Pendidikan
Untuk Memanusiakan Manusia
Pendidikan
yang sungguh-sungguh membebaskan takkan berjarak dari kaum tertindas, takkan
memperlakukan mereka sebagai orang-orang yang tak beruntung, serta menyuguhi
kaum tertindas itu model panutan dari antara kaum penindas. Pendidikan yang
berawal dari kepentingan-kepentingan egoistis para penindas (egoisme yang
berjubah kedermawanan palsu, pakni paternalisme), yang membuat kaum tertimdas
jadi objek-objek humanitarianisme, melestarikan dan memapankan penindasan. Pendidikan
seperti itu adalah alat mendehumanisasi manusia. (Freire, 1999:444)
Sebuah realita yang sudah menjadi
tradisi dikalangan pendidikan kita dan merupakan suatu kewajaran, bila guru
menginginkan muridnya untuk mendapatkan nilai tinggi. Namun sangat disayangkan,
apabila seorang guru memaksakan muridnya untuk mendapatkan nilai tinggi. Sedangkan,
paksaan tersebut tidak dilandasi dengan kemampuan seorang guru untuk memahami
atas kemampuan muridnya. Akhirnya, ketika salah satu muridnya tidak menuruti
kemauan gurunya, giliran guru memarahi dan menghukum murid. Sudahkan guru
mengevaluasi, kenapa murid-muridnya tidak menuruti kemauannya? Sudahkan guru
mengetahui keinginan dan kemampuan muridnya?
Perlu disadari,
perkembangan seorang murid jelas memiliki kapabilitas yang berbeda antara
sesama murid lainnya. Ada kalanya murid suka dengan suasana belajar yang penuh
dengan puzzle, café-café learning, describing picture, atau lain sebagainya dan
ada yang tidak suka dengan hal itu semua.
Bukan hanya
kesukaan murid terhadap suasana belajar saja, tetapi terhadap mata pelajaran
pun akan sama. Hal seperti ini, tentu guru harus benar-benar menyadari
dan mengevaluasi atas tipe murid seperti contoh tersebut. Tugas guru, yang notabene sebagai
seorang pendidik (educatif), pembimbing, dan pengajar (transfer of knowledge)
serta pengawas (keeping) atas kondisi jiwa muridnya.
Seperti inilah
guru yang sewajarnya (ideal). Tidak akan ada murid yang merasa takut dengan salah
satu atau bahkan semua guru yang mengajarnya. Dan guru pun akan menyadari bahwa
murid-muridnya memiliki keunikan sendiri-sendiri. Kekerasan, pemaksaan atau
sikap lain yang tidak sepantasnya dilakukan di dunia pendidikan akan lebih
terminimalisir untuk terulang.
Sebagai pihak
yang lebih dahulu dalam mengenyam pendidikan. Tentu kita
merasakan bagaimana pendidikan kita saat ini. Dunia pendidikan sudah melupakan
bahwa yang menikmati pendidikan adalah manusia. Sadar atau tidak, pendidikan
selain untuk mencerdaskan bangsa, juga membatu untuk mendewasakan bangsa,
sehingga bangsa bisa memiliki karakter yang berpendidikan moral.
Secara mendasar,
pendidikan ada karena ada manusia. Oleh karena itu, pendidikan ada hanya untuk
manusia, bukan untuk hewan atau sejenisnya. Hal mendasar seperti inilah yang perlu
kita catat di kepala kita, khususnya bagi mereka yang menjadi seorang guru dan
umumnya adalah kita. Sebab, kita sering kali melupakan bahwa orang yang menjadi
amanat kita adalah manusia yang memiliki keragam dan keseragaman yang begitu
kompleks.
Robot Pendidikan
Merupakan sebuah
realita ketika murid dianggap sebagai sebuah robot. Murid yang masuk pada salah
satu sekolah yang sudah memiliki visi, misi dan tujuan. Seketika itu, pemilik
lembaga langsung men-set up semau lembaga mereka. Murid adalah manusia, ia
bukanlah robot yang terbuat dari bahan-bahan mekanik yang mudah di-setting
untuk mengerjakan perintah-perintah, diarahkan semaunya dan sebagainya.
Pendidikan adalah
untuk manusia, begitu juga sekolah adalah sekolahnya manusia. Jadi, lembaga
pendidikan seharusnya mengantarkan kemauan atau cita-cita muridnya, bukan sebaliknya
murid mengantarkan kemauan atau cita-cita sekolah. Pada akhirnya, semua murid yang
masuk pada lembaganya, langsung di-make up lembaga untuk siap tanding melawan pesaing-pesaing
dari lembaga pendidikan lainnya atau untuk menjadi jagoan di bidang mata pelajatan
agar citra lembaga pendidikan terangkat.
Boleh saja suatu
lembaga memiliki cita-cita seperti itu, namun yang patut diketahui oleh pengelola
lembaga bahwa lembaga pendidikan harus dapat memberikan konstribusi dalam menghantarkan
cita-cita muridnya. Sebab, tidak semuanya murid dapat nyaman dan bisa untuk menuruti
kemauan lembaga.
Otoritas seorang
guru memaksakan murid untuk menjadi pandai bukanlah sebuah kewajiban yang utama,
melainkan kewajiban seorang guru adalah bagaimana guru dapat menyampaikan
pengetahuannya dengan baik, sehingga murid yang mereka hadapi memahami
pelajaran-pelajaran yang ia sampaikan.
Seorang guru
tidak selalu dibutuhkan, ia yang pandai dalam bidang keilmuan, ia yang juara
semasa studinya dan lainya. Tetapi juga, guru harus bisa memandaikan,
mencerdaskan dan mendewasakan muridnya. Tidak jarang, guru yang lulusan luar
negeri dan berpengatahuan banyak tetapi ketika ia mengajar di sekolah tetap
saja tidak disukai murid-muridnya, karena tidak dapat mengajar dengan baik.
Tatkala
pentingnya kapabilitas mengajar seorang guru sangat dinomorsatukan dalam
pendidikan, sebab ketidakmampuan guru dalam mengajar sama halnya membodohkan
murid, atau kata lainya adalah pembodohan. Walhasil, cermatan-cermatan sebagai
bahan referensi berpijak lebih jauh yang akan lebih baik semoga tetap tercapai.
Sebagai upaya mencerdaskan dan mendewasakan penerus bangsa, peran lembaga
pendidikan yang baik dan benar berdasarkan landasan filsafat pendidikan perlu kita
ulas kembali, guna kebenaran atas pendidikan untuk manusia.. Majulah
pendidikan kita.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar