kepemimpinan wanita khususnya dalam memberi makna
?qawwam?/pemimpin ini hanya dalam konteks kehidupan rumah tangga, namun dalam bermasyarakat wanita
memiliki peluang yang sama dengan kaum pria untuk bersama-sama berkiprah menggali potensinya. Alasan yang
mereka kemukakan adalah karena tidak ada nash Al-Qur?an maupun hadits yang melarangnya secara khusus. (3)
Adapun perbandingan pendapat antara mufassir dan feminis Muslim menghasilkan perbedaan dan persamaan
pandangan. Perbedaan pandangan antara mufassir dan feminis Muslim adalah; para mufassir lebih melihat pada
teks/nash Al-Qur?an dalam memberikan penafsiran ayat kepemimpinan wanita, khususnya QS. An-Nisa?/4: 34.
Sedangkan para feminis Muslim melihat dan memberi interpretasi melalui kaca pandang yang lebih luas (kontekstual).
Persamaan pandangan antara mufassir dan feminis Muslim dalam hal kepemimpinan wanita yang dihubungkan
dengan QS. An-Nisa?/4: 34, yaitu obyek kajian keduanya menyangkut dua faktor; Faktor jenis kelamin, khususnya
wanita, dan Posisi atau eksistensi.
Keyword : Kepemimpinan Wanita, Feminis Muslim
Related Link : http://skripsi.umm.ac.id/files/disk1/55/jiptummpp-gdl-s1-2005-anidwiagus-2749-Pendahul-n.pdf
page 1 / 1
http://student-research.umm.ac.id/research/download/umm_student_research_abstract_7444.pdf

Kepemimpinan Wanita Dalam Organisasi Pendidikan. Penelitian Sejarah Hidup, Nilai-Nilai, Dan Perilaku Direktur Akademi Refleksi “Insan Malang Berbudi”
Sri Setyowati

Abstrak

Wanita dipilih sebagai bahan kajian karena jender di abad XX – XXI telah mencuat sebagai isu pembangunan. Kepemimpinan ditinjau secara sosio-kultural dengan teori Nurture (Umar, 2001) dapat dipegang oleh siapa saja, pria atau wanita yang memang dibutuhkan oleh organisasi yang dipimpinnya atas potensi yang dimilikinya. Penelitian ini mengetengahkan sejarah hidup, sejarah akademi, nilai-nilai budaya, dan perilaku kepemimpinan seorang wanita sebagai direktur akademi yang langka.
Teori-teori yang digunakan adalah teori Kepemimpinan Robert Fritz, teori Kekuatan Kepemimpinan David T. Kyle, teori Kepemimpinan Jawa Bratawijaya, teori Kebudayaan Jawa Herusatoto dan Kepemimpinan dalam Kebudayaan Jawa Koentjaraningrat, Orientasi Nilai Budaya Jawa Simuh, serta Analisis Kepemim-pinan Jawa Antlov dan Cederroth. Teori Organisasi Pendidikan Fattah, Koentjaraningrat, Khoe Yao, dan Palfreyman.
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini berpendekatan kualitatif, berpaham hermeneutik, bersifat humanistik, dengan desain penelitian sejarah hidup dari Bogdan dan Biklen (1998). Lokasi penelitian di Akademi Refleksi Indonesia Malang, jalan Sudimoro nomor 36 desa Mojolangu kecamatan Lowokwaru Malang, dengan informan kunci direkturnya, dan informan pendukung para karyawan dan keluarganya. Adapun teknik pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi.
Ditemukan dan disimpulkan dalam penelitian ini tentang Sejarah hidup wanita direktur Akademi Refleksi “Insan Malang Berbudi” bahwa faktor keturunanlah yang memadukan sifat kepemimpinan, kharismatik, seperti potensi dapat menyembuhkan orang sakit dan keberpengaruhan, yang mengalir dan membentuk karakter pejuang pada wanita direktur akademi.
Potensi kejuangan wanita direktur akademi ini selain dari faktor keturunan juga dibuktikan dengan potensi dari faktor intelektual yang tampak pada percobaan-percobaannya, dan faktor spiritualnya yang ditengarai dari keter-dorongannya untuk mewujudkan cita-cita hingga mendapat dukungan dari berbagai pihak.
Sejarah Akademi Refleksi “Insan Malang Berbudi” dengan bekal pendi-dikan dari latar belakang keilmuan pendirinya yang sedang-sedang saja, didukung oleh bakat-bakat kepemimpinan dari faktor keturunan, dan segenap potensinya serta rasa kejuangan feminismenya, sehingga mendapatkan banyak dukungan.

