PERKEMBANGAN HADITS
PADA MASA ROSULULLAH SAW
A. Hadits Pada Masa Rasulullah SAW
Periode Rasulullah SAW merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits. Periode ini terhitung cukup singkat jika dibanding dengan masa-masa berikutnya. Masa ini berlangsung selama 2 tahun, mulai tahun 13 SH /610 M sampai dengan tahun 11 H/ 632 M. Masa ini merupakan masa turunnya wahyu (‘ashr al-wahyi) dan sekaligus sebagai masa pertunbuhan hadits.
Keadaan diatas sangat menuntut keseriusan dan kehati-hatian para sahabat, sebagai pewaris pertama ajaran Islam, dalam menerima kedua sumber ajaran diatas. Karena, pada tangan mereka kedua-duanya harus terpelihara dan disampaikan kepada pewaris berikutnya secara berkesinambungan. Data sejarah menunjukkan bahwa jumlah orang Islam dimasa Nabi terus bertambah banyak. Baik di periode Makkah atau Madinah. Maka tidak mustahil kalau para sahabat Nabi kemudian ingin tahu lebih banyak tentang ajaran Nabi dengan cara meluangkan waktu untuk selalu menyertainya, kemudian mereka sampaikan kepada orang lain.
B. Perkembangan Hadits di Masa Nabi
Subtansi ajaran Islam Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sebagai Rasul, Nabi Muhammad berkepentingan meyebarkan Islam kepada ummat manusia. Al-hadits tersiar bersama penyiaran Islam itu dengan sendirinya. Dalam sebuah riwayat disebutkan, Nabi bersabda:
Artinya: “sampaikanlah olehmu apa yang berasal dariku, kendati hanya satu ayat.”
Untuk menyiarkan Islam, hadits termasuk didalamnya, Nabi menjanjikan pahala, baik kepada guru atau murid.
Terhadap guru misalnya:
Artinya: “ apabila anak adam meninggal, amalnya akan terputus kecuali tiga golongan, amal jariyah, anak sholehah yang mendoakan orang tuanya dan ilmu yang bemanfaat.”
Terhadap murid ia menjanjikan:
Artinya: “orang yang menempuh perjalanan mencari ilmu, Allah akan memudahkan kepadanya jalan ke surga.”
1. Cara menyampaikan hadits Nabi
a. Melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut “majlis al-ilmi.” Melalui majlis ini para sahabat memperoleh banyak peluang untuk menerima hadits, sehingga mereka selalu berusaha untuk mengkonsentrasikan diri untuk mengikuti kegiatannya.
b. Rasul menyampaikan hadistnya melalui sahabat tertentu, yang kemudian oleh para sahabat tersebut disampaikan kepada orang lain.
c. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka, seperti haji wada’ dan futuh Makkah.
2. Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyiaran hadits di masa Nabi adalah:
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaiakan dakwahnya.
b. Karakter ajaran Islam sebagai ajaran baru telah membangkitkan semangat orang di lingkungannya untuk selalu mempertanyakan kandungan ajaran agama ini. Selaanjutnya, secara otomatis menyebar ke orang lain secara bersinambungan.
c. Peranan para istri Nabi sangat besar dalam penyiaran Islam, hadits termasuk di dalamnya. Terdapat kasus-kasus yang ditanyakan oleh kaum wanita tentang ajaran Islam yang berlaku bagi mereka. Persoalan yang dipandang oleh mereka sangat rahasia tidak ditanyakan langsung kepada Nabi, tetapi melalui perantaraan istri-istri beliau.
3. Penulisan hadits dan pelarangannya
Di masa hidupnya Nabi mengangkat banyak sahabat untuk menulis Al-Qur’an, tidak demikian dengan hadits. Sebagaimana dalam hadits Nabi yang artinya: “ Abu Sa’id Al-Khudri berkata, saya pernah berjuang agar Nabi memberi izin kepada kami untuk menulis hadits, tetapi Nabi enggan ( memberi izin”).
Tetapi terdapat pula hadits yang diperbolehkan orang manulis hadits. Misalnya dalam hadits Nabi yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa ketika Fath Makkah Rosulullah SAW. Bangkit untuk berkhutbah di tengah orang banyak. Maka berdirilah seorang penduduk Yaman, bernama Abu Syah. Katanya, “Ya Rosulullah, tuliskan untukku.” kata Nabi, “tuliskanlah untuknya.”
Dari kedua versi hadits itu diperoleh pesan dan pertentangan antara larangan dan izin menulis hadits. Tetapi yang jelas, kini kita mendapatkan hadist dari tulisan-tulisan. Ada beberapa teori muncul mengatasi kontradiksi kedua versi hadits tersebut, misalnya:
a. Larangan menulis hadits di periode permulaan Islam dan izin penulisannya diberikan di periode akhir kerasulan.
b. Larangan hadits bagi orang yang kuat hafalan dan tidak dapat menulis dengan baik serta dikhawatirkan salah dan bercampur dengan Al-Qur’an. Izin menulis diberikan kepada orang yang pandai menulis, tidak dikhawatirkan salah serta bercampur dengan Al-Qur’an.
c. Larangan itu ditujukan bagi orang yang kurang pandai menulis, dikhawatirkan tulisannya keliru. Sementara orang yang pandai menulis tidak dilarang untuk menulis hadits.
4. Keadaan para sahabat dalam menerima dan menguasai hadits
Dalam masa itu, para sahabat tidak sederajat dalam mengetahui keadaan Nabi SAW. Ada yang tinggal di kota, di desa, di dusun, berniaga, bertukang. Ada yang sering berada di kota, ada pula yang sering bepergian, ada yang terus beribadat, ada yang tiggal di masjid, tidak memperoleh kerja. Dan Nabi pun tidak selalu mengadakan “ceramah terbuka”. Tempo-tempo saja beliau melakukan yang demikian.
Diantara para sahabat Nabi yang banyak menerima hadits pelajaran dari Nabi ialah:
a. Yang mula-mula masuk Islam yang dinamai As Sabiqunal Awwalun, seperti Khulafa empat dan Abdulah Ibnu Mas’ud.
b. Yang selalu berada di samping Nabi dan bersungguh-sungguh menghafalnya, seperti Abu Hurairah. Dan yang mencatat seperti Abdullah Ibnu Amer Ibn ‘Ash.
c. Yang lama hidupnya sesudah Nabi, dapat menerima hadits dari sesama sahabat, seperti Anas Ibn Malik dan Abdullah Ibn Abbas.
d. Yang erat hubungannya dengan Nabi, yaitu: Ummahatul mu’minin, seperti Aisyah dan Ummu Salamah.
Para sahabat dalam menerima hadits dari Nabi berpegang pada kekuatan hafalannya. Mereka mendengar dengan hati-hati apa yang Nabi sapdakan, lalu tergambarlahlafal atau makna itu dalam dzihin mereka. Mereka melihat apa yang Nabi kerjakan. Dan mereka mendengar pula dari orang yang mendengarnya sendiri dari Rosul.
5. Kedudukan usaha menulis hadits pada masa Nabi SAW
Riwayat- riwayat yang benar ada menceritakan bahwa sebagian sahabat mempunyai lembaran-lembaran yang tertulis hadits. Mereka bukukan di dalamnya sebagian hadits yang mereka dengar dari Rosulullah SAW. Seperti shohifah Abdullah Ibn Amer Ibn Ash, yang dinamai “Ash shadiqah”.
Ada pula riwayat yang menerangkan bahwa Ali mempunyai shahifah, ditulis di dalamnya hokum-hukum diyat yang diberatkan kepada keluarga, dan lain-lainnya.
Selain dari pada itu Nabi SAW sendiri pernah mengirim surat kepada sebagian pegawainya menerangkan kadar-kadar zakat unta dan kambing. Dan pernah dengan tegas Nabi SAW memerintahkan sahabat menulis hadits. Misalnya. dalam kitab Al Ilm dari Abu Hurairah:
Artinya: “bahwasannya golongan Khuza’ah (Hudzali) membunuh seorang lelaki dari bani Laits pada tahun Nabi mengalahkan kota Makkah, disebabkan satu pembunuhan yang telah lama dilakukan oleh bani Laits terhadap bani Khuza’ah. Kejadian itu diberitahukan kepada Nabi.”
KESIMPULAN
Perkembangan Hadits di Masa Rasulullah SAW
Periode Rasulullah SAW merupakan periode pertama sejarah pertumbuhan dan perkembangan hadits. Periode ini terhitung cukup singkat jika dibanding dengan masa-masa berikutnya. Masa ini berlangsung selama 2 tahun, mulai tahun 13 SH /610 M sampai dengan tahun 11 H/ 632 M. Masa ini merupakan masa turunnya wahyu (‘ashr al-wahyi) dan sekaligus sebagai masa pertunbuhan hadits.
1. Cara menyampaikan
a. Melalui para jama’ah pada pusat pembinaannya yang disebut “majlis al-ilmi’.
b. Rasul menyampaikan hadistnya melalui sahabat tertentu.
c. Melalui ceramah atau pidato ditempat terbuka.
2. Faktor-faktor yang mendukung percepatan penyiaran hadits di masa Nabi adalah:
a. Rasulullah sendiri rajin menyampaiakan dakwahnya.
b. Peranan para istri Nabi sangat besar dalam penyiaran Islam.
3. Penulisan hadits dan pelarangannya
Di masa hidupnya Nabi mengangkat banyak sahabat untuk menulis Al-Qur’an, tidak demikian dengan hadits.
DAFTAR PUSTAKA
Ranuwijaya, Utang, Ilmu Hadits. Jakarta: Gaya Media Tama. 1993.
Teungku Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Prof. DR. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits. Semarang: Pustaka Rizki Putra.1987.
Zuhri, Muh, Hadits Nabi Telaah Histories dan Metodologis. Yogjakarta: Tiara Wacana Yogja, 2003.
Selasa, 04 Mei 2010
Minggu, 02 Mei 2010
HAJI EMPAT MADZHAB
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, haji merupakan salah satu dari rukun islam. Ibadah haji dilaksanakan setiap satu tahun sekali yaitu mengunjungi Ka’bah (Baitullah) di Bakkah atau makkah bagi orang-orang yang mampu menjalankannya.
Sebagian besar umat islam di Indonesia menganut madzhab Syafi’i. jadi bisa dikatakan, bahwa aturan atau tata cara dalam pelaksanaan ibadah haji yang digunakan umat islam di Indonesia adalah sama. Tapi di makkah (baitullah) terdapat madzhab-madzhab lain yang dianut orang islam dari penjuru dunia yang melaksanakan ibadah haji. Untuk itu disini kami akan menjelaskan tentang perbedaan aturan atau tata cara melaksanakan ibadah haji menurut ulama’ madzhab.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian haji menurut imam empat ?
2. Apa perbedaan-perbedaan ulama’ madzhab tentang pelaksanaan ibadah haji ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Haji
Haji secara bahasa adalah menyengaja sesuatu. Sedangkan yang dimaksud haji secara istilah adalah sengaja mengunjunmgi Ka’bah (rumah suci untuk melakukan beberapa amalan ibadah, dengan syarat-syarat tertentu.
Firman Allah SWT surat ali-imran ayat 96-97:
96. Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia[214].
97. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[215]; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah [216]. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
[214] ahli Kitab mengatakan bahwa rumah ibadah yang pertama dibangun berada di Baitul Maqdis, oleh Karena itu Allah membantahnya.
[215] ialah: tempat nabi Ibrahim a.s. berdiri membangun Ka'bah.
[216] yaitu: orang yang sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan serta sehat jasmani dan perjalananpun aman.
Dari ayat diatas diartikan haji adalah mengunjungi makkah untuk mengerjakan ibadah thowaf, sa’I, wuquf di arafah dan ibadah-ibadah lain unuk memenuhi perintah allah dan mengharap keridhaan-nya. Dan ia merupakan salah satu dari rukun islam dan suatu kewajiban yang dapat diketahui tanpa memerlukan pemikiran lagi. Seandainya ada yang menyangkal hokum wajibnya, berarti ia telah kafir dan murtad dari agama islam.
B. Macam-macam Haji
Macam- macam haji ada tiga macam:
1. Haji Ifrad
Yaitu haji dimana jama’ah mendahulukan haji dan setelah selesai dari amalan-amalan haji, ia melakukan ihram untuk umrah, kemudian melakukan amalan-amalan umrah.
2. Haji Qiran
Yaitu jama’ah haji melakukan ihram untuk umrah dan haji secara bersamaan dengan mengatakan kalimat talbiyah.
3. Haji Tamattu’
Yaitu jama’ah melakukan umrah terlebih dahulu pada bulan-bulan haji, setelah selesai kemudian melaksanakan amalan-amalan haji.
Para ulama’madzhab tidak ada perbedaan tentang macam-macam haji, mereka sepakat dengan macam-macam haji yang tersebut diatas. Ulama’ madzhab tersebut juga mengatakan “boleh bagi siapa saja, baik orang makkah atau non makkah, untuk memilih salah satu dari keiga macam haji tersebut tidak ada yang dimakruhkan. Hanya Abu Hanifah yang berpendapat “hanya bagi orang makkah dimakruhkan melaksanakan haji tamatu’ dan qiran secara bersamaan. Tetapi ulama’ madzhab berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama dari ketiga haji tersebut:
a. Imam Syafi’I : Ifrad dan tamattu’ lebih utama dari qiran.
b. Imam Hanafi : Qiran lebih utama dari keduanya.
c. Imam Maliki : Ifrad lebih utama.
d. Imam Hambali : Tamattu’ lebih utama
Al fiqhu ‘ala madzahib arba’ah, al mughni, mizan al sya’roni dan fiqhu sunnah jilid 5), ulama’ madzhab sepakat bahwa barang siapa haji ifrad tidak diharuskan memberikan kurban. Tetapi bila memberikannya secara suka rela itu lebih baik.
C. Syarat-syarat Haji
1. Baligh
Anak kecil tidak diwajibkan melaksanakan haji, baik yang sudah mumayyis atau belum mumayyis. Kalau sudah mumayyis ia naik haji, maka sah hajinya, tetapi pelaksanaan haji pada waktu itu merupakan sunnah dan kewajiban untuk melaksanakan haji tidak gugur. Dan setelah baligh dan bisa atau mampu melaksanakan haji lagi, menurut kesepakatan ulama’ madzhab, karena melaksanakan haji sebelum baligh.
Bagi wali anak kecil yang belum mumayis boleh pergi haji bersamanya. Maka dia harus memakaikan pakaian ihram, dan harus mengajarinya talbiah sebaik-baiknya, . jika tidak bisa, maka dia harus menggantinya dalam talbiah dan menjauhkannya dari hal-hal yang diharamkan saat haji, memerintahnya untuk melakukan sebisa mungkin secara langsung, dan harus mewakilinya terhadap amalan-amalan haji yang tidak bisa dilaksanakan anak kecil tersebut.
Ada perbedaan antara ulama’ sah tidaknya haji anak kecil dengan izin walinya dan anak kecil yang sudah baligh tapi belum melaksanakan wukuf :
1. Imam Abu Hanifah
Haji anak kecil tidak bisa dianggap sah, sekalipun sudah mumayyis, baik diizinkan walinya atau tidak, sama saja. karena tujuan haji bagi anak keci litu semata-mata untuk latihan. (Fatkhul bari, al mughni dan al tadzkirah).
2. Imam Hambali dan Imam Syafi’i
Jika anak kecil itu sudah baligh tapi belum melaksanakan wukuf, maka dia diberi pahala sesuai dengan haji dalam islam.
3. Imam Maliki
Kalau dia memperbaiki ihramnya, maka dia diberi pahala. Jika tidak, maka dia tidak diberi pahala. Artinya dia harus melaksanakan haji lagi. (Al Tadzkirah).
2. Berakal
orang gila sebenarnya tidak mempunyai beban atau bukan seorang mukallaf. Kalau dia melaksanakan haji dan apat melaksanakan kewajiban orang yang berakal, maka hajinya itu tidak diberi pahala, sekalipun pada waktu itu akal sehatnya kembali padanya. Tapi jika gilanya itu musiman dan bisa sembuh sekitar pelaksanaan haji, sampai melaksanakan amalan-amalan dan syarat-syarat haji dengan sempurna, maka dia wajib melaksanakannya. Tapi kalau diperkirakan waktu sadarnya itu tidak cukup untuk melaksanakan semua kegiatan-kegiatan haji, maka kewajiban itu gugur.
Dalam hal ini kami tidak menemukan perbedaan pendapat diantara ulama’ madzhab, jadi dapat diambil benang merah bahwa para ulama’ madzhab sepakat dengan pendapat ini.
