Minggu, 31 Oktober 2010

Umar Bin Khottob
Umar bin Khtttab adalah salah seorang sahabat nabi dan khalifah kedua setelah wafatnya Abu Bakar As-Sidiq. Jasa dan pengaruhnya terhadap penyebaran Islam sangat besar hingga Michael H. Heart menempatkannya sebagai orang paling berpengaruh nomor 51 sedunia sepanjang masa.
Beliau lahir di Mekah dari Bani Adi, salah satu rumpun suku Quraisy dengan nama lengkap Umar bin Khattab bin Nafiel bin abdul Uzza. Keluarga Umar tergolong keluarga kelas menengah, ia bisa membaca dan menulis yang pada masa itu merupakan sesuatu yang jarang. Umar juga dikenal karena fisiknya yang kuat dimana ia menjadi juara gulat di Mekkah.

Umar tumbuh menjadi pemuda yang disegani dan ditakuti pada masa itu. Wataknya yang keras membuatnya mendapat julukan “Singa Padang Pasir”. Ia juga amat keras dalam membela agama tradisional bangsa Arab yang menyembah berhala serta menjaga adat-istiadat mereka. Bahkan putrinya dikubur hidup-hidup demi menjaga kehormatan Umar.
Dikatakan bahwa pada suatu saat, Umar berketetapan untuk membunuh Muhammad SAW. Saat mencarinya, ia berpapasan dengan seorang muslim (Nu’aim bin Abdullah) yang kemudian memberi tahu bahwa saudara perempuannya juga telah memeluk Islam. Umar terkejut atas pemberitahuan itu dan pulang ke rumahnya.
Di rumah Umar menjumpai bahwa saudaranya sedang membaca ayat-ayat Al Qur’an (surat Thoha), ia menjadi marah akan hal tersebut dan memukul saudaranya. Ketika melihat saudaranya berdarah oleh pukulannya ia menjadi iba, dan kemudian meminta agar bacaan tersebut dapat ia lihat. Ia kemudian menjadi sangat terguncang oleh isi Al Qur’an tersebut dan kemudian langsung memeluk Islam pada hari itu juga.
Sebagai seorang petinggi militer dan ahli siasat yang baik, Umar sering mengikuti berbagai peperangan yang dihadapi umat Islam bersama Rasullullah Saw. Ia ikut terlibat pada perang Badar, Uhud, Khaybar serta penyerangan ke Syria.
Setelah wafatnya Rasullullah Saw., beliau merupakan salah satu shabat yang sangat terpukul dengan kejadian tersebut. Ia bahkan pernah mencegah dimakamkannya Rasullullah karena yakin bahwa nabi tidaklah wafat, melainkan hanya sedang tidak berada dalam tubuh kasarnya, dan akan kembali sewaktu-waktu. Namun setelah dinasehati oleh Abu Bakar, Umar kemudian sadar dan ikut memakamkan Rasullullah.
Pada masa Abu Bakar menjabat sebagai khalifah, Umar merupakan salah satu penasehat kepalanya. Kemudian setelah meninggalnya Abu Bakar pada tahun 634, atas wasiat Abu Bakar Umar ditunjuk menggantikannya dan disetujui oleh seluruh perwakilan muslim saat itu.
Selama masa jabatannya, khalifah Umar amat disegani dan ditakuti negara-negara lain. Kekuatan Islam maju pesat, mengambil alih Mesopotamia dan sebagian Persia dari tangan dinasti Sassanid dari Persia (yang mengakhiri masa kekaisaran sassanid) serta mengambil alih Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara dan Armenia dari kekaisaran Romawi (Byzantium).
Umar dikenal dari gaya hidupnya yang sederhana, alih-alih mengadopsi gaya hidup dan penampilan para penguasa di jaman itu, ia tetap hidup sebagaimana saat para pemeluk Islam masih miskin dan dianiaya. Pada sekitar tahun ke 17 Hijriah, tahun keempat kekhalifahannya, Umar mengeluarkan keputusan bahwa penanggalan Islam hendaknya mulai dihitung saat peristiwa hijrah.
Umar syahid setelah ditikam oleh Abu Lukluk, seorang budak asal Persia yang dendam atas kekalahan Persia terhadap Islam pada suatu subuh saat Umar sedang mengerjakan shalat. Umar meninggal pada 25 Dzulhijjah 23 H dan selanjutnya digantikan oleh Utsman bin Affan.
http://kolom-biografi.blogspot.com/2009/01/biografi-umar-bin-khtttab.html
Diarsipkan di bawah: Teladan — masjidalkhoir @ 3:32 am
… syetan tidak akan mampu menghalangi jalanmu.(hadits)

Lahir 40 tahun sebelum hijrah Rasulullah. Nama lengkapnya Umar bin Khottob bin Nafail bin Abdul ‘Izzy al-Qursy. Nama pangilannya adalah Abu Hafsh (anak singa). Ayahnya, al-Khottob bin Nufail al-Adwy adalah seorang yang gagah berani. Ibunya, Hantamah binti Hasyim bin al-Mughiroh. Gelarnya al-Faaruq (pembeda/pemisah antara yang benar dengan yang batil). Pada masa jahiliyah menikah dengan kerabat dekatnya, Ummu Kultsum binti Jaruul. Sesudah masuk Islam, menikah dengn Zaenab bin Ma’dhun, Ummu Kultsum binti Ali ra., Jamilah binti Tsabit, Ummu Hakim binti al-Harits, ‘Atakah binti Zaid, Sabi’ah binti al-Harits. Dari perkawinannya lahir 12 anak. 6 anak laki-laki; Abdullah, Abdurrahman, Zaid, Ubaidillah, ‘Ashim dan ‘Iyadh. 7 anak perempuan; Hafsah,Roqiyah, Fatimah, Shofiyah, Zainab dan Ummul Walid.
Beliau memeluk Islam pada tahun ke-enam dari kenabian Muhammad SAW pada waktu berumur 27 tahun. Dari Ibn Umar diceritakan bahwa Rasulullah berdo’a, “Ya Allah muliakan Islam dengan salah satu dari orang yang lebih Engkau cintai; Abu Jahal atau Umar bin Khottob.” “Dan orang yang paling Allah cintai adalah Umar bin Khottob” kata Rasulullah (HR.Ahmad). Sebab beliau orang pertama yang menyatakan secara terang-terang keislamannya.
Semasa remaja, beliau terkenal sangat keras dan kuat pendirianya di kalangan kaum Quraisy. Pandai membaca dan menulis. Di masa jahiliyah beliau juga dikenal sebagai duta besar dan sangat disegani. Mengenai pribadinya, as-Syifa’ binti Abdullah berkata; “Kalau sudah bicara, suaranya terdengar kemana-mana, kalau jalan cepat, kalau mukul buat orang sakit. Sesunguhnya beliau adalah seorang ahli ibadah (an-naasik).”
Dalam sejarah Islam permulaan tahun dan penanggalan dimulai dari peristiwa hijrahnya Rasulullah dari Mekkah ke Madinah.
Sebelum masuk Islam, beliau adalah orang yang sangat benci dan menentang Islam. Maklum, beliau adalah orang yang disegani di kalangan Quraisy karena wataknya yang keras dan susah kompromi. Disamping itu beliau adalah ‘ikon pejuang’ kebanggaan sukunya. Konon ceritanya “sekiranya keledai Umar masuk Islam, tidak mungkin Umar akan ikut masuk Islam.”
Sejarah masuknya Umar dalam ajaran Islam sangatlah unik dan menarik. Disebutkan bahwa suatu hari Umar sedang jalan. Tiba-tiba terdengar suara orang mengaji al-Qur’an. Didatangilah suara aneh itu. Maklum suara itu belum pernah didengarnya sebalum itu. Sampailah Umar ke sumber suara itu. Ternyata dilihatnya Khobab bin ar-Art sedang mengajari ngaji Fatimah, saudaranya. Seketika Umar wajahnya sangat geram dan memukul Fatimah. Umar meminta supaya mushaf itu diberikannya. Tapi Fatimah menolaknya kecuali dengan syarat kalau Umar sudah bersuci dulu. Lalu Umar pun memenuhi syarat itu. Umar pun kemudian bersuci dengan mandi. Setelah itu dibacanya mushaf al-Qur’an itu. Waktu itu yang dibaca surat Thoha. Tanpa disadari Allah telah membukakan hatinya. Kemudian Umar pergi ke rumah al-Arqom bin ar-Arqom dan menyatakan masuk Islam di depan Rasulullah tiga hari setelah Hamzah bin Abdul Mutholib masuk Islam. Menurut pendapat yang masyhur, beliau masuk Islam pada tahun ke-6 kenabian Muhammad. Orang nomer 40 dalam urutan orang-orang yang masuk Islam. Masuknya Umar dalam ajaran Islam adalah bukti dari kecintaan dan kemulian Allah. Begitu juga jawaban atas do’a yang pernah dibacakan Rasulullah. Suatu ketika Rasulullah pernah berdoa; “Ya Allah, tinggikan dan muliakan Islam salah satu dari orang yang paling Engkau cinta; Abu Jahal danUmar bin Khotob.” (HR.at-Tirmidhi,hadits hasan sohih ghorib). Masuknya Umar dalam barisan orang-orang Islam waktu itu merupakan kegembiraan dan menjadi penyemangat bagi yang lain. Sebab beliau diantara orang yang berpengaruh di kaumnya. Maka dengan masuknya Islam, sedikit banyak mempengaruhi ‘imej’ masyarakat. Dalam hal ini Ibn Mas’ud berkata; “Kami masih tetap menjadi mulia sejak Umar masuk Islam.” Mengenai keislamanya Rasulullah berkata; “Sesunguhnya Allah telah menjadi kebanaran agama (Islam) melalui lisan/ucapan Umar dan (keteguhan) hatinya”(HR.Tirmidhi). Di hadits lain disebutkan; “ Dahulu kala umat-umat sebelum kalian mempunyai pahlawan yang selalu menjadi buah bibir (pembicaraan), sekiranya umatku dibandingkan dengan umat-umat terdahalu, maka Umar bin Khotob pahlawannya (HR.Bukhori). Mengenai pribadinya Rasulullah berkata; “Demi Jiwaku yang ada di genggam-Nya, syetan tidak akan mungkin dapat menghalangi jalanmu, melainkan jalan orang selain kamu” (HR. Bukhori).
Ada enam perkara yang diusulkan Umar hingga akhirnya turun wahyu membenarkan usulannya itu. Pertama mengenai haramnya khomer. Maka turunlah ayat larangan minum khomer. Kedua; usulan supaya tawanan perang Badr dibunuh dan tidak boleh menerima tebusan darinya. Maka turunlah ayat yang menguatkan pendapatnya itu. Ketiga; usulan supaya istri-istri Rasulullah memakai hijab (kerudung). Maka turunlah ayat yang memerintahkan memakai hijab. Keempat, usulan supaya orang-orang munafik yang meninggal tidak usah disholati. Maka turunlah ayat yang melarang sholat mayit untuk orang-orang munafik. Kelima, usulan untuk melakukan sholat di maqom (tempat) Ibrahim. Maka turunlah ayat yang memerintahkan sholat di maqom Ibrahim. Keenam, ketika istri-istri saling cemburu terhadap Rasulullah, Umar berkata; “Semoga saja Tuhannya menganti istri-istri yang lebih baik dari kalian sekiranya memang menceraikan kalian.” Dari situlah turun surah at-Tahrim dan menjadi bagian dari ayat-ayatnya. Begitupula diantara pendapatnya adalah memarangi orang-orang yang murtad dan menunda memerangi orang-orang yang engan membayar zakat karena kondisi negara yang sangat lemah. Tetapi pendapatnya itu ditolak Abu Bakar. Akhirnya pun Umar menerima pendapat Abu Bakar setelah Allah memberikan pencerahan dalam hatinya.
Setelah wafatnya Rasulullah, beliau orang yang pertama membaiat Abu Bakar menjadi kholifah. Sebelum wafatnya Abu bakar, kholifah pertama, beliau pernah mencalonkan Umar untuk mengantikannya. Setelah dipilih menjadi kholifah, pertama-tama yang dilakukan adalah memerangi orang-orang murtad (keluar dari Islamm) hingga para tawanan tidak menjadi cacat dan cela bagi bagi bangsa Arab. Pada masa kekholifannya, beliau berhasil mentaklukan Syam (Syiria), Irak, Persia (Iran), Mesir, Barqoh, Barat Tripolis, Azarbaijan, Nahawan dan Jarjan. Begitu juga pada masanya dibangun kota Kuffah, Basroh dan Fustat (kota Mesir kuno). Beliau adalah sosok yang sangat penyayang dengan rakyatnya dan penuh perhatian terhadap kepentingan rakyatnya. Diceritakan bahwa beliau datang menjumpai rakyatnya dengan menyamar sebagai orang biasa. Beliau ingin mendengar langsung keluhan rakyat dan memenuhi kebutuhannya. Dengan cara ini, beliau ingin mengajarkan kepada umat Islam bahwa penguasa adalah pembantu rakyat. Hidupnya didedikasikan dan curahkan untuk membantu rakyat.
Sebelum wafatnya, beliau pernah mimpi melihat seekor ayam jago mematuk tubuhnya. Mimpi itu ditakwilkan bahwa ajalnya sudah dekat. Tidak lama sesudah mimpi itu, tepatnya tahun 23 H, ketika sedang sholat subuh, Abu Lukluk al-Fairuz menikam tubuhnya dengan pisau. Abu Lukluk adalah anak al-Mughiroh bin Syu’bah, orang persia yang beragama Majusi. Lukanya cukup parah hingga hanya bertahan tiga hari. Dan setelah itu wafat sebagai seorang syahid yang berjuang di jalan Allah. Selama menahan sakit akibat tikaman pisau, beliau memilih dan merekomendasi 6 sahabat supaya kaum muslimin memilih satu diantara calon kholifah itu. Akhirnya terpilihlah Utsman sebagai pengantinya.
Beliau dimakamkan di kamar Aisyah berdampingan dengan makan Rasulullah dan Abu Bakar. Masa kekhalifahnya 10 tahun,6 bulan dan 4 hari. Umur beliau ketika wafat 63 tahun seperti umur Rasulullah dan Abu Bakar ketika wafat.
Diantara prestasi selama menjadi kholifah yaitu membuat pembukuan mengenai anggaran negara dan pengunaan alat-alat negara untuk dipertanggungjawabkan di depan rakyat. Hingga kemudian melahirkan undang-undang pengunaan alat negara (min aina hadha?). Dalam sejarah Islam, beliau orang pertama yang mengunakan penanggakan Hijriah, orang pertama yang digelari Amirul Mukminin, orang pertama yang berjalan kaki untuk menjenguk rakyatnya pada waktu malam, orang pertama kali yang mengadakan muktamar para penguasa dan pemimpin kaum pada musim tertentu, orang pertama kali yang mengunakan mutiara untuk perhiasan, orang pertama yang melakukan sholat tarawih dengan berjamaah, orang pertama yang menghidupkan malam-malam ramadhan, orang pertama yang melakukan sholat jenazah berjamaah dengan 4 takbir, orang pertama yang memberi hadiah untuk penghafal al-Qur’an, orang pertama yang menjadikan khilafah sebagai lembaga musyawarah. Disamping itu beliau juga menyuruh umat Islam (waktu itu) untuk melakukan sholat sunnah tarawih di bulan Ramadhan secara berjama’ah dengan tujuan untuk mengeratkan ukhuwah dan menjaga syiar agama.
Diantara nasehat dan petuahnya;
“Suatu perkara akan menjadi baik jika memenuhi tiga hal; melaksanakan amanah, memberi contoh dan menghukumi dengan hukum Allah.”
“Harta menjadi barokah dan bermakna jika memenuhi tiga hal; diperolehnya dengan cara yang hak, diberikan dengan cara yang hak dan tidak tercampuri barang batil (haram/bukan haknya).”
“Wahai Ahnaf, barangsiapa banyak tertawa, wibawanya berkurang dan barangsiapa suka bergurau, maka akan diremehkan, barangsiapa memperbanyak sesuatu maka akan dikenal dengan barang itu, siapa banyak biacara banyak salahnya, siapa banyak salahnya sedikit rasa malunya, siapa sedikit rasa malunya maka sedikit pula wara’nya (sikap hati2 dalam menjaga yang haram) dan siapa yang sedikit wara’nya, maka hatinya mati.”
Mengenai wasiatnya. Hayyawah bin Syarih berkata bahwa pada waktu mengutus tentara ke medan perang beliau berkata, “Hendaklah kalian tetap menjaga takwa kepada Allah.” Bismillah dan atas pertolongan Allah. Tanda-tangani perjanjian ini dengan memohon pertolongan Allah dan kemenangan. Dan selalu berlaku benar dan sabar. Perangilah orang kafir dan jangan kalian melampui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang melampui batas. Kemudian jangan kalian lari ketika bertemu musuh dan jangan berprilaku buruk, berlebih-lebihan dalam bersikap, banyak ngobrol ketika berperang. Jangan bunuh wanita, orang tua, anak kecil…”
Diantara doa yang biasa beliau lakukan adalah;
“Allahumma tawaffani ma’al abror, wala tukholifni fil asror, wa qini ‘azabannar, wa alhiqni bil abror”
Beliau wafat setelah terkena tikaman pada pagi hari Rabu, Dzulhijjah 23 Hijriah. waktu itu berumur 63 tahun seperti umurnya Rasulullah dan Abu Bakar ketika wafat. Masa kekhalifahannya 10 tahun, 5 bulan dan 21 hari.
Selama hidupnya, beliau telah meriwayatkan kurang lebih 527 hadits, diantara riwayat haditsnya; suatu ketika Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya amalan (perbuatan) itu bergantung pada niatnya. Dan setiap seseorang itu mendapatkan apa yang diniatkan. Barangsiapa berhijrah karena ingin mendapatkan kenikmatan dunia atau wanita yang hendak dinikahi maka hijrahnya itu tidak diniatkan untuk Allah tapi untuk kenikmatan dunia dan wanita.”
http://masjidalkhoir.wordpress.com/2008/01/18/umar-bin-khotob/

Para penggores Sejarah Islam

Umar Bin Khottob RA.
Filed under Uncategorized by fahmi on 18-12-2009
a. Biografi Singkat Khalifah Bin Khathab
Umar bin Khathab; nama aslinya. Nama panggilan atau gelar beliau adalah Al-Faruq, artinya bisa membedakan yang hak dengan batil. Beliau juga orang yang pertama sekali mendapat gelar Amirul Mu’minin, artinya Raja orang-orang Mu’min.
Umar bin Khathab dilahirkan tiga belas peristiwa gajah. jadi beliau lebih muda dari Nabi Muhammad SAW. Ketijka sebelum masuk Islam, Umar pernah bekerja mengembala kambing kepunyaan keluarganya sendiri. kemudian setelah dewasa pernah pula ia berdagang ke Syam. otaknya cerdas, lidahnya fasih, pemberani, disegani oleh kawan dan lawan, akhlaknya mulia, hatinya jujur, dan perkataanya selalu benar.
b. Masuk Islamnya Umar bin Khathab
Umar bin Khathab masuk Islam sebagai perwujudan dari do’a Nabi SAW. agar Umar bin Khathab atau Abi Jashin bin Hisyam (Abu Jahal), salah seorang di antara kedua orang ini Masuk islam. Do’a Rasulullah ini dikabulkan oleh Allah dengan masuk Islamnya Umar pada tahun ke-6 kenabian. Ketika itu usia beliau baru sekitar tiga puluh tiga tahun. setelah beliau masuk Islam, maka dakwah Islam yang tadinya dilancarkan secara sembunyi-sembunyi, berkat anjuran Umar kepada Rasulullah SAW. disiarkan secara terang-terangan Dengan pimpinan Umar bin Khathab, Nabi SAW. beserta kaum Muslimin lainya keluar dengan membaca Allahu Akbar dan Laa ilaha illallah. Sejak itulah kaum muslimin benar-benar merasakan kemulian islam.
Tahun-demi tahun ketika Abu Bakar Ash-Shiddiq sedang sakit mengjelang ajalnya, maka sahabat besar dipanggil untuk menetapkan siapa yang pantas menjadi Khalifah apabila Abu Bakar wafat. Maka keputusan mesyawarah menetapkan Umar bin Khatab menjadi Khalifah ke-2. Segera setelah Umar bin Khathab diangkat menjadi Khalifah, beliau berpidato : “Aku akan membawa saudara-saudara sekalian ke jalan yang benar. jika kalian dapati aku bersalah, tidak taat kepada Allah dan Rasul-Nya, hendaklah saudara-saudara luruskan.”
Lalu pada saat itu berdirilah seorang laki-laki sambil menghunus pedang dan berkata : “akan kuluruskan engakau Umar, bila engkau bersalah, dengan pedangku ini.”
Jawab Umar : “Aku berterima kasih kepadamu, karena engkau mau meluruskan kesalahanku.”
c. Karya-karya Umar dalam pengembangan Islam
Sebagai kelanjutan dari konsep khalifah Abu Bakar di dalam penyebaran Islam, maka di antara usaha-usaha Umar adalah :
1. Penaklukan Irak lewat pertempuran dasyat dijembatan sungai furat, yang mengakibatkan syahidnya panglima perang Abu Ubaidah. sedang pada pertempuran yang kedua di sungai itu juga mengocar-kacirkan tentara Persia, syahid pulalah Panglima perang Masna bin Harisah sebagai gantinya, Khalifah Umar mengankat Sa’ad bin Abi waqqas. Dengan taktik dan siasat baru akhirnya pasukan Islam mendapat kemenangan, Setelah banyak negeri dapat ditaklukan.
2. Pendirian kota Kufah dan Basrah
3. Penklukan Iran, Khurasan, sabur dan lainya.
4. Penaklukan Damsyik. Thabariyah dan lain-lain, oleh kahlid bin walid dan Abu Ubaidah.
5. Penaklukan Mesir dan Iskandariyah.
6. Permulaan penggunaan tahun Hijriyah.
7. Perbaikan administrasi negara, keuangan, kemiliteran, dan gaji pegawai.
8. Penerapan Sistem Pemerintahan Daerah.
9. Penggunaan mata uang.
10. Penganturan lalu lintas pos.
11. Pembukaan madrasah jurusan Ilmu hukum dikota Madinah.
Kebijakan Ekonomi Umar bin Khottob RA
A. PENDAHULUAN
Dalam sejarah perkembangan peradaban manusia dari masa kemasa selalu dihadapkan pada berbagai persoalan, baik itu persoalan ekonomi, social, politik ataupun budaya. Persoalan yang ada tidak akan pernah habis mengingat munculnya solusi akan diikuti oleh munculnya persoalan baru.
Berbicara ekonomi pada prinsipnya merupakan pembicaraan yang melibatkan kepentingan semua manusia. Tidak mengherankan kalau kemudian banyak yang menempatkan ekonomi sebagai pokok pembahasan. Manusia dituntut untuk mampu melakukan usaha eksploratif tiada henti dalam mencari solusi atas persoalan-persoalan ekonomi.
Sebagai satu sistem kehidupan komprehenssif, Islam dipercaya oleh pemeluknya sebagai ajaran yang secara umum mengarahkan manusia untuk memperoleh dua dimensi kebahagiaan, yaitu dunia dan akhirat. Dismping memuat aturan tentang persoalan teologi, aqidah, ibadah, Islam juga memberikan rambu-rambu tentang persoalan ekonomi, baik secara implisit maupun eksplisit.
Persoalan yang ada sekarang adalah apakah Islam memmpunyai konsep ekonomi? Pertanyaan ini wajar saja muncul dikarenakan perkembangan pemikiran ekonomi sekarang ini didominasi oleh pemikiran Barat. Berbagai literratur ekonomi Barat tidak pernah menyebutkan akan kontribusi Islam dalam pemikiran ekonomi. Padahal Islam mempunyai sumbangsih yang sangat besar atas perkebangan ekonomi yang pada saat ini mulai diterapkannya konsep ekonomi Islam yang dilhami oleh Al-Qur’an dan Al-Hadist baik dinegara Islam ataupun dinegara non-Islam. Semua ini tidak terlepas dari pemikiran-pemikiran intelektual Islam yang dimulai dari zaman Rosulullah, khulafa’ ar-rosyidin dan cendikiawan muslim yang lain seperti Ibnu Kholdun dengan kitab Muqoddimah[1], Al-Syaibani, Abu Yusuf [2], Yahya bin Umar, Ibnu Taimiyah, Al Ghozzali, dan masih banyak lagi.
Berdasrkan beberapa literatur yang ada mengenahi perkembangan pemikiran ekonomi Islam dapat dirangkum dalam beberapa pereode sebagai berikut:[3]
Pereode Tokoh Ekonomi Islam
632-656 M Rosulullah SAW
656-661 M Pemikiran Ekonomi Islam dimasa Khulafaurashyidin
Abu Bakar as-Siddiq (632-634), Umar bin Khattab (634-644), Usman bin Affan (644-645), Ali bin Abi Thalib
738-1037 M Pemikiran Ekonomi Islam Pereode Awal
Hasan Al-Bashri (728 M), Zaid bin Ali (738 M), Abu Hanifah (767 M), Awzai (774 M), Malik (798 M), Abu Yusuf (798 M), Fudhail bin Iyad (802 M), Muhamaad bin Hasan Al-Syaybani (804 M), Ma’ruf Karki (815 M), Yahya bin Dam (818 M), Syafi’I (820), Ahmad bin Hambal (855 M), Yahya bin Hambal (855 M), Al-Qusyairy (857 M), Dzun Nun Al Misri (859 M), Ibrahim bin Dam (874 M), Yahya bin Umar (902 M), Qudama bin Ja’far (948 M), Farabi (960 M), Abu Ja’far al-Dawudi (1012 M), Ibnu Maskawih (1030 M), Ibnu Sina (1037 M), Mwardi (1058 M), Al-Kindi (1873 M)
1058-1448 M Pemikiran Ekonomi Islam Pereode Kedua
Ibnu Kholdun (1040 M), Syamsudin al-Sarakhsi (1090 M), Nizamul Mulk Tusi (1093 M), Al-Hujawari (1096 M), Al-Ghozali (111 M), Ibnu Baja (1138 M), Abdul Qodir Jaelani (1169 M), Ibnu Mas’ud Al-Kasani (1182), Ibnu Tufail (1185 M), Al-Shaizari (1193 M), Ibnu Rusyd (1198 M), Fakhruddin Al-Rozy (1210 M), Ibnu Arobi (1240 M), Al-Attar (1252 M), Najmuddin ar-Rozi (1256 M), Jalaludin Rumi (1274 M), Muhammad bin Abdurrahman Al-Haabaasyi (1300 M), Ibnu Taimiyah (1328 M), Ibnu Ukhuwa (1329 M), Ibnu Qoyyim (1350 M), Abu Ishaq Al-Shatibi (1388 M), Al-Maqrizi (1441 M)
1446-1931 M Pemikaran Ekonomi Islam Pereode Ketiga
Syekh Ahmad Sirhindi (1524 M), Ibnu Nujaim (1562 M), Syah Waliyullah Al-Dehi (1762 M), Muhammad bin Abdul Wahab (1787 M), Ibnu Abidin (1836 M), Jamaluddin Al-Afghani (1897), Mufti Muhammad Abduh (1905 M), Muhammad Iqbal (1938 M)
1931- sekarang Pemikiran Ekonomi Islam Pereode Lanjut
uhammad Abdul Manan (b. 1938), Muhammad Najatullah Siddiqi (b. 1931), Syed nawad Haider Naqvi (b. 1935), Monzer Khaf, Sayyid Mahmud Taleghani, Muhammad Baqir as-Sadr, Umer Chapra
Untuk lebih memberikan kejelasan dan pengetahuan atas sumbangsih pemikiran para pemikir ekonomi Islam khususnya pemikiran ekonomi pada masa Khulaf Ar-Rosyidin, maka makalah ini akan mejelaskan praktek ekonomi dengan berbagai kebijakan ekonomi khusus pada masa kholofah Umar bin Khattab yang dalam sejarah pada masa Umar inilah sebagai masa gemilang peradaban Islam dalam perkembangan politik maupun ekonomi.
B. PEMBAHASAN
1. BIOGRAFI UMAR BIN KHATTAB
Khalfiah Umar bin Khattab merupakan khalifah kedua setelah Abu Bakar as-Siddiq yang sukses dalam menjalankan amanat umat dalam menjalankan roda pemerintahan. Pada masa pemerintahannya yang berlangsung selama sepuluh tahun dan enam bulan, Umar bin Khattab mewujudkan iklim politik yang bagus, keteguhan prinsip, kecermelangan perencanaan; meletakkan berbagai sistem ekonomi dan manajemen yang penting; menggambarkan garis-garis penaklukan dengan banyak melakukan ekspansi sehingga wilayah Islam meliputi jazirah Arab, sebagian wilayah Romawi (Syiria, Palistina, dan Mesir), serta seluruh wilayah kerajaan Persia termasuk Irak dengan pengaturan yang sitematis atas daerah-daerah yang ditaklukkan; menegakkan keadilan disetiap daerah dan terhadap ssemua manusia; melakukan koreksi terhadap pejabat serta memperluas permusyawaratan. Atas keberhasilannya tersebut, orang-orang Barat meenjuluki Umar sebagai The Saint Paul of Islam.[4].
Umar bin Khattab dilahirkan 30 tahun sebelum masa kenabian. Ia hidup selama 65 tahun yang 30 tahun dihabiskan dalam kejahiliyahan dengan menyembah berhala, yang didalamnya dia tidak dikenal kecuali pernah menjadi wakil utusan bagi kaum Quraisy. Sebab, jika terjadi perang di antara kaum Quraisy dan suku lain, maka mereka mengutus umar sebagai utusan. Dan sebagaian lagi dihabiskan untuk menegakkan dan mengembangkan agama Islam serta hanya menyembah kepada Allah SWT sampai akhir hayatnya.
Umar bin Khattab dilahirkan dengan nasab ayahnya bernama Umar bin Khattab bin Nufail bin Abdil ‘Uzza bin Riyah bin Abdullah bin Qurt bin Razah bin Adi bin Ka’ab bin Lu’ayyi bin Gholib Al-Qurasyi Al-‘Adawi. Sedangkan dari nasab ibunya adalah Hantamah binti Hasyim bin Mughirah, dari Bani Makhzumi dimana Hantamah adalah sepupu dari Abu Jahal. Umar bin Khattab memiliki kunyah Abu Hafas dan laqob[5] Al Faruq. Dikatakan bahwa dia digelari demikian itu dikarenakan keterusterangnnya terhadap keislamannya, ketika yang lain menyembunyikan keislaman mereka. Maka dia membedakan antara yang hak dan yang batil.[6]
Umar adalah sosok tinggi besar, lebat bulu badannya, raambut teruarai dari kedua sisi kepalanya, berkulit putih kemerah-merahan, berjenggot lebat, berkumis tebal dan menyemir ubannya dengan hana’ (pohon sejenis pacar). Disamping sifat-sifat fisik tersebut, Umar juga memiliki sifat-sifat kejiwaan yang luhur, antara lain: adil, tanggung jawab, keras dalam menyelesaikan berbagai masalah dan menghadapinya dengan tegar dan penuh keteguhan baik masalah pribadi, negara dan agama, santun terhadap rakyat dan sangat berwibawa, disegani, tajam firasatnya, luas ilmunya, cerdas pemahamannya, dan masih banyak lagi yang tidak mungkin dijelaskan dalam kajian ini.
Ia menyatakan keislamannya pada tahun ke-6 dari kenabian. Keislamannya memiliki pengaruh besar bagi kaum muslimin. Abdullah bin Mas’ud Rodliyallahu ‘Anhu berkata, “Kami selalu sangat mulia sejak Umar masuk Islam.” Dalam riwayat lain disebutkan bahwa Ibnu Mas’ud berkata,”Sesungguhnya keislaman Umar adalah penaklukan, hijrahnya kemenangan, dan kepemimpinannya rakmat.”[7]
2. AKTIFITAS EKONOMI BANGSA ARAB
Aktifitas ekonomi mayoritas penduduk jazirah Arab secara garis besar dapat dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:
1. Perdagangan; Mayoritas aktifitas perdagangan bangsa Arab adalah diperkotaan, dan mereka memiliki pasar musiman untuk berdagang berbagai jenis barang kebutuhan. Pasar musiman ini didatangi oleh orang yang ingin berdagang dan melakukan jual-beli. Perdagangan merupakan aktifitas ekonomi utama bagi mereka. Itu disebabkan karena Makkah merupakan bumi tandus, tidak ada air dan tanaman. Sedangkan penduduknya memiliki kehormatan dalam pandangan orang Arab, sehingga mereka tidak memperlakukan kafilah mereka dengan buruk. Disamping itu letak geografinya yang menghubungkan antara daerah-daerah penting dalam perekonomian, yaitu Syam (Yordania, Palestina, dan Libia), Yaman, dan Habasyah (Ethopia).
Perhatian bangsa Qurais terhadap perdagangan sampai pada taraf mereka melakukan dua kali perjalanan perdagangan dalam setahun, yaitu perjalanan musim dingin ke Yaman dan perjalanan ke Syam pada musim kemarau. Oleh karena itu, kaum Quraisy menjadi kaya dan hidup dalam kemewahan.
1. Pertanian; Terdapat aktifitas pertanian disebagian daerah yang subur di jazirah Arab, seperti Yaman, Thaif, daerah utara dan sebagian lahan pertanian di Hijaz dan pertengahan jazirah. Diantara daerah pertanian yang penting adalah daerah Madinah dan sekitarnya. Kurma dan gandum merupaka dua hasil pertanian terpenting di Madinah. Akan tetapi sarana prasarana yang digunakan masih sederhana dan konvensional.
2. Industri; Kegiatan industri merupakan kegiatan ekonomi paling lemah di negeri Arab dan paling sedikit perannya. Mayoritas kegiatan industri adalah sebagai profesi sederhana yang pada umumnya dilakukan oleh oleh para budak dan orang-orang Yahudi. Diantara profesi ini yang sangat menonjol adalah tukang besi, tukang kayu, pertenunan dan pembuatan senjata.
3. KEBIJAKAN EKONOMI UMAR BIN KHATTAB
Pemerintahan Umar bin Khattab dikenal dengan pemerintahan yang bersih ditopang dengan karakteristik pribadi yang tegas dan berwibawa sehingga terbentuk kondisi kenegaraan yang damai, kesejahteraan rakyat semakin baik daripada masa sebelumnya. Hal ini dapat dibuktikan dengan kondisi perrekonomian dan pendapatan masyarakat Arab pada masa itu dapat digolongkan pada taaraf perekonomian yang merata. Kekayaan dan kemakmuran tersebut mereka dapatkan dari harta rampasan perang (ghonimah), pajak tanah (kharaj), pajak perdagangan/bea cukai (usyur), zakat, pajak tanggungan (jizyah).
Pada masa ini, Umar bin Khattab membentangkan garis perbedaan mendasar pengelolaan ekonomi dengan kerajaan lainnya, seperti sistem fiodalisme yang diterapkan di Iran dan Irak[8]. Dengan menetapkan perekonomian yang lebih Islami dan tidak mengenal istilah kesewenang-wenangan dari para raja.[9] Umar bin Khattab mengembangakan prinsip ekonomi bersama yang harus dinikmati oleh setiap orang berdasarkan prinsip al-Qur’an dan Sunnah Rosul tentang keadilan dan keseimbangan yang tidak memberi hak perseorangan secara berlebihan, tidak menghembuskan rasa benci pada kelas yang berbeda seperti halnya yang belakangan ini sering terjadi dalam mekanisme dan sistem penerapan ekonomi Sosialisme[10]. Beliau telah memanfaatkan semua faktor produksi, tanah, tenaga kerja, modal yang mencegah terjadinya dominasi suatu kelompok kecil. Jika hal demikian terjadi, maka akan membawa kepada stagnasi ekonomi.[11]
Ada beberapa hal penting yang perlu dicatat berkaitan dengan masalah kebijakan ekonomi pada masa Umar bin Khattab, diantaranya adalah sebagai berikut:
1. a. Pendirian Baitul Mal
Kontribusi Umar bin Khattab yang paling besar dalam menjalankan roda pemerintahan adalah dibentuknya perangkat administrasi yang baik. Ia mendirikan institusi administrasi yang hamper tidak mungkin dilakukan pada abad ketujuh sesudah masehi. Pada tahun 16 H, Abu Hurairah, Amil Bahrain, mengunjungi Madinah dan memmbawa 500.000 dirham kharaj. Jumlah ini merupakan jumlah yang sangat besar sehingga Khalifah mengadakan pertemuan dengan majelais Syura untuk membicarakan masalah tersebut dan kemudian diputuskan bersama bahwa jumlah tersebut tidak untuk didistribusikan melainkan untuk disimpan untuk keadaan darurat, membiayai angakatan perang, dan kebutuhan lain untuk umat. Untuk menyimpan dana tersebut, maka baitul mal regular dan permanen didirikan untuk pertama kalinya di ibukota, kemudian dibangun cabang-cabangnya di ibukota propinsi. Abdullah bin Irqom[12] ditunjuk sebagai pengurus baitul mal (sama dengan menteri keuangan) bersama dengan Abdurrahman bin Ubaid Al-Qori serta Muayqob sebagai asistennya. Setelah menaklukkan Syiria, Sawad dan Mesir, penghasilan baitul mal meningkat (Kharaj dari Sawad (Irak) mencapai seratus juta dinar dan dari Mesir dua juta dinar).[13]
Untuk mewujudkan keberhasilan pengawasan harta maka khalifah Umar menerapkan independensi perangkat pengwasan baitul mal dari kekuasaan kekuasaan eksekutif (para wali) dan bersandar pada sistem pemisahan tugas administrasi dan tugas-tugas akutansi dalam perangkat negara.
Sedangkan dalam hal mendistribusikan harta Baitul Mal, Khalifah Umar men¬dirikan beberapa departemen yang diang¬gap perlu, seperti:
1. Departemen Pelayanan Militer. De¬par¬te¬men ini berfungsi untuk men¬dis¬tri¬bu¬si¬kan dana bantuan kepada orang-orang yang terlibat dalam peperangan. Besarnya jum¬lah dana bantuan ditentukan oleh jumlah tanggungan keluarga setiap pe¬nerima dana.
2. Departemen Kehakiman dan Eksekutif. De¬partemen ini bertanggung jawab terhadap pembayaran gaji para hakim dan pejabat eksekutif. Besarnya gaji ini ditentukan oleh dua hal, yaitu jumlah gaji yang di¬terima harus mencukupi kebutuhan ke¬luarganya agar terhindar dari praktik suap dan jum¬lah gaji yang diberikan ha¬rus sama dan ka¬lau pun terjadi per¬be-daan, hal itu tetap da¬lam batas-batas ke¬wa¬jaran.
3. Departemen Pendidikan dan Pengem¬bangan Islam. Departemen ini men¬dis¬tri¬busikan bantuan dana bagi penyebar dan pe¬ngembang ajaran Islam beserta ke¬luarganya, seperti guru dan juru dakwah.
4. Departemen Jaminan Sosial. Departemen ini menyimpan daftar bantuan untuk mereka fakir yang menerita dan miskin. tujuan dari depertmen ini adalah agar tidak seoangpun di negeri ini terabaikan kebutuhan hidupnya. semua orang yang sakit, usia lanjut, cacat, yatim piatu, janda atau oleh karena sebab lain sehingga tidak mampu memperoleh penghidupan sendiri diberi bantuan keuangan secara tahunan dari baitu mal.[14]
Properti baitul mal dianggap sebagai “harta kaum muslim” sedangkan Khalifah dan amil-amilnya hanyalah pemegang kepercayaan. Jadi, merupakan tanggung jawab negara untuk menyediakan tunjngan yang berkesinambungan untuk janda, anak yatim, anak terlantar, membiayai penguburan orang miskin, membayar untang orang-orang yang bangkrut, membayar uang diyat untuk kasus-kasus tertentu dan untuk memberikan pinjaman tanpa bunga untuk urusan komersial. Pemberian tunjangan tersebut merupakan sesuatu yang pertama dalam sejarah duniad dimana pemerintah menyandang tanggung jawab pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian warganya.[15]
Bersamaan dengan reorganisasi lembaga baitul mal, sekaligus sebagai perealisasian salah satu fungsi negara Islam, yakni fungsi jaminan sosial, Khalifah Umar membentuk sistem diwan yang menurut pendapat yang terkuat mualai dipraktekkan untuk pertama kali pada tahun 20 H. Dalam rangka ini, khalifah menunjuk sebuah komite nassab[16] ternama yang tyerdiri dari Aqil bin Abi Thalib, Mahzamah bin Naufal dan Jabir bin Mut’im untuk membuat laporan sesnus penduduk sesuai dengan tingkat kepentingan dan golongannya.[17] Daftar tersebut tersebut disusun secara berurutan dimulai dari orang-orang yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan Nabi Muhammad SAW, para shabat yang ikut perang badar dan uhud, para imigran ke Abysinia dan madinah, para pejuang Qodisiyah atau orang-orang yang menghadiri perjanjian Hudaibiyah dan seterusnya.
Jumlah tunjangan yang diberikan kepada masing-masing golongan untuk setiap tahunnya berbeda-beda. Secara umum tunjangan yang diberikan kepada mereka adalah sebagai berikut:[18]
No Penerima Jumlah
1. Aisyah dan Abbas Bin Abd Mutalib masing-masing 12000 dirham
2. Para istri nabi selain Aisyah masing-masing 10000 dirham
3. Ali, Hasan, Husain dan para pejuang badar masing-masing 5000 dirham
4. Para pejuang uhud dan para migran abisinya masing-masing 4000 dirham
5. Kaum muhajirin sebelum peristiwa fathu makah masing-masing 3000 dirham
6. Putra para pejuang badar, orang yang memeluk islam ketika fathu makah, anak-anak kaum muhajirin dan anshar, para pejuang perang qadisiyah, uballa, dan orang-orang yang menghadiri perjanjian hudaibiyah masing-masing 2000 dirham
7. Orang-orang makah yang bukan termasuk kaum muhajirin masing-masing 800 dirham
8. Warga madinah Masing-masing 25 dinar
9. Kaum muslimin di yaman, syria, irak Masing-masing 200-300 dirham
10. Anak-anak yang baru lahir yang tidak diakui masing-masing 100 d irham
Disamping itu, kaum muslimin memperoleh tunjangan pensiunan berupa gandum, minyak, madu dan cuka dalam jumlah yang tetap. Kualitas dan jenis barang berbeda-beda di setiap wilayah. Peran negara yang ikut bertanggung jawab terhadap pemenuhan kebutuhan makanan dan pakaian bagi setiap warga negaranya ini merupakan hal yang pertama kali terjadi dalam sejarah dunia.
Setiap kebijakan pasti tidak akan mulus dalam pelaksanaannya. begitu juga dengan kebijakan yang dibuat oleh Khalifah Umar tersebut mendapat reaksi dari salah seorang sahabat yang bernama Hakim bin Hizam. Menurutnya dalam hal ini, tindakan Umar akan memicu lahirnya sifat malas dikalangan para pedagang yang berakibat fatal bagi kelangsungan hidup mereka sendiri jika suatu saat pemerintah menghentikan kebijakan tersebut.[19]
1. b. Kepemilikan Tanah
Sepanjang pemerintahan Umar banyak daerah yang ditaklukkan melalui perjanjian damai. Penaklukan ini banyak menimbulkan masalah baru. Utamanya adalah berhubungan dengan kebijakan negara tentang kepemilikan tanah yang ditaklukkan. Dari sinilah muncul permasalahan bagaimana pembagiannya, diantara sahabat ada yang menuntut agar kekayaan tersebut didistribusikan kepada para pejuang, sementara yang lain menolak. Setelah mengalami perdebatan yang panjang, Umar memutuskan bahwa tanah masih bisa ditempati oleh penduduknya dengan memberlakukan tanah tersebut sebagai fa’i, dan prinsip yang sama diadopsi untuk kasus-kasus yang akan datang. Umar menetapkan peraturan yang berhubungan dengan tanah sebagai berikut:
1. Wilayah Irak yang ditaklukkan dengan kekuatan menjadi milik orang muslim dan kepemilikan ini tidak dapat diganggu gugat, sedangkan bagian yang berada dibawah perjanjian damai tetap dimiliki oleh pemilik sebelumnya dan kepemilikan tersebut dapat dialihkan.
2. Kharaj dibebankan kepada semua tanah yang berada dibawah kategori pertama, meskipun pemilik tanah tersebut memluk agama Islam. Dengan demikian, tanah seperi itu tidsak dapat dikonversi menjadi tanah usyur.
3. Bekas pemilik tanah diberi hak kepemilikan selama mereka membayar kharaj dan jizyah
4. Tanah yang tidak ditempati atau ditanami (tanah mati) atau tanah yang diklaim kembali (seperti Basra)s bila ditanami oleh orang muslim diperlakukan sebagai tanah usyur
5. Di Sawad (Irak), kharaj dibebankan sebesar satu dirham dan satu rofz (satu ukuran lokal) gandum dan barley (jenis gandum) dengan anggapan tanah tersebut dapat dilalui air . Harga yang lebih tinggi dikenakan kepada ratbah (rempah atau cengkeh) dan perkebunan
6. Di Mesir menurut sebuah perjanjian amar, dibebankan dua dinar, bahkan hingga tiga Irdab gandum, dua qist untuk minyak, cuka, dan maddu. Rancangan ini sudah disetujui oleh Khalifah
Perjanjian Damaskus (Syiria) menetapkan pembayaran tunai, pembagian tanah dengan kaum Muslim. Beban perkepala sebesar satu dinar dan beban jarib (unit berat) yang diproduksi per jarib (ukuran) tanah[20]
1. c. Zakat
Kegiatan beternak sudah menjadi mata pencaharian sebagian umat muslim untuk menghidupi diri dengan memperdagangkannya. Di Syiria dan diberbagai wilayah kekuasaan Islam lainnya banyak yang melakukan beternak kuda dan memperdagangkannya, bahkan pernah diriwayatkan bahwa seekor kuda Arab Taghlabi diperkirakan bernilai 20.000 dirham dan orang-orang islam terlibat dalam perdagangan ini. Karena maraknya perdagangan kuda, mereka menanyakan kepada Abu Ubaidah selaku Gubernur Syiria tentang kewajiban membayar zakat kuda dan budak. Gubernur memberitahukan bhwa tidak ada zakat atas keduanya. Kemudian mereka mengusulkan kepada Khalifah agar ditetapkan kewajiban zakat atas keduanya, akan tetapi permintaan tersebut tidak dikabulkan. Mereka kemudian mendatangi kembali Abu Ubaidah dan bersikeras ingin membayar. Akhirnya Gubernur menulis surat kepada Khalifah dan Khalifah Umar menanggapinya dengan sebuah intruksi agar Gubernur manarik zakat dari mereka dan mendistribusikannya kepada para fakir miskin serta budak-budak. Sejak saat itu, zakat kuda ditetapkan sebesar satu dinar atau atas dasar ad valorem, seperti satu diham untuk setiap empat puluh dirham.[21]
Selain kasus diatas, juga ada satu kasus lagi yang terjadi pada masa Khalifah Umar. diriwayatkan bahwa gubernur Thaif melaporkan bahwa pemilik sarang-sarang tawon tersebut dilindungi secara resmi. Umar mengatakan bahwa bila mereka membayar usyur, maka sarang tawon mereka akan dilindungi. Apabila tidak mau maka tidak akan mendapat perlindungan. Menurut laporan Abu Ubaid, Umar membedakan madu yang diperroleh dari daerah pegunungan dan yang diperoleh dari lading. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepulu untuk madu jenis kedua.[22]
Selain itu, khalifah Umar mengambil suatu kebijakan untuk menunda pengambilan zakat yang khusus pada binatang ternak akibat terjadinya krisis pada tahun Ramadah dengan banyaknya hewan ternak yang mati.[23] Diriwayatkan bahwa khalifah Umar memerintahkan para amilnya pada saat krisis Ramadah dengan perkataannya,”Beikanlah zakat kepada orang yang pada masa krisis ini masih memiliki seratus ekor kambing, dan tidak kepada orang yang dalam kisis ini masih meiliki dua ratus kambing.”[24]
1. d. Usyur[25]
Sebelum Islam datang, setiap suku atau kelompok suku yang tinggal dipedasaan membayar pajak (usyur) pembelian dan penjualan (maqs). Setelah Negara Islam berdiri di disemenanjung Arab, Nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan menghapuskan bea masuk antar propinsi yang masuk dalam daerah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditangani oleh beliau bersama dengan suku-suku yang tunduk kepada kekuasaanya. Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan sepersepuluh hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis) dikatakan sebagai yang pertama dalam masa Umar.
Orang-orang Manbij adalah orang-orang harbi yang meinta izin kepada Khalifah memasuki negara muslim untuk melakukan perdagangan dengan membayar sepersepuluh dari nilai barang. Setelah berkonsultasi dengan beberapa sahabat yang lain Umar memberikan izin. Namun, terdapat kasus khusus ketika Abu Mussa Al-As’ari menulis surat kepada Khalifah Umar yang menyatakan bahwa pedagang muslim dikenakan pajak sepersepuluh ditanah harbi. Khalifah Umar menyarankan agar membalasnya dengan mengenakan pajak pembelian dan penjualan yang normal kepada mereka. Ada perbedaan versi menurut tingkat ukurannya. Tingakat ukuran yang paling umum digunakan adalah 2,5% untuk pedagang muslim, 5% untuk kafir dzimmi, dan 10% untuk kafir harbi dengan asumsi harga barang melebihi dua ratus dirham. Menurut Ziyad bin Huddair, seorang asyir[26]dijembatan Efrat mengatakan kita biasanya mengumpulkan usyur hanya dari pedagang Roma saja. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa kafir harbi yang tinggal di negara Islam selama pereode 6 bulan atau kurang dikenai sepuluh persen dan, bila memperpanjang masa tinggal hingga satu tahun, mereka dikenakan pajak sebesar 5%.[27]
Begitu juga usyur dibebankan kepada suatau barang hanya sekali dalam setahun. Ini sesuai dengan intstruksi Umar kepada pegawainya agar tidak menarik usyur dua kali dalam setahun walaupun barang tersebut diperbaharui. Ini semua diinstruksikan setelah adanya komplain dari orang yang telah ditarik usyur dua kali atas kudanya.
Pos pengumpulan usyur terletak diberbagai tempat yang berbeda-beda, termasuk di ibukota. Menurut Saib bin Yazid, pengumpulan usyur dipasar-pasar Madinah, orang-orang Nabaetean yang berdagang di Madinah juga dikenakan pajak pada tingkat yang umum, tetap setelah beberapa waktu Umar menurunkan prosentasenya menjadi 5% untuk minyak dan gandum, untuk mendorong import barang-barang tersebut di kota.[28]
1. e. Sedeqah dari Non-Muslim
Pada masa Khalifah Umar tidak ada ahli kitab yang membayar sedekah atas ternaknya kecuali orang Kristen Bani Thaghlib yang keselurahan kekayaannya terdiri dari hewan ternak. Mereka membayar dua kali lipat dari yang dibayar oleh orang muslim. Bani Tanghlib merupakan suku Arab yang gigih dalam peperangan. Umar mengenakan Jizyah kepada mereka, tetaapi mereka terlalu gengsi sehingga menolak jizyah dan malah membayar sedeqah. Nu’man bin Zuhra memberikan alasan untuk kasus mereka dengan mengatakan bahwa pada dasarnya tidak bijaksana memperlakukan mereka seperti musuh dan seharusnya keberanian merek menjadi aset negara. Umar pun memanggil mereka dan menggandakan sedeqah yang harus mereka bayar dengan syarat mereka setuju untuk tidak membaptis seoraaang anak tau memaksanya untuk mernerima kepercayaan mereka. mereka setuju dan menereima untuk membayar sedeqah ganda.
Baladzuri mereiwayatkan bahwwa Ali seringkalim mengatakan bahwa bila dirinya berkesempatan untuk melakukan negosiasi dengan Bani Taghlib, dia akan menggunakan caranya sendiri dengan mereka. Menurut Ali, dengan mengkristenkan anak-anak mereka, Bani Taghlib telah melanggar persetujuan dan tidak lagi dapat dipercaya. Walaupun demikian, kaum muslimin sepakat bahwa yang didapat dari Bani Taghlib tidak untuk dibelanjakan seperti halnya kharaj karena sedeqah tersebut merupakan pengganti pajak.[29]
1. f. Mata Uang
Pada masa Nabi dan sepanjang masa Khulafa ar-Rosyidin mata uang asing dengan berbagai bobot sudah dikenal di Arabia, seperti dinar, sebuah koin emas dan dirham sebuah koin perak. Bobot dinar adalah sama dengan satu mistqal atau sama dengan dua puluh qirat atau seratus grain barley. Bobot dirham tidak seragam. Untuk menghindari kebingungan , Umar menetapkan bahwa dirham perak seberat 14 qirat dan satu mistqol adalah tujuh per sepuluh.[30]
Ada beberapa catatan dalam hal penerbitan mata uang pada masa Khalifah Umar yang penjelasannya sebagaimana berikut:
1. Penerbitan uang pada masa Umar hanya terbatas pada dirham, sementara dinar tidak dicetak melainkan pada masa Khalifah Abdul Malik bin Marwan
2. Percetakan dirham tidak dengan ukiran ala Arab murni, namun dicetak dengan ala Ajam dengan penambahan ungkapan-ungkpan Arab. Dan penting bahwa uang tersebut sesuai dengan tolak ukur syari’ah (enam daniq) dan dicetak dengan murni, selamat dari kecurangan yang diderita oleh dirham pada masa pemerintahan Persia.
3. Beberapa sumber tidak menyebutkan bahwa Umar mengumumkan dirham yang dicetaknya tersebut sebagai mata uang resmi dan meniadakan muamalah dengan dirham yang lain.[31]
Penerbitan merupakan masalah yang dilindungi oleh kaedah-kaedah umu syari’at Islam. Sebab penerbitan uang dan penentuan jumlahnya merupakan hal-hal yang berkaitan dengan kemaslahatan umat, sedangkan bermain-main dalam penerbitan uang akan berdanpak pada terjadinya kemudhorotan umat. misalnya hilangnya kepercayaan terhadap terhadap mata uang, terjadinya pemalsuan, pembengkakan nilai uang (inflasi).
1. g. Klasifikasi dan Alokasi Pendapatan Negara
Seperti yang telah disinggung di muka, kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan pendapatan negara adalah mendistribusikan seluruh pendapatan yang diterima. Kebijakan tersebut mengalami perubahan pada masa Khalifah Umar. Khalifah Umar mengklasifikasikan pendapatan negara menjadi empat bagian, yaitu:
1. Pendapatan zakat dan usyur. Pendapatan ini didistribusikan di tingkat lokal dan jika terdapat surplus, sisa pendapatan tersebut disimpan di baitul mal pusat dan dibagikan kepada delan ashnaf seperti yang telah ditentukan oleh al-Quran.
2. Pendapatan khums dan sedekah pendapatan ini didistribusikan kepada para fakir miskin atau untuk membiayai kesejahteraan mereka tanpa membedakan apakah ia seorang muslim atau bukan. Dalam sebuah riwayat, diperjalanan menuju Damaskus Khalifah Umar bertemu dengan seorang Nasrani yang menderita penyakit kaki gajah. Melihat hal tersebut, khalifah umar segera memerintahkan pegawainya agar memberikan dana kepada oirang tersebut yang diambilkan dari hasil pendapatan sedekah dan makanan yang diambilkan dari persediaan untuk para petugas.
3. Pendapatan kharaj, fa’i, jizyah, ‘usyur dan sewa tanah. Pendapatan ini digunakan untuk membayar dana pensiunan dan dana bantuan serta menutupi biaya opraasional administrasi, kebutuhan militer dan sebagainya.
4. Pendapatan lail-lain. pendapatan ini digunakan untuk membayar para pekerja, pemeliharaa anak-anak terlantar, dan dana sosial lainnya.[32]
Perhatian Umar tehadap pendapatan itu lebih besar daripada perhatiannya terhadap jumlah pendapatan. Umar mengawasi untuk memastikan bahwa pemasukan pendapatan tersebut baik. Maka, tidak boleh dana pendapatan masuk pada baitul mal kecuali yang halal dan tidak ada di dalamnya kezdoliman kepada seseorang. Karena pendapatan yang diragukan tidak memberi kebaikan bagi umat, bahkan menghilangkan berkah dan menyebabkan masalah ekonomi dan sosial yang bermacam-macam.
Diantara alokasi pengeluaran dari harta baitul mal setelah mendistribusikan kepada orang yang berhak antara lain kepada orang-orang miskin yang lemah, anak-anak yatim, janda-janda dan orang-orang tua, dana pensiunan merupakan pengeluaran negara yang paling penting. Prioritas berikutnya adalah dana pertahanan negara dan dana pembangunan. Khalifah Umar menempatkan dana pensiunan di tempat pertama dalam rangsum bulanan (azroq) pada tahun 18 H, dan selanjutnya pada tahun 20 H dalam bentuk rangsum tahunan (atya). Dana pensiunan ditetapkan untuk mereka yang akan dan pernah bergabung dalam kemiliteran. Beberapa orang yang berjasa diberi pensiunan kehormatan (shoraf) seperti yang diberikan kepada istri Rosulullah atau para janda dan anak pejuang yang telah wafat. Non-Muslim yang bersedia ikut dalam kemiliteran juga mendapat penghargaan serupa dan dana tersebut juga termasuk bagi pegawai sipil.
Sistem administrasi dana pensiunan dan rangsum dikelola dengan baik. Dalam setahun, dana pensiunan dibayarkan dua kali, sedangkan pemberian rangsum dilakukan secara bulanan. Administrasi dana pensiunan terdiri dari dua bagian, bagian pertama terdiri berisi catatan sensus dan jumlah yang telah menjadi hak setiap penerima dana dan bagian kedua berisi laporan pendapatan. Dana teersebut didistribusikan melalui seorang arif yang masing-masing bertanggung jawab atas sepuluh orang penerima dana.[33]
Seperti halnya yang dilakukan oleh Rosulallah SAW, Khalifah Umar menetapkan bahwa negara bertanggung jawab membayarrkan atau melunasi utang orang-orang yang menderita pailit, atau jatuh miskin, membayar tebusan para tahanan muslim, membayar diyat orang-orang tertentu, serta membayar biaya perjalanan para delegasi dan tukar menukar hadiah dengan negara lain. Dalam perkembangan berikutnya, setelah kondisi baitul mal dianggap cukup kuat, ia menambahkan beberapa pengeluaran lain dan memasukkannya dalam daftar kewajiban negar, seperti memberi pinjaman untuk perdagangan dan konsumsi.[34]
4. ANALISIS KEBIJAKAN UMAR BIN KHATTAB
Pendekatan dan upaya-upaya ekonomi pada masa lalu selalu terjalin erat dengan moral manusia, persepsi kultural dan keagamaan, aspirasi, dan keprihatinan. Pandangan dunia manusia, visi masyarakat, dan kerangka penting dalam membentuk keputusan ekonomi mereka yang berupa kepentingan diri, penciptaan kekayaan, dan hubungan kepemilikan tetap menjadi titik sentral. Sehingga terbentuklah sistem-sitem ekonomi yang bermacam-macam, seperti sosialis, kapitalis, feodalisme dengan dominansi sistem kapitalis lewat premium mobile mekanisme pasar yang diklaim dapat memecahkan semua persoalan manusia.
Islam adalah konsep komprehensif dan sempurna dengan satu sifat dasar atau “basic feature” dari Islam itu adalah sebagai rohmatan lil ‘alamin, memberikan pedoman semua hal termasuk ekonomi kendatipun untuk hal-hal tertentu hanya konsep dasarnya saja. Untuk yang sifatnya rincian diserahkan pada pola pikir umatnya yang juga sudah harus mengikuti filosofi Islam yang terbentuk dari keyakinan pada keimanan dan tauhid ilahiyah. Ekonomi dalam Islam misalnya tentu sudah ada referensinya kendatipun oprasionalnya tidak selengkap teori ekonomi kapitalise saat ini.
Pereode Khalifah Umar bin Khattab merupakan pereode keemasan Islam yang didalamnya semua aspek mulai dari dakwah, politik dan ekonomi tumbuh dan berkembang pesat dengan mengacu pada rule syari’at Islam. Keberhasilan pereode ini tidak terlepas dari pribadi khalifah Umar sendiri yang tegas dan peduli akan kemajuan Islam.
Jika kita analisa keberhasilan Khalifah Umar pada dalam roda pemerintahan dan perekonomian dengan kebijak-kebijakan yang diambil, maka ada beberapa hal yang menjadi faktor keberahasilan Khalifah Umar dalam menerapkan kebijakan ekonomi dalam pemerintahannya, yaitu:
1. Perhatian umar tentang masalah ekonomi dan tidak tergesa-gesa dalam mengambil ketetapan di dalamnya melainkan dengan perenungan dan memperhatikan tentang danpak sekarang dan akan datang. Seperti pengambilan kebijakan tidak mengambil zakat hewan ternak pada tahaun ramadah.
2. Umar dalam megambil kebijakan menggunakan jalan meusyawarah dan kembali kepada nash-nash al-qur’an dan as-sunnah untuk mencari hukum di dalamnya. Dan jika ditemukan nash hukum, maka menetapkan keputusan mayoritas peserta sidang musyawarah. Seperti permasalah kepemilikan tanah pada daerah taklukan.
3. Lebih mengedepankan kemanfaatan umum daripada kepentingan pribadi. Seperti permasalah pembentukan baitul mal dan pendistribusiannya.
4. Umar adalah pribadi yang bertanggung jawab dan zuhud serta banyak memikirkan rakyat yang ditopang dengan ketegasan beliau dalam mengambil keputusan. Umar tidak segan-segan mengambil resiko dengan memecat pegawai pemerintahan yang melakukan kesalahan demi terciptanya kondisi pemerintahan yang bersih. Seperti beliau mengambil kebijakan bagi pegaawi pemerintahan tidak diperbolehkan melakukan aktifitas perdagangan. Dengan alasan kawatir harta negara disengaja atau tidak disengaja masuk dalam proses perdagangan tersebut.
Selain point di atas, keberhasilan Umar dalam penerapan kebijakan ekonomi adalah semua kebijakan yang diambil dan diputuskan dalam majlis syuro langsung diaplikasikan dalam masyarakat, mulai dari daerah ibukota sampai propinsi-propinsi. Dengan sumber daya pelaksananya yang berdedikasi tinggi, amanah dan melaksanakannya dengan penuh tanggung jawab.
C. PENUTUP
Dalam sejarah, terdapat banyak pelajaran yang dapat diambil untuk kemaslahatan hidup generasi sesudahnya. Karena itu, salah satu ungkapan seorang ulama’, bahwa tidak akan baik generasi akhir umat ini melainkan dengan apa yang menjadikan generasi pertamanya menjadi baik. dan sebaik-baik umat aalah umat yang mau belajar dari masa lalu.
Sebagai khalifah kedua, Umar bin Khattab sukses dalam mengatur pemerintahan dan ekonomi negara. Mungkin tidak salah jika dikatakan bahwa Umar bin Khattab telah menunjukkan kepada dunia bahwa penerapan syari’at yang suci ini sama sekali tidak menghalangi daya kreatif dan inovasi sang pemimpin tertinggi sebuah negara dalam mewujudkan negara yang damai dan makmur. Syari’at disamping memberikan batasan , patron dan rambu-rambu agar setiap kebijakan tidak menjadi sumber laknat, juga memberikan dorongan dan motivasi yang sangat kuat kepada pemimpin untuk bekerja keras mewujudkan apa yang paling mashlahat bagi rakyatnya.
Umar sebagai pemimpin khalifah berhasil responif terhadap permasalahan-permasalahan dan kasus-kasus yang terdapat dalam masyarakat Islam terkhusus pada masalah perekonomian dengan mencetuskan beberapa kebijakan ekonomi yang tidak memihak dengan prinsip keadilan yang telah diatur dalam al-Quran, as-Sunnah dan ijma’ sahabat. Kebijakan-kebijakan yang diambil pada masa Umar secara garis besar dihimpun dalam delapan bentuk, yaitu:
1. Pembentukan baitul mal
2. Kepemilikan tanah
3. Zakat
4. Usyur
5. Mata uang
6. Sodaqah orang non muslim
7. Klasifikasi dan alokasi pendapatan negara
semua kebijakan yang diputuskan mengenahi ketujuh bentuk di atas, terbukti menjadi landasan awal bagi kemajuan pereode Umar diberbagai sektor ekonomi dengan ketegasan dan pengawasannya terhadap pelaksanaan kebijakan tersebut.
Sebelum tulisan diakhiri, penulis memohon kritik membangun dan saran, guna memperbaiki dan lebih tajamnya pembahasan makalah ini, sehingga pemahaman-pemahaman yang daiperoleh lebih komprehensif. Dan tidak lupa, kami mengajak pada diri pribadi dan orang yang inters dengan makalah ini untuk meneladani serta dapat mengaplikasikan dalam kehidupana sehari-hari pribadi Umar yang termasyhur akan ketegasan dan keberaniannya menerapkan aturan dan memegang prinsip terlebih pada masalah agama.
________________________________________
* Makalah ini disampaikan pada tanggal 21 Jnuari 2008 dalam seminar kelas Hukum Bisnis Syaria’ah Program Studi Hukum Islam, pada mata kuliah Aktifitas Ekonomi Islam (Bisnis Syari’ah)
[1] Muqoddimah kitab karangan Ibnu Kholdun yang di dalamnya menjelaskan secara ilmiyah prinsip-prinsip yang mengatur jatuh bangunnya sebuah dinasti, negara dan peradaban dengan melakukan analisis terhadap faktor-faktor yang saling berhubungan seperti faktor moral, psikologis, politik, prinsip-primsip ekonomi, sosial, demografi dan sejarah.
[2] Ia dikenal dengan bukunya yang membicarakan perpajakan dalam Islam (Kitab al-Kharaj)
[3] Retno Kurnianingsih, Perkembangan Sistem Ekonomi Islam Dan Pengaruhnya Terhadap Prraktek Akutansi, dalam Jurnal Kompetensi, Universitas Cokroaminoto Yogyakarta, Vol. 2, No. 3, September-Desember, 2004, hlm. 228.
[4] M.A. Sabzwari, Economic and Fical Sistem During Khilafat E-Roshidah, dalam Journal of Islamic Bangking and Finance, Karachi, Vol. 2, No. 4, 1985, hlm. 50. Dan untuk lebih jelasnya baca Michail H hart, The Hundred, A Ranking of The Most Influential Persons in History (New York: A and W Visual Library, 1978), hlmn. 275. Hart menempatkan Umar pada posisi ke-51 dari daftar orang berpengaruh di dunia.
[5] Kunyah adalah nama julukan atau gelar yang didahului oleh lafad Abu atau Ummu. Sedangkan laqob adalah nama gelar atau julukan yang menunjukkan arti memuji atau mencela. untuk lebih jelasnya baca Ibnu Aqil, Syarah Alfiyah Ibnu Malik Bab ‘Alam,(Surabaya: Al-Hidayah), hlm. 19
[6] Ibnu Ahmad Al Haris, Jaribah, Fiqih ekonomi Umar bin Al-Khattab¸terj. Asmuni Solihan Zamakhsyari (Jakarta Timur: Kholifa, 2006), hlm. 19.
[7] ibid,.hlm. 24.
[8] Iran dan Irak pada waktu itu adalah negara monarkhi yang menggunakan sistem ekonomi feodalisme yang membagi ekonomi menjadi dua kelas, yaitu kaya dan miskin. Kelas kaya terdiri dari raja, anggota istana, para pejabat, para baron, tuan tanah, dan pemimpin agama. kelas ini menguasai segala sumber produksi yang ada. Sedangkan kelas miskin terdiri dari peetani, tukang-tukang, dan para penghasil barang, dan mereka ini tidak diperbolehkan untuk mengkonsumsi barang yanag mereka hasilkan sendiri. cara ini dimasksudkan untuk membantu kelompok kaya agar selalu kaya dengan mengeksploitasi kelompok orang-orang miskin. dan yang paling berkuasa dalam penerrapan system ini adalah para raja.
[9] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi Islam Abu Yusuf (Yogyakarta: Pusat Studi Islam, 2003), hlm. 62
[10] Sosialisme berakar dari paham sosialis yang lahir pada abad-18. Inti dari aliran sosialisme adalah lebih mengutamakan kesejahteraan masyarakat umum daripada kesejehateraan pribadi. Aliran ini berprinsip tentang urgensi pemerintah dalam dunia perekonomian, dimana tidak diakui adanya kepemilikan individu. Resources dan semua factor produksi; tanah, industri dan infrastruktur yang ada merupakan hak kepemilikan negara. Bahkan, segala kebijakan dan perencanaan tentang stabilitas perekonomian ditentukan sepenuhnya oleh pemerintah. Untuk lebih mendalam baca DR. Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam Di Tengan Krisi Ekonomi Global, trjm. Ahmad Ikrom(Jakarta Timur: Zhikrul Hakim, 2004), hlm. 11. dan Abdullah Abdul Husai at-Tariqi, Ekonomi Islam Prinsip, dasar, dan Tujuan(Yogyakarta: Magistra Insania Press, 2004) hlm. 42
[11] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi…………,hlm. 64
[12] Adalah orang yang selama hidupnya Nabi menyimpan data mengenahi suku-suku dan sumber airnya serta keluarga anshar.
[13] Baladhuri, Kitab Futuh Al-Buldan, terj. Pihilp Khori Hittli (Bairut:1996), hlm. 20.
[14] Rakman, Afzalur, Doktrin Ekonomi Islam Jilid I (Yogyakarta: Dana Bakti Wakaf, 1995), hlm. 171.
[15] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi …………….., hlm. 189
[16] adalah orang yang ahli dalam sejarah keluarga dan keturunan
[17] Ra’ana, Irfan Mahmud, Ekonomi Pemerinthan Umar bin Al-Khattab (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997),hlm. 155
[18] Karim, Adiwarman Azhar, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004) hlm.63
[19] Peringatan ini terbukti benar ketika tunjangan para pedagang dihentikan pada masa pemerintahan Dinasti Abbasiyah, Hijaz menjadi kota yang tidak produktif dan tidak dapat memperoleh vitalitasnya kembali
[20] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi …………….., hlm. 191
[21] Karim, Adiwarman Azhar, Sejarah Pemikiran………………..hlm. 69.
[22] ibid,. hlm. 70
[23] Syekh Mar’I bin Yusuf berpendapat bahwa imam dan petugas zakat boleh menunda zakat dari orang-orang yang wajib kepadanya karena kemaslahatan, seperti ketika masa paceklik. Lihat beberapa pendapat fuqoha’ tentang penundaan pembayaran zakat pada DR. Yusuf Al-Qordhowi dalam Fiqh Az-Zakat.
[24] Ibnu Ahmad Al Haris, Jaribah, Fiqih ekonomi Umar bin Al-Khattab…………………, hlm. 383.
[25] Usyur adalah apa yang diambil oleh petugas negara dari harta yang dipersiapkan untuk dagang ketika melintasi daerah Islam, sehingga usyur ini lebih serupa deangan apa yang dikenal pada masa sekarang dengan istilah “bea cukai”.
[26] orang yang bertugas menarik pajak
[27] ibid,. hlm. 71
[28] ibid,. hlm. 72
[29] ibid,. hlm. 73
[30] Majid, M. Nazori, Pemikiran Ekonomi …………….., hlm. 193
[31] Ibnu Ahmad Al Haris, DR. Jaribah, Fiqih ekonomi Umar bin Al-Khattab………………………, hlm. 338
[32] Karim, Adiwarman Azhar, Sejarah Pemikiran………………..hlm. 74.
[33] ibid,. hlm. 76.
[34] ibid,. hlm. 78.
BAB VII
KHALIFAH UMAR IBNUL KHATTAB R.A.
Di samping ketaatannya kepada Allah dan Rasul-Nya Umar Ibnul Khattab r.a. terkenal sebagai orang yg bertabiat keras tegas terus terang dan jujur. Sama halnya seperti Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. sejak memeluk Islam ia menyerahkan seluruh hidupnya utk kepentingan Islam dan muslimin. Baginya tak ada kepentingan yg lbh tinggi dan harus dilaksanakan selain perintah Allah dan Rasul-Nya.
Kekuatan fisik dan mentalnya ketegasan sikap dan keadilan¬nya ditambah lagi dgn keberaniannya bertindak membuat¬nya menjadi seorang tokoh dan pemimpin yg sangat dihormati dan disegani baik oleh lawan maupun kawan. Sesuai dgn tau¬ladan yg diberikan Rasul Allah s.a.w. ia hidup sederhana dan sangat besar perhatiannya kepada kaum sengsara terutama mereka yg diperlakukan secara tidak adil oleh orang lain.
Bila Abu Bakar Ash Shiddiq r.a. menjadi Khalifah melalui pemilihan kaum muslimin maka Umar Ibnul Khattab r.a. dibai’at sebagai Khalifah berdasarkan pencalonan yg diajukan oleh Abu Bakar r.a. beberapa saat sebelum wafat. Masa kekhalifahan Umar Ibnul Khattab r.a. berlangsung selama kurang lbh 10 ta¬hun.
Sukses dan Tantangan
Di bawah pemerintahannya wilayah kaum muslimin bertam¬bah luas dgn kecepatan luar biasa. Seluruh Persia jatuh ke tangan kaum muslimin. Sedangkan daerah-daerah kekuasaan By-zantium seluruh daerah Syam dan Mesir satu persatu bernaung di bawah bendera tauhid. Penduduk di daerah-daerah luar Semenan¬jung Arabia berbondong-bondong memeluk agama Islam. Dengan demikian lslam bukan lagi hanya dipeluk bangsa Arab saja tetapi sudah rnenjadi agama berbagai bangsa.
Sukses gilang-gemilang yg tercapai tak dapat dipisahkan dari peranan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. sebagai pemimpin. Ia banyak mengambil prakarsa dalam mengatur administrasi pemerintahan sesuai dgn tuntutan keadaan yg sudah ber¬kembang. Demikian pula di bidang hukum. Dengan berpegang te¬guh kepada prinsip-prinsip ajaran Islam dan dgn memanfaat¬kan ilmu-ilmu yg dimiliki para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. khususnya Imam Ali r.a. sebagai Khalifah ia berhasil men¬fatwakan bermacam-macam jenis hukum pidana dan perdata disamping hukum-hukum yg bersangkutan dgn pelaksanaan peribadatan.
Tetapi bersamaan dgn datangnya berbagai sukses seka¬rang kaum rnuslimin sendiri mulai dihadapkan kepada kehidupan baru yg penuh dgn tantangan-tantangan. Dengan adanya wilayah Islam yg bertambah luas dgn banyaknya daerah¬-daerah subur yg kini menjadi daerah kaum muslimin serta dgn kekayaan yg ditinggalkan oleh bekas-bekas penguasa lama kaum muslimin Arab mulai berke¬nalan dgn keni’matan hidup keduniawian.
Hanya mata orang yg teguh iman sajalah yg tidak silau melihat istana-istana indah kota-kota gemerlapan ladang-ladang subur menghijau dan emas perak intan-berlian berkilauan. Kaum muslimin Arab sudah biasa menghadapi tantangan fisik dari musuh-musuh Islam yg hendak mencoba menghancurkan mereka tetapi kali ini tantangan yg harus dihadapi jauh lbh berat yaitu tantangan nafsu syaitan yg tiap saat menggelitik dari kiri-kanan muka-belakang.
Tantangan berat itulah yg mau tidak mau harus ditanggu¬langi oleh Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Berkat ketegasan sikap kejujuran dan keadilannya dan dgn dukungan para sahabat Rasul Allah s.a.w. yg tetap patuh pada tauladan beliau Khalifah Umar r.a. berhasil menekan dan membatasi sekecil-¬kecilnya penyelewengan yg dilakukan oleh sementara tokoh kaum muslimin. Pintu-pintu korupsi ditutup sedemikian rapat dan kuatnya. Tindakan tegas dan keras cepat pula diambil terha¬dap oknum-oknum yg bertindak tidak jujur terhadap kekayaan negara. Sudah tentu ia memperoleh dukungan yg kuat dari se¬mua kaum muslimin yg jujur sedangkan oknum-oknum yg berusaha keras memperkaya diri sendiri keluarga dan golongannya pasti melawan dan memusuhinya.
Selama berada di bawah pemerintahan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. musuh-musuh kaum muslimin memang tidak dapat berkutik. Namun bahaya latent yg berupa rayuan kesenangan hidup duniawi tetap tumbuh dari sela-sela ketatnya pengawasan Khalifah.
Dalam menghadapi tantangan yg sangat berat itu Khalifah Umar r.a. tidak sedikit menerima bantuan dari Imam Ali r.a. Dalam masa yg penuh dgn tantangan mental dan spiritual itu Imam Ali r.a. menunjukkan perhatiannya yg dalam.
Dengan segenap kemampuan dan kekuatannya Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. bersama para sahabat-sahabat Rasul Allah s.a.w. berusaha keras mengendalikan situasi yg hampir melun¬cur ke arah negatif.
Umar r.a. sering berkeliling tanpa diketahui orang utk me¬ngetahui kehidupan rakyat terutama mereka yg hidup sengsara. Dengan pundaknya sendiri ia memikul gandum yg hendak di-berikan sebagai bantuan kepada seorang janda yg sedang dita¬ngisi oleh anak-anaknya yg kelaparan.
Jika Umar r.a. mengeluarkan peraturan baru anggota-anggota keluarganya justru yg dikumpulkannya lbh dulu. Ia minta su¬paya semua anggota keluarganya menjadi contoh dalam melaksa¬nakan peraturan baru itu. Apabila di antara mereka ada yg mela¬kukan pelanggaran maka hukuman yg dijatuhkan kepada mere¬ka pasti lbh berat daripada kalau pelanggaran itu dilakukan oleh orang lain.
Dengan kekhalifahannya. itu Umar Ibnul Khattab r.a. telah menanamkan kesan yg sangat mendalam di kalangan kaum mus¬limin. Ia dikenang sebagai seorang pemimpin yg patut dicontoh dalam mengembangkan keadilan. Ia sanggup dan rela menempuh cara hidup yg tak ada bedanya dgn cara hidup rakyat jelata. Waktu terjadi paceklik berat sehingga rakyat hanya makan roti kering ia menolak diberi samin oleh seorang yg tidak tega me¬lihatnya makan roti tanpa disertai apa-apa. Ketika itu ia menga¬takan: “Kalau rakyat hanya bisa makan roti kering saja aku yg bertanggung jawab atas nasib mereka pun harus berbuat seperti itu juga.”
Memanggil calon pengganti
Kepemimpinan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. atas ummat Islam benar-benar memberikan ciri khusus kepada pertumbuhan Islam. Sumbangan yg diberikan bagi kemantapan hidup ke-negaraan dan kemasyarakatan ummat sungguh tidak kecil.
Umar Ibnul Khattab r.a. wafat setelah menderita sakit parah akibat luka-luka tikaman senjata tajam yg dilakukan secara gelap oleh seorang majusi bernama Abu Lu’lu-ah. Dalam keadaan kritis di atas pembaringan pemimpin ummat Islam ini masih sem¬pat meletakkan dasar prosedur bagi pemilihan Khalifah pengganti¬nya. Rasa tanggung jawabnya yg besar atas kesinambungan ke¬pemimpinan ummat Islam masih tetap merisaukan hatinya walaupun maut sudah berada di ambang kehidupannya.
Dalam saat yg gawat itulah ia meminta pendapat para pe¬nasehatnya yg dalam catatan sejarah terkenal dgn sebutan “Ahlu Syuro” tentang siapa yg layak menduduki atau meme¬gang pimpinan tertinggi ummat Islam.
Umar Ibnul Khattab r.a. memang terkenal sebagai tokoh besar yg memiliki jiwa kerakyatan. Sehingga ketika di antara penase¬hatnya ada yg mengusulkan supaya Abdullah bin Umar pu-tera sulungnya ditetapkan sebagai Khalifah pengganti dgn cepat Umar r.a menolak. Ia mengatakan: “Tak seorang pun dari dua orang anak lelakiku yg bakal meneruskan tugas itu. Cukuplah sudah apa yg sudah dibebankan kepadaku. Cukup Umar saja yg menanggung resiko. Tidak. Aku tidak sanggup lagi memikul tugas itu baik hidup ataupun mati!” Demikian kata Umar r.a. dgn suara berpacu mengejar tarikan nafas yg berat.
Sehabis mengucapkan kata-kata seperti di atas Umar r.a. lalu mengungkapkan bahwa sebelum wafat Rasul Allah s.a.w. telah merestui 6 orang sahabat dari kalangan Qureiys. Yaitu Ali bin Abi Thalib ‘Utsman bin Affan Thalhah bin ‘Ubaidillah Zubair bin Al ‘Awwam Sa’ad bin Abi Waqqash dan Abdurrahman bin ‘Auf. “Aku berpendapat” kata Umar r.a. lbh jauh “sebaiknya kuse¬rahkan kepada mereka sendiri supaya berunding siapa di antara mereka yg akan dipilih.”
Kemudian seperti berkata kepada diri sendiri ia berucap: “Jika aku menunjuk siapa orangnya yg akan menggantikan aku hal seperti itu pernah dilakukan oleh orang yg lbh baik dari aku yakni Abu Bakar Ash Shiddiq. Kalau aku tidak menunjuk siapa pun hal itu pun pernah dilakukan oleh orang yg lbh afdhal daripada diriku yakni Nabi Muhammad s.a.w.”
Tanpa menunggu tanggapan orang yg ada disekitarnya Kha¬lifah Umar r.a. kemudian memerintahkan supaya ke-enam orang tersebut di atas segera dipanggil.
Kondisi fisik Khalifah Umar r.a. yg terbaring tak berdaya itu tampak bertambah gawat pada saat keenam orang yg di¬panggil itu tiba. Ketika ia melihat ke-enam orang itu sudah penuh harap menantikan apa yg bakal diamanatkan dgn sisa-sisa
tenaganya Khalifah Umar r.a. berusaha memperlihatkan kete¬nangan. Tiba-tiba ia melontarkan suatu pertanyaan yg sukar dijawab oleh enam orang sahabatnya. “Apakah kalian ingin meng-gantikan aku setelah aku meninggal?”
Tentu saja pertanyaan yg dilontarkan secara tiba-tiba dan sukar dijawab itu sangat mengejutkan semua yg hadir. Mula-mu¬la mereka diam tertegun. Dan ketika Khalifah Umar r.a. menatap wajah mereka satu persatu masing-masing menunduk tercekam berbagai perasaan. Di satu fihak tentunya mereka itu sangat se¬dih melihat pemimpin mereka dalam kondisi fisik yg begitu me¬rosot. Tetapi di fihak lain mereka bingung tidak tahu kemana arah pertanyaan yg dilontarkan oleh seorang yg arif dan bijaksana itu. Karena tak ada yg menjawab Khalifah Umar r.a. mengu¬langi lagi pertanyaannya.
Setelah itu barulah Zubair bin Al-’Awwam menanggapi. Ia menjawab: “Anda telah menduduki jabatan itu dan telah melaksa¬nakan kewajiban dgn baik. Dalam qabilah Qureiys sebenarnya kami ini menempati kedudukan yg tidak lbh rendah diban¬ding dgn anda. Sedangkan dari segi keislaman dan hubungan kekerabatan dgn Rasul Allah s.a.w. kami pun tidak berada di bawah anda. Lalu apa yg menghalangi kami utk memikul tugas itu?”
Tampaknya kata-kata yg ketus itu dilontarkan Zubair kare¬na menyadari bahwa tokoh yg berbaring di hadapannya itu su¬dah dalam keadaan sangat gawat. Hal itu dapat kita ketahui dari komentar sejarah yg dikemukakan oleh seorang penulis terkenal Syeikh Abu Utsman Al Jahidz. Ia mengatakan: “Jika Zubair tahu bahwa Khalifah Umar r.a. akan segera wafat di depan matanya pasti ia tidak akan melontarkan kata-kata seperti itu dan bahkan tidak akan berani mengucapkan sepatah kata pun.”
Kata-kata Zubair bin Al ‘Awwam itu tidak langsung ditang¬gapi oleh Khalifah Umar r.a. Seakan-akan kata-kata itu tak pernah didengarnya. Dengan tersendat-sendat Khalifah Umar r.a. melan¬jutkan perkataannya: “Bisakah kuajukan kepada kalian peni¬laianku tentang diri kalian?”
Kembali Zubair menukas dgn nada sinis: “Katakan saja. Tokh kalau kami minta supaya kami dibiarkan anda akan tetap tidak membiarkan kami!”
Penilaian
Kata-kata Zubair ini tampaknya sangat menyakitkan telinga Khalifah Umar r.a. yg sabar itu. Sambil memandang tajam ke a¬rah Zubair Umar r.a. berkata: “Tentang dirimu Zubair… kau itu adl orang yg lancang mulut kasar dan tidak mempunyai pendirian tetap. Yang kausukai hanyalah hal-hal yg menyenangkan dirimu sendiri dan engkau membenci apa saja yg tidak kau¬sukai. Pada suatu ketika engkau benar-benar seorang manusia tetapi pada ketika yg lain engkau adl syaitan! Bisa jadi kalau kekhalifahan kuserahkan kepadamu pada suatu ketika eng-kau akan menampar muka orang hanya gara-gara gandum segan¬tang.”
Khalifah Umar menghentikan perkataannya sebentar seolah¬olah mengambil nafas utk mengumpulkan kekuatan dan me¬ngendalikan emosinya. Kemudian ia meneruskan: “Tahukah engkau jika kekuasaan kuserahkan kepadamu? Lalu siapa yg akan melindungi orang-orang pada saat engkau sedang menjadi syaitan? Yaitu pada saat engkau sedang dirangsang kemarahan?”
Tanpa menunggu jawaban Zubair Khalifah Umar r.a. me¬noleh kearah Thalhah bin Ubaidillah yg segera menundukkan kepala setelah melihat sorot mata pemimpin yg berwibawa itu. Bukan rahasia lagi di kalangan kaum muslimin pada masa itu bah¬wa sudah beberapa waktu lamanya Khalifah Umar r.a. memen¬dam rasa jengkel terhadap tokoh yg satu ini. Peristiwanya ber¬mula pada waktu Khalifah Abu Bakar r.a. masih hidup. Ketika itu Thalhah mengucapkan suatu kata kepada Abu Bakar r.a yg sangat tidak mengenakkan perasaan Umar Ibnul Khattab r.a
Setelah memandang Thalhah sejenak Khalifah Umar r.a. ber¬tanya: “Sebaiknya aku bicara atau diam saja?”
“Bicaralah!” sahut Thalhah dgn nada acuh tak acuh. “Tokh anda tidak akan berkata baik mengenai diriku!”
“Aku mengenalmu sejak jari-jarimu luka pada waktu perang Uhud” kata Khalifah Umar r.a. kepada Thalhah. “Dan aku juga mengenal kecongkakan yg pernah muncul pada dirimu. Rasul Allah wafat dalam keadaan beliau tidak senang kepadamu. Itu akibat kata-kata yg kauucapkan ketika ayat Al-Hijab turun.”(1)
Menurut catatan yg dibuat oleh Syeikh Abu Utsman Al Jahidz perkataan Thalhah yg dimaksud ialah ucapan kepada salah seorang sahabat. Kata-kata Thalhah itu akhirnya sampai juga ke telinga Rasul Allah s.a.w.: “Apa arti larangan itu baginya sekarang ini? Dia bakal mati. Lalu kita bakal menikahi permpuan-perempuan itu!”(2)
Habis berbicara tentang pribadi Thalhah Khalifah Umar r.a. melihat kepada Sa’ad bin Abi Waqqash. Kepadanya Umar r.a. berkata: “Engkau seorang yg mempunyai banyak kuda perang. Dengan kuda-kuda itu engkau telah berjuang dan berperang. Banyak sekali senjata yg kau miliki busur dan anak panahnya. Tetapi qabilah Zuhrah kurang tepat utk memangku jabatan Khalifah dan memimpin urusan kaum muslimin.”
Tibalah sekarang giliran Khalifah Umar r.a. menilai pribadi Abdurrahman bin ‘Auf yg rupanya sudah siap mendengarkan penilaiannya. “Jika separoh kaum muslimin imannya ditimbang dgn imanmu” kata Khalifah Umar r.a. “maka imanmulah yg lbh berat. Tetapi kekhalifahan tidak tepat kalau dipegang oleh seorang yg lemah seperti engkau. Qabilah Zuhrah kurang kena utk urusan itu.”
Abdurrahman tidak sepatah kata pun menanggapi penilaian Khalifah Umar r.a. atas dirinya. Ia membiarkan Khalifah berbicara lbh lanjut mengenai diri Iman Ali r.a. “Ya Allah alangkah tepat dan baiknya kalau anda tidak suka bergurau!” kata Khalifah Umar r.a. dgn nada suara yg agak meninggi. Kemudian de¬ngan suara merendah dikatakan: “Seandainya anda nanti yg akan memimpin ummat anda pasti akan membawa mereka me¬nuju kebenaran yg terang benderang.”