Nilai-nilai budaya Jawa yang dijunjung tinggi dalam praktek kepemim-pinannya ditemukan bahwa (1) Kepribadian dalam kehidupan sehari-hari adalah kesederhanaan, ramah, tegas, menghormati orang lain, (2) Keteladanan bagi para anggota atau bawahannya terbaca dari semangatnya yang tak kenal lelah, kinerja yang baik dengan suka mengerjakan sesuatu sendiri selagi bisa, kegigihan cara menyelesaikan persoalan, mengatasi konflik dengan bijaksana, mempelajari masalah hingga mengusut tuntas perkara, mengambil tindakan tegas dan melaksanakan janji. (3) Prestasi-prestasinya membuktikan bahwa wanita direktur akademi ini selaku pemimpin akademi telah menunjukkan kecerdasannya,
Perilaku kepemimpinan wanita direktur Akademi Refleksi “Insan Malang Berbudi”dalam mengelola organisasi pendidikan ini hingga berhasil seperti keberadaannya sekarang ditemukan bahwa (1) Himbauan yang dipakai ditemukan dari cara memberikan informasi dengan bahasa yang halus, memberikan penga-rahan dengan bahasa yang jelas dan beralasan, memberikan perintah dengan bahasa yang halus, juga cara memberikan peringatan yang tegas dan beralasan kuat, ataupun cara mempengaruhi bawahan dengan pemberian contoh dan pembiasaan, cara memotivasi dengan bahasa yang disesuaikan dengan karakter masing-masing bawahan, dan cara mengambil keputusan yang hati-hati.
(2) Penguatan: cara memberikan penghargaan cukup terbuka dan menyenangkan, cara membantu karyawan bermasalah dengan pendekatan persuasif, memberikan larangan dengan alasan jelas, memberi peringatan maupun hukuman cukup hati-hati, bijaksana dan tegas. (3) Memfasilitasi sudah cukup baik, manusiawi, dan cukup efisien tetapi di pengelolaan gedung dan pengelolaan sumber daya manusia pada strukturalisasinya tampak adanya kelemahan karena kekurangannya di bidang latar belakang keilmuan bidang Manajemen Pendidikan, tetapi dapat mengakui kekuarangan dan kemauan memperbaiki.
(4) Review menemukan adanya ketergantungan dan ketakutan akan walat (kutukan) sehingga kinerja karyawan per-unitpun menjadi kurang kreatif. (5) Harapan karyawan dan mahasiswa terhadap kepemimpinan wanita direktur akademi akan hadirnya sosok independen yang ahli di Bidang Manajemen Pendidikan adalah bukti loyalitas dan solidaritas yang cukup tinggi kepada pimpinan. (6) Masa depan lulusan terjamin.
Disarankan: Bagi para praktisi pendidikan dan pengelola organisasi pendidikan: (1) Sifat-sifat baik pemimpin dapat diteladani, ditingkatkan menjadi motivator kinerja karyawan, dan kharisma pemimpin hendaknya dipergunakan untuk mengkondusifkan iklim kerja dan merangsang kreativitas karyawan. (2) Dalam sistim pengorganisasian hendaknya disesuaikan dengan kualifikasi dan bersifat independent. (3) Mengelola sarana-prasarana, hendaknya diidentifikasi dulu kebutuhannya, dipertimbangkan sumbernya, kemanfaatannya, baru diten-tukan program pengadaannya. (4) Supaya menghargai dukungan bawahan dengan cara mengupayakan peningkatan kesejahteraan karyawannya.
http://karya-ilmiah.um.ac.id/index.php/disertasi/article/view/980