3. Bisa atau mampu
secara sepakat para ulama’ madzhab meneyapkan bahwa bisa atau mampu itu merupakan syarat keajiban haji. Kesepakatan ini didasarkan pada firman allah swt yang artinya :
“orang yang sanggup menjalankan perjalanan kepadanya.”
(QS. Ali-Imran 97)
Tetapi ulama’ madzhab berbeda pendapat tentang arti bisa atau mampu itu. Dalam hadits dijelaskan definisi mampu atau bisa seperti berikut :
“dengan bekal dan ada angkutan atau kendaraan.”
Maksudnya adalah memiliki biaya untuk pergi ke makkah dan pulang ke Negara asalnya dan semua kebutuhan lainnya. Dengan syarat semuanya itu melebihi hutang-hutangnya dan kebutuhan keluarganya serta kebutuhan-kebutuhan lain untuk hidup di negaranya. Bersama dengan itu juga harus ada rasa aman baik untuk dirinya, hartanya maupun untuk kehormatannya. Tak ada seorangpun dari ulama’ madzhab yang berbeda, kecuali Imam Maliki.
Menurut Imam Maliki, barang siapa yang mampu berjalan, maka dia wajib haji, sebagaimana diwajibkan untuk memberikan nafkah kepada sanak saudaranya dan keluarganya, tidak terkecuali. Dia wajib menjual apa saja untuk haji, baik berupa alat-alat mata pecahariannya dari bumi, binatang ternak maupun alat-alat lainnya, bahkan sampai buku-buku dan hiasan-hiasan yang dipakainya.
Ulama’ madzhab berbeda pendapat tentang seseorang yang tidak diwajibkan haji karena tidak mampu, tetapi kemudian dia berusaha dengan sekuat tenaga dan bersusah payah, lalu haji dan kemudian dia memiliki kemampuan untuk naik haji.
1. Imam Maliki dan Imam Hanafi
Dia akan diberi pahala, dan tidak wajib melakukan haji lagi sekalipun dia telah mampu. (Al Fiqhu ‘Ala Madzahib Arba’ah).
2. Imam Hambali
Barang siapa yang meninggalkan hak, maka dia harus menunaikannya, seperti hak untuk membayar hutang. Dan jika dia naik haji, maka doa diberi pahala sesuai dengan kewajiban melaksanakan haji.
D. Rukun-rukun Haji
1. Ihram yang disertai dengan niat menunaikan haji.
2. Wukuf di tanah Arafah.
3. Thowaf di Baitullah sebanyak 7 kali putaran.
4. Sa’i diantara Shofa dan Marwa sebanyak 7 kali.
Ulama’ madzhab sepakat bahwa orang yang akan melakukan ihram, disunnahkan untuk membersihkan badannya, memotong kukunya, mencukur kumisnya dan mandi walau pada perempuan haid dan nifas, karna tujuannya adalah kebersihan. Disunnahkan juga untuk melebatkan rambutnya dari awal bulan dzulqa’dahbila hendak melakukan haji tamattu’, dan disunnahkan pula untuk membuang ranbut yang ada di badannya dan di ketiaknya, melakukan ihram setelah dzuhur atau pada waktu shalat-shalat lainnya. Disunnahkan pula shalat ihram enam raka’at, empat raka’at atau dua raka’at paling sedikitnya bersuci dari hadats tidak menjadi syarat sahnya ihram.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat diantara ulama’ madzhab sebagai berikut:
1. Imam Hanafi dan Imam Maliki
Kalau tidak ada air, maka gugurlah sunnah mandi itu, dan tidak diperintahkan untuk bertayamum sebagai penggantinya.
2. Imam Hambali dan Imam Syafi’i
Kalau tidak ada air, maka harus bertayamum sebagai pengganti mandi.
Para ulama’ madzhab sepakat bahwa talbiyah diperintahkan dalam ihram, tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah wajib atau sunnah, juga tentang waktunya.
1. Imam Syafi’i dan Imam Hambali
Talbiyah merupakan sunnah dan disunnahkan membacanya pada waktu ihram. Tetapi jiak berihram tanpa talbityah maka tetap sah.
2. Imam Hanafi dan Imam Maliki
Talbiyah itu wajib. Tetapi mereka berbeda dalam penjelasannya.
a. Imam Hanafi: membaca talbiyah atau bacaan lain yang menggantinya seperti tasbih, dan memberikan kurban adalah salah satu syarat dari salah sau syarat ihram.
b. Ihram itu tidak batal dengan adanya senggang waktu yang lama antara talbiyah dan ihram. Ihram juga tidak batal jika tidak membaca talbiyah sama sekali. Namun orang yang meninggalkan harus membayar dam atau berkurban.
E. Haji Wanita
Para ulama’ madzhab sepakat bahwa wanita yang akan naik haji disyaratkn untuk mendapat izin dari suaminya, dan suaminya tidak boleh melarangnya. Para ulama’ berbeda pendapat tentang seorang wanita yang tidak mempunyai suami dan tidak pula muhrim yang menemaninya.
1. Imam Maliki dan Imam Syafi’i
Seorang muhrim dan suami bukanlah syarat wajib haji, baik perempuan itu masih muda atau sudah tua, bersuami atau tidak, karena muhrim itu hanya sebagai sarana untuk menjaga keamanannya bukan sebagai tujuan. Kewajiban melakukan haji itu harus aman bagi dirinya di dalam perjalanan. Kalau tidak aman berarti dia tidak mampu, sekalipun bersama muhrim.
2. Imam Hambali dan Imam Hanafi
Adanya suami atau muhrim itu merupakan syarat bagi wanita yang mau melaksanakan haji, sekalipun wanita tua, maka dia tidak boleh haji tanpa ditemani oleh suami atau muhrim. Hanya imam hanafi mensyaratkan bahwa tempat kediaman wanita itu dari makkah tidak lebih dari tiga hari.
F. Haji Yang Digantikan Oleh Orang Lain
Ulama madzhab sepakat dengan satu suara bahwa orang yang mampu nelaksanakan haji dan dapat memenuhi semua syarat-syaratnya, maka dia wajib melaksanakan haji secara langsung dan tidak boleh digantikannya kepada orang lain. Kalau digantikan pada orang lain, dia tidak mendapat pahala. Dia wajib melaksanakan haji sendiri. Dan kalau tidak melaksanakannya, kewjiban itu tidak gugur karena mati, sebab dia memiliki kemampuan dalam didang harta. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali: Dia wajib diminta upah sesuai dengan ongkos haji dari harta warisannya, kalau dia berwasiat untuk mengeluarkan ongkos haji.
Sedangkan menurut Imam Hanafi dan Imam Maliki: kewajiban haji itu gugur kalau dari segi fisik atau badan, tapi kalau dia berwasiat untuk mengeluarkan upah haji, maka ahli warisya harus mengeluarkan sepertiga dari upah haji, sebagaimana wasiat-wasit untuk kebaikan-kebaikan yang lain. Tapi kalau tidak berwasiat, kewajiban itu tidak wajib diganti.
BAB III
PENUTUP
Haji secara bahasa adalah menyengaja sesuatu. Sedangkan yang dimaksud haji secara istilah adalah sengaja mengunjunmgi Ka’bah (rumah suci untuk melakukan beberapa amalan ibadah, dengan syarat-syarat tertentu.
Ulama’ madzhab berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama dari ketiga haji tersebut:
a. Imam Syafi’I : Ifrad dan tamattu’ lebih utama dari qiran.
b. Imam Hanafi : Qiran lebih utama dari keduanya.
c. Imam Maliki : Ifrad lebih utama.
d. Imam Hambali : Tamattu’ lebih utama
Al fiqhu ‘ala madzahib arba’ah, al mughni, mizan al sya’roni dan fiqhu sunnah jilid 5), ulama’ madzhab sepakat bahwa barang siapa haji ifrad tidak diharuskan memberikan kurban. Tetapi bila memberikannya secara suka rela itu lebih baik.
Ulama’ madzhab berbeda pendapat tentang seseorang yang tidak diwajibkan haji karena tidak mampu, tetapi kemudian dia berusaha dengan sekuat tenaga dan bersusah payah, lalu haji dan kemudian dia memiliki kemampuan untuk naik haji.
a. Imam Maliki dan Imam Hanafi
Dia akan diberi pahala, dan tidak wajib melakukan haji lagi sekalipun dia telah mampu. (Al Fiqhu ‘Ala Madzahib Arba’ah).
b. Imam Hambali
Barang siapa yang meninggalkan hak, maka dia harus menunaikannya, seperti hak untuk membayar hutang. Dan jika dia naik haji, maka doa diberi pahala sesuai dengan kewajiban melaksanakan haji.
Para ulama’ madzhab sepakat bahwa talbiyah diperintahkan dalam ihram, tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah wajib atau sunnah, juga tentang waktunya.
a. Imam Syafi’i dan Imam Hambali
Talbiyah merupakan sunnah dan disunnahkan membacanya pada waktu ihram. Tetapi jiak berihram tanpa talbityah maka tetap sah.
b. Imam Hanafi dan Imam Maliki
Talbiyah itu wajib. Tetapi mereka berbeda dalam penjelasannya.
a. Imam Hanafi: membaca talbiyah atau bacaan lain yang menggantinya seperti tasbih, dan memberikan kurban adalah salah satu syarat dari salah sau syarat ihram.
b. Ihram itu tidak batal dengan adanya senggang waktu yang lama antara talbiyah dan ihram. Ihram juga tidak batal jika tidak membaca talbiyah sama sekali. Namun orang yang meninggalkan harus membayar dam atau berkurban.
DAFTAR PUSTAKA
Eli zabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, jilid 2, Jakarta: Erlangga,1999.
Agus Sujanto dan Halim Lubis dkk, Psikologi kepribadian (Jakarta: Aksara Bumi, 1980)
P. Deasylawati. Psikgirly (Surakarta : Afra Publishing, 2009)
Drs. Alex sobur, Msi, Psikologi Umum,Bandung: CV. Pustaka setia, 2003.
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Seperti yang kita ketahui, haji merupakan salah satu dari rukun islam. Ibadah haji dilaksanakan setiap satu tahun sekali yaitu mengunjungi Ka’bah (Baitullah) di Bakkah atau makkah bagi orang-orang yang mampu menjalankannya.
Sebagian besar umat islam di Indonesia menganut madzhab Syafi’i. jadi bisa dikatakan, bahwa aturan atau tata cara dalam pelaksanaan ibadah haji yang digunakan umat islam di Indonesia adalah sama. Tapi di makkah (baitullah) terdapat madzhab-madzhab lain yang dianut orang islam dari penjuru dunia yang melaksanakan ibadah haji. Untuk itu disini kami akan menjelaskan tentang perbedaan aturan atau tata cara melaksanakan ibadah haji menurut ulama’ madzhab.
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian haji menurut imam empat ?
2. Apa perbedaan-perbedaan ulama’ madzhab tentang pelaksanaan ibadah haji ?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Haji
Haji secara bahasa adalah menyengaja sesuatu. Sedangkan yang dimaksud haji secara istilah adalah sengaja mengunjunmgi Ka’bah (rumah suci untuk melakukan beberapa amalan ibadah, dengan syarat-syarat tertentu.
Firman Allah SWT surat ali-imran ayat 96-97:
96. Sesungguhnya rumah yang mula-mula dibangun untuk (tempat beribadat) manusia, ialah Baitullah yang di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua manusia[214].
97. Padanya terdapat tanda-tanda yang nyata, (di antaranya) maqam Ibrahim[215]; barangsiapa memasukinya (Baitullah itu) menjadi amanlah Dia; mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang sanggup mengadakan perjalanan ke Baitullah [216]. barangsiapa mengingkari (kewajiban haji), Maka Sesungguhnya Allah Maha Kaya (Tidak memerlukan sesuatu) dari semesta alam.
[214] ahli Kitab mengatakan bahwa rumah ibadah yang pertama dibangun berada di Baitul Maqdis, oleh Karena itu Allah membantahnya.
[215] ialah: tempat nabi Ibrahim a.s. berdiri membangun Ka'bah.
[216] yaitu: orang yang sanggup mendapatkan perbekalan dan alat-alat pengangkutan serta sehat jasmani dan perjalananpun aman.
Dari ayat diatas diartikan haji adalah mengunjungi makkah untuk mengerjakan ibadah thowaf, sa’I, wuquf di arafah dan ibadah-ibadah lain unuk memenuhi perintah allah dan mengharap keridhaan-nya. Dan ia merupakan salah satu dari rukun islam dan suatu kewajiban yang dapat diketahui tanpa memerlukan pemikiran lagi. Seandainya ada yang menyangkal hokum wajibnya, berarti ia telah kafir dan murtad dari agama islam.
B. Macam-macam Haji
Macam- macam haji ada tiga macam:
1. Haji Ifrad
Yaitu haji dimana jama’ah mendahulukan haji dan setelah selesai dari amalan-amalan haji, ia melakukan ihram untuk umrah, kemudian melakukan amalan-amalan umrah.
2. Haji Qiran
Yaitu jama’ah haji melakukan ihram untuk umrah dan haji secara bersamaan dengan mengatakan kalimat talbiyah.
3. Haji Tamattu’
Yaitu jama’ah melakukan umrah terlebih dahulu pada bulan-bulan haji, setelah selesai kemudian melaksanakan amalan-amalan haji.
Para ulama’madzhab tidak ada perbedaan tentang macam-macam haji, mereka sepakat dengan macam-macam haji yang tersebut diatas. Ulama’ madzhab tersebut juga mengatakan “boleh bagi siapa saja, baik orang makkah atau non makkah, untuk memilih salah satu dari keiga macam haji tersebut tidak ada yang dimakruhkan. Hanya Abu Hanifah yang berpendapat “hanya bagi orang makkah dimakruhkan melaksanakan haji tamatu’ dan qiran secara bersamaan. Tetapi ulama’ madzhab berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama dari ketiga haji tersebut:
a. Imam Syafi’I : Ifrad dan tamattu’ lebih utama dari qiran.
b. Imam Hanafi : Qiran lebih utama dari keduanya.
c. Imam Maliki : Ifrad lebih utama.
d. Imam Hambali : Tamattu’ lebih utama
Al fiqhu ‘ala madzahib arba’ah, al mughni, mizan al sya’roni dan fiqhu sunnah jilid 5), ulama’ madzhab sepakat bahwa barang siapa haji ifrad tidak diharuskan memberikan kurban. Tetapi bila memberikannya secara suka rela itu lebih baik.
C. Syarat-syarat Haji
1. Baligh
Anak kecil tidak diwajibkan melaksanakan haji, baik yang sudah mumayyis atau belum mumayyis. Kalau sudah mumayyis ia naik haji, maka sah hajinya, tetapi pelaksanaan haji pada waktu itu merupakan sunnah dan kewajiban untuk melaksanakan haji tidak gugur. Dan setelah baligh dan bisa atau mampu melaksanakan haji lagi, menurut kesepakatan ulama’ madzhab, karena melaksanakan haji sebelum baligh.
Bagi wali anak kecil yang belum mumayis boleh pergi haji bersamanya. Maka dia harus memakaikan pakaian ihram, dan harus mengajarinya talbiah sebaik-baiknya, . jika tidak bisa, maka dia harus menggantinya dalam talbiah dan menjauhkannya dari hal-hal yang diharamkan saat haji, memerintahnya untuk melakukan sebisa mungkin secara langsung, dan harus mewakilinya terhadap amalan-amalan haji yang tidak bisa dilaksanakan anak kecil tersebut.
Ada perbedaan antara ulama’ sah tidaknya haji anak kecil dengan izin walinya dan anak kecil yang sudah baligh tapi belum melaksanakan wukuf :
1. Imam Abu Hanifah
Haji anak kecil tidak bisa dianggap sah, sekalipun sudah mumayyis, baik diizinkan walinya atau tidak, sama saja. karena tujuan haji bagi anak keci litu semata-mata untuk latihan. (Fatkhul bari, al mughni dan al tadzkirah).
2. Imam Hambali dan Imam Syafi’i
Jika anak kecil itu sudah baligh tapi belum melaksanakan wukuf, maka dia diberi pahala sesuai dengan haji dalam islam.
3. Imam Maliki
Kalau dia memperbaiki ihramnya, maka dia diberi pahala. Jika tidak, maka dia tidak diberi pahala. Artinya dia harus melaksanakan haji lagi. (Al Tadzkirah).