Imam Ali r.a. tampak terjengah dan tersipu-sipu mendengar ucapan orang yg sangat dikaguminya. Juga ia tidak membe¬rikan tanggapan terhadap penilaian yg positif atas dirinya. Kha¬lifah Umar r.a. akhirnya dgn serius menoleh kearah Utsman bin Affan r.a. Tangannya sudah makin melemah dan tenaganya sudah sangat berkurang. Tetapi ia memaksakan diri utk menilai orang keenam yg ada di hadapannya itu. “Aku merasa seakan-¬akan orang Qureiys telah mempercayakan kekhalifahan kepada anda” kata Khalifah dgn suara lembut “karena besarnya rasa kecintaan mereka kepada anda.”
Wajah Khalifah Umar r.a. mendadak kelihatan sendu se¬olah-olah sedang menahan perasaan getir yg menyelinap ke dalam kalbu. “Tetapi aku melihat nantinya anda akan meng¬angkat orang-orang Bani Umayyah dan Bani Mu’aith di atas orang¬orang lain. Kepada mereka anda akan menghamburkan harta ghanimah yg tidak sedikit.” Suara Khalifah meninggi pula: “Akhirnya akan ada segerombolan ’serigala’ Arab datang meng¬hampiri anda lalu mereka akan membantai anda di atas pem¬baringan.”
Dengan nada peringatan yg sungguh-sungguh Khalifah Umar r.a. mengakhiri kata-katanya: “Demi Allah jika anda sampai melakukan apa yg kubayangkan itu gerombolan ’sri¬gala’ itu pasti akan berbuat seperti yg kukatakan. Dan kalau yg demikian itu benar-benar terjadi ingatlah kepada kata-kata¬ku ini! Semua itu akan terjadi”(3)
Cara Pemilihan
Berbicara tentag wasyiat Khalifah Umar r.a. menjelang wafat nya Syeikh Abu Utsman Al Jahidz juga mengungkapkan ke¬terangan Mu’ammar bin Sulaiman At Taimiy yg diperol~h dari Ibnu Abbas. Yang tersebut belakangan ini diketahui pernah mendengar apa yg pernah dikatakan Umar Ibnul Khattab r.a. kepada para Ahlu Syuro menjelang wafatnya: “Jika kalian saling membantu saling percaya dan saling menasehati maka kuper¬cayakan kepemimpinan ummat kepada kalian bahkan sampai kepada anak cucu kalian. Tetapi kalau kalian saling dengki saling membenci saling menyalahkan dan saling bertentangan kepe¬mimpinan itu akhirnya akan jauth ke tangan Muawiyah bin Abu Sufyan!”.
Perlu diketahui bahwa ketika Khalifah Umar r.a. masih hidup Muawiyah bin Abu Sufyan sudah beberapa tahun lamanya menjabat sebagai kepala daerah Syam. Ia diangkat sebagai kepala daerah oleh Umar Ibnul Khattab r.a. Sejarah kemudian mencatat bahwa yg diperkirakan oleh Khalifah Umax r.a. menjelang akhir hayatnya menjadi kenyataan.
Klimaks dari penyampaian wasyiat oleh Khalifah Umar r.a. ialah memerintahkan supaya Abu Thalhah A1 Anshariy datang menghadap. Waktu orang yg dipanggil itu sudah berada di¬dekat pembaringannya berkatalah Khalifah Umar r.a. dgn tegas dan jelas seolah-olah sedang melepaskan sisa tenaganya yg terakhir:
“Abu Thalhah camkan baik-baik! Kalau kalian sudah selesai memakamkan aku panggillah 50 orang Anshar. Jangan lupa supaya masing-masing membawa pedang. Lalu desaklah mereka supaya segera menyelesaikan urusan mereka . Kumpulkan mereka itu dalam sebuah rumah. Engkau bersama-sama teman-i;emanmu berjaga jaga di pintu. Biar¬kan mereka bermusyawarah utk memilih salah seorang di an¬tara mereka.
“Jika yg Iima setuju dan ada satu yg menentang peng¬gallah leher orang yg menentang itu! J’ika empat orang setuju dan ada dua yg menentang penggallah leher dua orang itu! Jika tiga orang setuju dan tiga orang lainnya menentang tunggu dan lihat dulu kepada tiga orang yg diantaranya termasuk Abdurrahman bin ‘Auf. Kalian harus mendukung kesepakatan tiga orang ini. Kalau yg tiga orang lainnya masih bersikeras menen¬tangpenggal saja leher tiga orang yg bersikeras itu!.
“Jika sampai tiga hari enam orang itu belum juga mencapai kesepakatan utk menyelesaikan urusan mereka penggal saja leher enam orang itu semuanya. Biarlah kaum muslimin sendiri memilih siapa yg mereka sukai utk dijadikan pemimpin mereka !”.
Dari sekelumit informasi sejarah tersebut di atas kita menge¬tahui betapa tingginya rasa tanggung-jawab dan jiwa kerakyatan Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. Secara tertib dan terperinci sampai detik-detik menjelang ajalnya ia masih memikirkan cara¬cara pengangkatan seorang Khalifah yg akan mengantikannya. Sambil menahan rasa sakit akibat luka-luka tikaman sejata tajam ia masih sempat berusaha menyinambungkan kepemimpinan um¬mat Islam sebaik-baiknya.
BAB VIII
KHALIFAH UTSMAN BIN AFFAN R.A.
Setelah jenazah Umar Ibnul Khattab r.a. dimakamkan Abu Thalhah Al Anshariy segera mengumpulkan 6 orang Ahlu Syuro yg ditunjuk Umar r.a. di sebuah rumah. Sesuai dgn wasiyat Khalifah Umar r.a. maka 50 orang Anshar lengkap dgn pedangnya rnasing-masing ditugaskan menjaga pintu-pintu rumah. Kepada 6 orang itu dipersilakan berunding utk memilih siapa di antara mereka yg akan ditetapkan sebagai Khalifah pengganti Umar Ibnul Khattab r.a.
Pelaksanaan Pemilihan
Tentang pelaksanaan pemilihan Khalifah pengganti Umar r.a. terdapat beberapa riwayat. Menurut Abu Utsman Al-Jahidz pelaksanaannya sebagai berikut:
Keenam Ahlu Syuro itu mulai bermusyawarah dan ber¬debat. Thalhah bin Ubaidillah tampil sebagai pembicara pertama. Ia langsung saja mengatakan mendukung Utsman bin Affan sebagai calon Khalifah. Alasan yg diajukannya utk bersikap
demikian krn ia yakin tidak akan ada seorang pun yg akan mencalonkan dirinya sebagai Khalifah selama Imam Ali r.a. dan Utsman bin Affan r.a. masih ada.
Kemudian tampil Zubair bin Al ‘Awwam. Ia menentang pen¬calonan Utsman bin Affan r.a. seperti yg diajukan Thalhah. Ia memberikan dukungan kepada Imam Ali r.a. Orang memper-kirakan bahwa Zubair mencalonkan Imam Ali r.a. krn hubung¬an kekeluargaan. Seperti diketahui Zubair adl anak lelaki bibi Imam Ali Shafiyyah binti Abdul Mutthalib dan ayah Imam Ali r.a. sendiri adl saudara ibu Zubair.
Setelah ini muncul usul ketiga yg datangnya dari Sa’ad bin Abi Waqqash. Ia mengajukan misanannya sendiri anak pamannya yaitu Abdurrahman bin ‘Auf sebagai Khalifah. Usul Sa’ad ini pun masih berbau fikiran kekerabatan. Kedua-duanya berasal dari qabilah Bani Zuhrah. Selain itu Sa’ad sendiri pun sudah me¬rasa kecil kemungkinannya utk terpilih sebagai Khalifah.
Sekarang tinggal 3 orang yg belum mengajukan usul pen¬calonan. Abdurrahman kemudian bertanya kepada Imam Ali r.a. dan Utsman bin Affan r.a.: “Siapa di antara kalian berdua yg bersedia mengundurkan diri sebagai calon? Sebab masalah pe¬milihan sekarang ini hanya bergantung kepada kalian berdua.”
Ternyata tak seorang pun di antara dua tokoh itu yg menanggapi pertanyaan Abdurahman bin Auf. Setelah beberapa saat lamanya tidak ada jawaban dan semua mata tertuju kepada Imam Ali r.a. dan Utsman bin Affan r.a. Abdurrahman bin Auf berkata lagi: “Sekarang aku menyatakan menarik diri dari pen¬calonan.” Seterusnya ditambahkan: “Dengan demikian aku dapat memilih salah seorang di antara kalian berdua.”
Pernyataan Abdurrahman ini pun tidak ditanggapi baik oleh kedua orang calon maupun orang lainnya. Abdurrahman bin Auf kembali mengambil prakarsa utk melancarkan jalannya pe-milihan. Kepada Imam Ali r.a. ia bertanya: “Bagaimana kalau aku membai’at anda utk bekerja berdasarkan Kitab Allah Sunnah Rasul s.a.w. dan mengikuti jejak dua orang Khalifah yg lalu?”
Menghadapi pertanyaan yg agak mendadak itu dgn cepat Imam Ali r.a. menjawab: “Tidak! Aku menerima jika didasarkan kepada Kitab Allah Sunnah Rasul s.a.w. dan ijtihadku sendiri.”
Tanpa mengajukan pertanyaan lbh lanjut kepada Imam Ali r.a. Abdurrahman bin Auf mengajukan pertanyaan yg sama kepada Utsman bin Affan r.a. Dengan singkat dan tegas Utsman bin Affan r.a. menjawab: “ya!”
Mendengar jawaban Utsman bin Affan r.a. itu Abdurrahman masih tiga kali lagi mengajukan pertanyaan yg sama kepada Imam Ali r.a. Imam Ali r.a. tetap pada jawaban semula. Akhir¬nya Abdurrahman bin Auf mendekati Utsman bin Affan r.a. kemudian memegang tangannya. Ini sebagai tanda pembai’atan yg diberikannya kepada Utsman bin Affan r.a. Prakarsa Abdur-rahman bin Auf ternyata berhasil menyelesaikan pembai’atan Khalifah baru utk menggantikan Khalifah Tlmar r.a. yg te¬lah wafat.
Di samping versi Abu Utsman Al Jahidz ini ada pula versi lain tentang pemilihan Khalifah Utsman r.a. Di dalam versi lain itu dikatakan bahwa setelah beberapa hari melakukan penja-jagan akhirnya pada suatu hari Abdurrahman bin Auf memin¬ta kepada kaum muslimin supaya berkumpul di masjid Rasul Allah s.a.w. Dengan menggunakan sorban yg dahulu pernah dipakai oleh Rasul Allah s.a.w. dan dgn berdiri di atas mim¬bar pada jenjang tempat Rasul Allah s.a.w. dulu selalu berdiri Abdurrahman bin Auf mengucapkan do’a dgn suara lirih.
Sebenarnya perbuatan Abdurrahman seperti di atas menim¬bulkan keheranan di kalangan hadirin. Sebab baik Khalifah Abu Bakar r.a. maupun Khalifah Umar r.a. sendiri belum pernah ber¬buat demikian.
Sambil memandang ke tempat Imam Ali r.a. duduk Abdur¬rahman berseru dgn gaya penuh wibawa: “Hai Ali majulah engkau!”
Imam Ali r.a. segera memenuhi permintaan Abdurrahman bin Auf. Sebelum Imam Ali r.a. mengetahui benar apa yg menjadi maksud sahabatnya itu tiba-tiba Abdurrahman memegang tangannya sambil mengucapkan kata-kata dgn suara keras. Isi kata-katanya sama dgn apa yg telah dikemukakan oleh Abu Utsman Al-Jahidz di dalam bukunya. Begitu pula proses seterusnya.
Hanya dalam versi ini ditambahkan bahwa Abdurraman bin Auf menyambut kesanggupan Utsman bin Affan r.a. yg sudah berusia lanjut itu dgn berkata : “Ya Allah saksikanlah! Ya Allah saksikanlah!”
Imam Ali r.a. para sababat Rasul Allah s.a.w. lainnya dan semua yg hadir dalam masjid itu tanpa ragu-ragu menerima Us¬man bin Affan r.a. yg sudah berusia lanjut itu sebagai pemimpin tertinggi mereka yg baru.
Pembai’atan seorang Khalifah melalui pemilihan salah satu di antara 6 orang Ahlu Syuro merupakan kejadian pertama dalam sejarah kekhalifahan ummat Islam. Khalifah Abu Bakar r.a. di¬bai’at langsung oleh kaum muslimin. Khalifah Umar Ibnul Kha¬ttab r.a. ditetapkan berdasarkan wasiyat Kahlifah Abu Bakar r.a.
Akan tetapi sejalan dgn pembai’atan Utsman bin Affan r.a. sebagai Khalifah banyak sekali orang bertanya-tanya tentang jawaban yg diberikan Imam Ali r.a. kepada Abdurrahman bin Auf. Mengapa ia mengatakan “Tidak?”
Tidak ada seorang pun yg dapat memberikan jawaban pas¬ti. Imam Ali r.a. sendiri tidak pernah mengemukakan secara ter¬buka alasan apa yg melandasi jawabannya. Yang pasti Imam Ali r.a. tidak pernah menyesal krn ia gagal menjadi Khalifah disebabkan jawabannya itu. Dengan ikhlas ia menerima Utsman bin Affan r.a. sebagai Amirul Mukminin.
Sementara itu ada yg menafsirkan bahwa perkataan “Ti¬dak!” itu bukan ditujukan kepada pertanyaan Abdurrahman bin Auf yg berkaitan dgn keharusan berpegang kepada Ki¬tab Allah dan Sunnah Rasul Allah melainkan tertuju kepada ke¬harusan mengikuti jejak Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a.
Imam Ali r.a. tidak dapat membenarkan kebijaksanaan Khalifah Abu Bakar r.a. dalam mengambil keputusan tentang tanah Fadak. Yaitu tanah hak-guna Rasul Allah s.a.w. yg dica-but oleh Khalifah Abu Bakar r.a. sepeninggal beliau dan dijadikan ¬hak milik kaum muslimin . Demikian juga terhadap kebijaksanaan Khalifah Umar r.a. yg mengadakan penggolongan--penggolongan dalam membagi-bagikan kekayaan Baitul Mal ke¬pada kaum muslimin.
Terbuka Kesempatan
Peristiwa yg berlangsung secara wajar menurut norma ka¬um muslimin pada masa itu ternyata ditanggapi secara lain oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah. Peristiwa terbai’atnya Utsman bin Affan r.a. sebagai Khalifah diartikan oleh mereka sebagai awal ke¬menangan Bani Umayyah atas orang-orang Bani Hasyim.
Padahal Rasul Allah s.a.w. sendiri tidak pernah memandang ummatnya dari kaum apa atau dari keturunan mana. Semua kaum muslimin adl saudara. Prinsip yg mulia itu nampaknya tidak mudah direalisasi krn adat istiadat dan tradisi kuat yg ber¬abad-abad bercokol di kalangan orang-orang Arab.