2. Berakal
orang gila sebenarnya tidak mempunyai beban atau bukan seorang mukallaf. Kalau dia melaksanakan haji dan apat melaksanakan kewajiban orang yang berakal, maka hajinya itu tidak diberi pahala, sekalipun pada waktu itu akal sehatnya kembali padanya. Tapi jika gilanya itu musiman dan bisa sembuh sekitar pelaksanaan haji, sampai melaksanakan amalan-amalan dan syarat-syarat haji dengan sempurna, maka dia wajib melaksanakannya. Tapi kalau diperkirakan waktu sadarnya itu tidak cukup untuk melaksanakan semua kegiatan-kegiatan haji, maka kewajiban itu gugur.
Dalam hal ini kami tidak menemukan perbedaan pendapat diantara ulama’ madzhab, jadi dapat diambil benang merah bahwa para ulama’ madzhab sepakat dengan pendapat ini.
3. Bisa atau mampu
secara sepakat para ulama’ madzhab meneyapkan bahwa bisa atau mampu itu merupakan syarat keajiban haji. Kesepakatan ini didasarkan pada firman allah swt yang artinya :
“orang yang sanggup menjalankan perjalanan kepadanya.”
(QS. Ali-Imran 97)
Tetapi ulama’ madzhab berbeda pendapat tentang arti bisa atau mampu itu. Dalam hadits dijelaskan definisi mampu atau bisa seperti berikut :
“dengan bekal dan ada angkutan atau kendaraan.”
Maksudnya adalah memiliki biaya untuk pergi ke makkah dan pulang ke Negara asalnya dan semua kebutuhan lainnya. Dengan syarat semuanya itu melebihi hutang-hutangnya dan kebutuhan keluarganya serta kebutuhan-kebutuhan lain untuk hidup di negaranya. Bersama dengan itu juga harus ada rasa aman baik untuk dirinya, hartanya maupun untuk kehormatannya. Tak ada seorangpun dari ulama’ madzhab yang berbeda, kecuali Imam Maliki.
Menurut Imam Maliki, barang siapa yang mampu berjalan, maka dia wajib haji, sebagaimana diwajibkan untuk memberikan nafkah kepada sanak saudaranya dan keluarganya, tidak terkecuali. Dia wajib menjual apa saja untuk haji, baik berupa alat-alat mata pecahariannya dari bumi, binatang ternak maupun alat-alat lainnya, bahkan sampai buku-buku dan hiasan-hiasan yang dipakainya.
Ulama’ madzhab berbeda pendapat tentang seseorang yang tidak diwajibkan haji karena tidak mampu, tetapi kemudian dia berusaha dengan sekuat tenaga dan bersusah payah, lalu haji dan kemudian dia memiliki kemampuan untuk naik haji.
1. Imam Maliki dan Imam Hanafi
Dia akan diberi pahala, dan tidak wajib melakukan haji lagi sekalipun dia telah mampu. (Al Fiqhu ‘Ala Madzahib Arba’ah).
2. Imam Hambali
Barang siapa yang meninggalkan hak, maka dia harus menunaikannya, seperti hak untuk membayar hutang. Dan jika dia naik haji, maka doa diberi pahala sesuai dengan kewajiban melaksanakan haji.
D. Rukun-rukun Haji
1. Ihram yang disertai dengan niat menunaikan haji.
2. Wukuf di tanah Arafah.
3. Thowaf di Baitullah sebanyak 7 kali putaran.
4. Sa’i diantara Shofa dan Marwa sebanyak 7 kali.
Ulama’ madzhab sepakat bahwa orang yang akan melakukan ihram, disunnahkan untuk membersihkan badannya, memotong kukunya, mencukur kumisnya dan mandi walau pada perempuan haid dan nifas, karna tujuannya adalah kebersihan. Disunnahkan juga untuk melebatkan rambutnya dari awal bulan dzulqa’dahbila hendak melakukan haji tamattu’, dan disunnahkan pula untuk membuang ranbut yang ada di badannya dan di ketiaknya, melakukan ihram setelah dzuhur atau pada waktu shalat-shalat lainnya. Disunnahkan pula shalat ihram enam raka’at, empat raka’at atau dua raka’at paling sedikitnya bersuci dari hadats tidak menjadi syarat sahnya ihram.
Dalam hal ini ada perbedaan pendapat diantara ulama’ madzhab sebagai berikut:
1. Imam Hanafi dan Imam Maliki
Kalau tidak ada air, maka gugurlah sunnah mandi itu, dan tidak diperintahkan untuk bertayamum sebagai penggantinya.
2. Imam Hambali dan Imam Syafi’i
Kalau tidak ada air, maka harus bertayamum sebagai pengganti mandi.
Para ulama’ madzhab sepakat bahwa talbiyah diperintahkan dalam ihram, tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah wajib atau sunnah, juga tentang waktunya.
1. Imam Syafi’i dan Imam Hambali
Talbiyah merupakan sunnah dan disunnahkan membacanya pada waktu ihram. Tetapi jiak berihram tanpa talbityah maka tetap sah.
2. Imam Hanafi dan Imam Maliki
Talbiyah itu wajib. Tetapi mereka berbeda dalam penjelasannya.
a. Imam Hanafi: membaca talbiyah atau bacaan lain yang menggantinya seperti tasbih, dan memberikan kurban adalah salah satu syarat dari salah sau syarat ihram.
b. Ihram itu tidak batal dengan adanya senggang waktu yang lama antara talbiyah dan ihram. Ihram juga tidak batal jika tidak membaca talbiyah sama sekali. Namun orang yang meninggalkan harus membayar dam atau berkurban.
E. Haji Wanita
Para ulama’ madzhab sepakat bahwa wanita yang akan naik haji disyaratkn untuk mendapat izin dari suaminya, dan suaminya tidak boleh melarangnya. Para ulama’ berbeda pendapat tentang seorang wanita yang tidak mempunyai suami dan tidak pula muhrim yang menemaninya.
1. Imam Maliki dan Imam Syafi’i
Seorang muhrim dan suami bukanlah syarat wajib haji, baik perempuan itu masih muda atau sudah tua, bersuami atau tidak, karena muhrim itu hanya sebagai sarana untuk menjaga keamanannya bukan sebagai tujuan. Kewajiban melakukan haji itu harus aman bagi dirinya di dalam perjalanan. Kalau tidak aman berarti dia tidak mampu, sekalipun bersama muhrim.
2. Imam Hambali dan Imam Hanafi
Adanya suami atau muhrim itu merupakan syarat bagi wanita yang mau melaksanakan haji, sekalipun wanita tua, maka dia tidak boleh haji tanpa ditemani oleh suami atau muhrim. Hanya imam hanafi mensyaratkan bahwa tempat kediaman wanita itu dari makkah tidak lebih dari tiga hari.
F. Haji Yang Digantikan Oleh Orang Lain
Ulama madzhab sepakat dengan satu suara bahwa orang yang mampu nelaksanakan haji dan dapat memenuhi semua syarat-syaratnya, maka dia wajib melaksanakan haji secara langsung dan tidak boleh digantikannya kepada orang lain. Kalau digantikan pada orang lain, dia tidak mendapat pahala. Dia wajib melaksanakan haji sendiri. Dan kalau tidak melaksanakannya, kewjiban itu tidak gugur karena mati, sebab dia memiliki kemampuan dalam didang harta. Menurut Imam Syafi’i dan Imam Hambali: Dia wajib diminta upah sesuai dengan ongkos haji dari harta warisannya, kalau dia berwasiat untuk mengeluarkan ongkos haji.
Sedangkan menurut Imam Hanafi dan Imam Maliki: kewajiban haji itu gugur kalau dari segi fisik atau badan, tapi kalau dia berwasiat untuk mengeluarkan upah haji, maka ahli warisya harus mengeluarkan sepertiga dari upah haji, sebagaimana wasiat-wasit untuk kebaikan-kebaikan yang lain. Tapi kalau tidak berwasiat, kewajiban itu tidak wajib diganti.
BAB III
PENUTUP
Haji secara bahasa adalah menyengaja sesuatu. Sedangkan yang dimaksud haji secara istilah adalah sengaja mengunjunmgi Ka’bah (rumah suci untuk melakukan beberapa amalan ibadah, dengan syarat-syarat tertentu.
Ulama’ madzhab berbeda pendapat tentang mana yang lebih utama dari ketiga haji tersebut:
a. Imam Syafi’I : Ifrad dan tamattu’ lebih utama dari qiran.
b. Imam Hanafi : Qiran lebih utama dari keduanya.
c. Imam Maliki : Ifrad lebih utama.
d. Imam Hambali : Tamattu’ lebih utama
Al fiqhu ‘ala madzahib arba’ah, al mughni, mizan al sya’roni dan fiqhu sunnah jilid 5), ulama’ madzhab sepakat bahwa barang siapa haji ifrad tidak diharuskan memberikan kurban. Tetapi bila memberikannya secara suka rela itu lebih baik.
Ulama’ madzhab berbeda pendapat tentang seseorang yang tidak diwajibkan haji karena tidak mampu, tetapi kemudian dia berusaha dengan sekuat tenaga dan bersusah payah, lalu haji dan kemudian dia memiliki kemampuan untuk naik haji.
a. Imam Maliki dan Imam Hanafi
Dia akan diberi pahala, dan tidak wajib melakukan haji lagi sekalipun dia telah mampu. (Al Fiqhu ‘Ala Madzahib Arba’ah).
b. Imam Hambali
Barang siapa yang meninggalkan hak, maka dia harus menunaikannya, seperti hak untuk membayar hutang. Dan jika dia naik haji, maka doa diberi pahala sesuai dengan kewajiban melaksanakan haji.
Para ulama’ madzhab sepakat bahwa talbiyah diperintahkan dalam ihram, tetapi mereka berbeda pendapat tentang hukumnya, apakah wajib atau sunnah, juga tentang waktunya.
a. Imam Syafi’i dan Imam Hambali
Talbiyah merupakan sunnah dan disunnahkan membacanya pada waktu ihram. Tetapi jiak berihram tanpa talbityah maka tetap sah.
b. Imam Hanafi dan Imam Maliki
Talbiyah itu wajib. Tetapi mereka berbeda dalam penjelasannya.
a. Imam Hanafi: membaca talbiyah atau bacaan lain yang menggantinya seperti tasbih, dan memberikan kurban adalah salah satu syarat dari salah sau syarat ihram.
b. Ihram itu tidak batal dengan adanya senggang waktu yang lama antara talbiyah dan ihram. Ihram juga tidak batal jika tidak membaca talbiyah sama sekali. Namun orang yang meninggalkan harus membayar dam atau berkurban.
DAFTAR PUSTAKA
Eli zabeth B. Hurlock, Perkembangan Anak, jilid 2, Jakarta: Erlangga,1999.
Agus Sujanto dan Halim Lubis dkk, Psikologi kepribadian (Jakarta: Aksara Bumi, 1980)
P. Deasylawati. Psikgirly (Surakarta : Afra Publishing, 2009)
Drs. Alex sobur, Msi, Psikologi Umum,Bandung: CV. Pustaka setia, 2003.
Langganan:
Postingan (Atom)