Waktu Utsman bin Affan r.a. terpilih sebagai Khalifah pe¬nyakit sukuisme dan keqabilahan muncul kembali dan malah dibesar-besarkan oleh orang-orang Bani Umayyah. Imam Ali r.a. dan orang-orang dari Bani Hasyim lainnya mereka nilai seba¬gai mengalami kekalahan dalam persaingan melawan Utsman bin Affan r.a.; yg berasal dari Bani Umayyah.
Padahal Utsman bin Affan r.a. sendiri pada saat terbai’at sebagai Khalifah sama sekali tidak menyimpan fikiran seperti yg diteriakkan oleh kaum kerabatnya. Utsman bin Affan r.a. seorang sahabat terdekat Rasul Allah s.a.w. bahkan sampai dua kali ia
menjadi menantu Nabi. Pertama kali ia nikah dgn Roqayah binti Muhammad Rasul Allah s.a.w. Kemudian setelah Roqayah r.a. meninggal ia nikah lagi dgn Ummu Kaltsum binti Muham¬mad Rasul Allah s.a.w. Oleh krn itu Utsman bin Affan r.a. terkenal dgn sebutan “Dzun Nurain” . Ia memeluk Islam di tangan Abu Bakar r.a. dan setelah menjadi orang beriman ia sangat besar taqwanya kepada Allah dan setia kepada Rasul-Nya.
Dalam perjuangan utk kepentingan agama Allah dan per¬juangan Rasul-Nya Utsman bin Affan r.a. tidak pernah menghi¬tung-hitung untung rugi. Hampir semua kekayaannya harta ben¬da dan jiwanya diserahkan utk kepentingan menegakkan agama Allah. Ia terkenal pula dgn amal perbuatannya yg dgn uang dari kantong sendiri membeli sumber air jernih “Bir Romah” utk kepentingan semua kaum muslimin.
Utsman bin Affan r.a. jugalah yg dgn uangnya sendiri membayar harga tanah sekitar masjid Rasul Allah s.a.w. ketika masjid itu sudah terlampau sempit utk menampung jemaah yg bertambah membeludak. Pada waktu kaum muslimin meng¬hadapi paceklik hebat pada saat mana Rasul Allah s.a.w. telah mengambil keputusan utk memberangkatkan pasukan guna menghantam perlawanan Romawi Utsman bin Affan r.a. lah yg mengeluarkan uang dari koceknya utk membeli senjata dan per¬lengkapan perang lainnya. Ia memang seorang hartawan dan harta¬nya dihabiskan utk kepentingan Islam dan kaum muslimin.
Pada saat menerima tugas dan tanggung jawab sebagai Kha¬lifah Utsman bin Affan sudah lanjut usia. Kesempatan ini diper¬gunakan sebaik-baiknya oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah yg ada di sekelilingnya. Dalam hal ini yg paling menonjol peranannya ialah Marwan bin Al Hakam misanannya yg menjadi pem¬bantu utama paling dipercaya. Demikian juga Muawiyyah bin Abi Sufyan seorang Gubernur atau Kepala Daerah Syam daerah yg sangat makmur dan subur di sebelah utara jazirah Arab. Kedua tokoh Bani Umayyah itu mempergunakan peluang se¬cara maksimal ketika usia Khalifah Utsman r.a. makin lanjut dan tidak lagi aktif sepenuhnya mengatur kehidupan negara pe¬merintahan dan ummat. Secara pandai orang-orang itu merebut hati Khalifah menanamkan pengaruh dan memperkuat posisi mereka di bidang kekuasaan.
Gejala individualisme mementingkan diri sendiri dan go¬longan yg pada masa Khalifah Umar r.a. berhasil dipangkas tunas-tunasnya ternyata tumbuh kembali dgn suburnya ter¬utama pada masa-masa terakhir Khalifah Utsman r.a. Sistem pemerintahan yg sangat demokratis yg telah dirintis oleh Rasul Allah s.a.w. Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. setapak demi setapak digantikan dgn sistem oligarki oleh para pembantu Khalifah Utsman r.a. Harta Baitul Mal yg seharusnya digunakan utk kemaslahatan ummat Islam mulai banyak disalahgunakan. Muncullah penguasa-¬penguasa hartawan yg mempunyai ratusan ekor unta kuda dan hamba sahaya serta rumah-rumah indah di Bashrah Kufah dan Iskandariyah.
Melihat perkembangan ummat meluncur ke bawah ini Imam Ali r.a. tidak dapat berdiam diri. Sebagai sahabat baik dgn tu¬lus ikhlas diminta atau tidak diminta ia menyampaikan saran-sa¬ran nasehat-nasehat serta gagasan-gagasan kepada Khalifah Uts¬man r.a. Tentu saja sikap dan tindakan yg diambil Imam Ali r.a. menimbulkan rasa tidak senang bahkan sikap permusuhan dari mereka-mereka yg sedang meni’mati hasil perjuangan ummat Islam utk kepentingan diri mereka sendiri.
Cara hidup yg mementingkan kesenangan duniawi di kalangan para penguasa pemerintahan Khalifah dan sistem ke¬kuasaan yg berdasarkan kerabat dan keluarga telah membang¬kitkan rasa tidak puas yg semakin merata di kalangan ummat Islam khususnya di kalangan qabilah-qabilah tertentu yg hidup merana.
Khalifah Utsman r.a. sendiri dalam batas kemampuan yg ada pada dirinya telah berusaha utk mengatasi keadaan yg semakin kritis itu krn ia menyadari bahayanya bilamana dibiarkan begitu saja. Akan tetapi krn usianya yg telah lanjut
ia tidak berdaya menghadapi “permainan” Marwan bin Al-Ha¬kam dan Muawiyah bin Abi Sufyan. Khalifah Utsman praktis sudah tidak dapat lagi mengendalikan aparaturnya.
Dikorbankan
Apa yg di ramalkan oleh Khalifah Umar r.a. pada saat menjelang ajalnya ternyata memang benar-benar terjadi. Beberapa waktu setelah terbai’at sebagai Khalifah Utsman bin Affan r.a. mengangkat orang-orang dari kalangan Bani Umayyah dan di ¬tempatkan pada kedudukan-kedudukan penting atau lbh penting dibanding dgn orang-orang dari qabilah lain. Posisi-posisi pen¬ting dalam kekuasaan negara dibagi-bagikan kepada mereka. Kalau tidak sebagai Kepala Daerah atau Gubernur mereka diangkat sebagai panglima-panglima pasukan atau diserahi tanah-tanah yg sangat luas.
Salah satu prestasi besar selama kakhalifahan Utsman r.a. ummat lslam berhasil membebaskan Afrika Utara dari kekuasaan Byzantium. Sayangnya seperlima dari hasil harta jarahan yg didapat oleh kaum muslimin dari daerah-daerah Afrika Utara banyak yg dihadiahkan oleh Khalifah Utsman r.a. kepada para pembantunya terutama Marwan bin Al Hakam. Marwan ini adl kerabatnya dan kemudian dipungut sebagai menantu.
Ibnu Abil Hadid dalam bukunya Syarh Nahjil Balaghah jilid I halaman 97-152 telah mengungkapkan kebijaksanaan Khalifah Utsman r.a. yg dikendalikan oleh Marwan dan kawan-¬kawannya yg sangat meresahkan kaum muslimin.
Diantara tindakan-tindakan itu disebut pemberian uang sebanyak 400.000 dirham kepada Abdullah bin Khalid bin Asid. Khalifah Utsman r.a. juga merehabilitasi dan membolehkan Al-Hakam bin Al-Ash kembali bermukim di Madinah. Padahal Al-Hakam ini dahulu telah diusir oleh Rasul Allah s.a.w. dari kota suci itu krn penghianatannya terhadap kaum muslimin. Bah-kan oleh Khalifah ia diberi modal hidup berupa uang sebesar 100.000 dirham. Sedangkan Khalifah-khalifah yg terdahulu tidak ada yg berani melanggar keputusan yg telah diambil oleh Rasul Allah s.a.w. mengenai pengusiran Al-Hakam.
Masih ada lagi serentetan tindakan atau kebijaksanaan yg dilakukan oleh Khalifah Utsman r.a. atas desakan para penasehat dan pembantunya. Yaitu tindakan atau kebijaksanaan yg menyuburkan benih-benih ke-tidak-puasan di kalangan kaum muslimin. Sebuah tempat pusat perdagangan di kota Madinah yg waktu itu terkenal dgn nama “Mazhur” oleh Khalifah Utsman dikuasakan kepada Al-Harits bin Al-Hakam saudara Marwan bin Al-Hakam. Padahal tempat itu dahulunya oleh Rasul Allah s.a.w. telah diserahkan kepada kaum muslimin sebagai milik umum.
Begitu pula daerah Fadak yg dahulunya berupa tanah hak-guna Rasul Allah s.a.w.; oleh Khalifah diserahkan kepada pembantu dekatnya. Padahal tanah Fadak ini menurut hukum di bawah kekuasaan pribadi Rasul Allah s.a.w.
Dalam sejarah Islam daerah Fadak ini menjadi sangat ter¬kenal krn tuntutan dan gugatan yg diajukan oleh Sitti Fatimah r.a. kepada Khalifah Abu Bakar r.a. utk memperoleh hak atas tanah yg dahulu berada di bawah kekuasaan ayah¬andanya.
Khalifah Utsman r.a. juga mengeluarkan sebuah peraturan yg menggelisahkan penduduk Madinah. Di dalam peraturan itu ditetapkan bahwa padang ilalang sekitar kota yg secara tradi¬sional sudah menjadi padang penggembalaan umum dinyatakan tertutup kecuali bagi ternak milik orang-orang Bani Umayyah.
Lebih dari itu daerah Afrika Barat bagian utara yg se¬karang dikenal dgn wilayah-wilayah Marokko Aljazair Tunisia Libya dan terus ke timur sampai Mesir dikuasakan seluruhnya kepada Abdullah bin Abi Sarah dgn wewenang penuh. Ab¬dullah adl saudara sesusuan dgn Khalifah. Dengan kekua¬saan penuh itu Abdullah mempunyai posisi penguasa mutlak di -daerah itu seolah-olah seorang penguasa negara di dalam negara.
Kepada Abu Sufyan bin Harb yg dahulu terkenal peranan¬nya sebagai salah seorang tokoh paling getol memerangi Rasul Allah s.a.w. dan baru terpaksa masuk Islam setelah jatuhnya kota Makkah ke tangan kaum muslimin oleh Khalifah Utsman r.a. di¬beri hadiah sebesar 200.000 dirham. Uang itu diambil dari Baitul Mal. Sedangkan ketika Marwan bin Al-Hakam dipungut sebagai menantu utk dinikahkan dgn puterinya yg bernama Aban Khalifah Utsman r.a. membekalinya lagi dgn uang sebesar 100.000 dirham juga diambil dari Baitul Mal.
Sebenarnya semua kebijaksanaan yg dilakukan Khalifah Utsman r.a. merupakan pelaksanaan imla yg disodorkan para pembantu yg diberi kepercayaan penuh. Khalifah Uts¬man r.a. menyadari bahwa pribadinya ditunggangi sedemikian rupa dan sedang digiring ke marabahaya yg sangat fatal oleh orang-orang kepercayaannya. Seorang Khalifah yg kurang lbh berusia 80 tahun itu oleh tokoh-tokoh Bani Umayyah dikorbankan utk kepentingan pribadi-pribadi golongan dan qabilah.
Penyalahgunaan harta Baitul Mal seperti tersebut di atas sudah tentu menimbulkan kegelisahan masyarakat muslimin pada masa itu. Sebuah riwayat mengisahkan ketika Khalifah Utsman r.a. mengambil uang 100.000 dirham dari Baitul Mal utk diserahkan kepada menantunya Marwan bin Al Hakam datanglah pengurus Baitul Mal bernama Zaid bin Arqam menghadap Kha¬lifah. Ia datang sambil menangis utk menyerahkan kunci Baitul Mal.
Dengan keheran-heranan. Khalifah bertanya kepada Zaid bin Arqam: “Mengapa engkau menangis? Apakah krn aku hendak memungut Marwan bin Al-Hakam jadi menantu?”
“Tidak” jawab Zaid sambil menundukkan kepala dan me¬ngusap air mata. “Aku menangis krn aku menduga anda me¬ngambil harta Baitul Mal itu sebagai pengganti kekayaan anda yg dahulu anda infakkan di jalan Allah yaitu pada masa Rasul Allah
s.a.w. masih hidup. Demi Allah uang 100.000 dirham yg anda berikan kepada Marwan itu sungguh terlampau banyak.”
“Hai Ibnu Arqam letakkan kunci itu!” hardik Khalifah de¬ngan wajah merah padam. “Kami bisa mendapatkan orang lain yg tidak seperti engkau.”
Pada masa itu kaum muslimin benar-benar merasakan adanya perbedaan yg sangat menyolok antara kebijaksanaan yg di¬lakukan Khalifah-khalifah terdahulu dgn penerusnya yg sekarang ini. Aparatur pemerintahan Khalifah tidak mau me¬nanggulangi sehingga keamanan dan ketertiban sangat terganggu. Ini menambah keresahan dan kecemasan penduduk.
Banyak para sahabat Rasul Allah s.a.w. yg heran menyaksi¬kan tindakan-tindakan Khalifah Utsman r.a. Sebab mereka tahu ia terkenal sebagai seorang sahabat terdekat Nabi Muhammad. Seorang mukmin yg taqwa dan shaleh tidak pernah memen¬tingkan diri sendiri atau golongannya. Dermawan besar yg tak pernah menghitung-hitung untung-rugi dan resiko dalam berjuang utk kejayaan Islam dan kaum muslimin.
Abu Dzar dibuang
Abu Dzar Al-Ghifari adl salah seorang sahabat Rasul Allah s.a.w. yg paling tidak disukai oleh oknum-oknum Bani Umayyah yg mendominasi pemerintahan Khalifah Utsman r.a. seperti Marwan bin Al-Hakam Muawiyyah bin Abu Sufyan dan lain-lain.
Ia berasal dari qabilah Bani Ghifar. Suatu qabilah yg pada masa pra-Islam terkenal amat liar kasar dan pemberani. Tidak sedikit kafilah Arab yg lewat daerah pemukiman mereka men¬jadi sasaran penghadangan pencegatan dan perampasan. Abu Dzar sendiri seorang pemimpin terkemuka di kalangan mereka.
Ia mempunyai sifat-sifat pemberani terus terang dan jujur. Ia tidak menyembunyikan sesuatu yg menjadi pemikiran dan pendiriannya.
Ia mendapat hidayat Allah s.w.t. dan memeluk Islam di kala Rasul Allah s.a.w. menyebarkan da’wah risalahnya secara rahasia dan diam-diam. Ketika itu Islam baru dipeluk kurang lbh oleh 10 orang. Akan tetapi Abu Dzar tanpa menghitung-hitung resiko mengumumkan secara terang-terangan keislamannya di hadapan orang-orang kafir Qureiys. Sekembalinya ke daerah pemukimannya dari Makkah Abu Dzar berhasil mengajak semua anggota qabilahnya memeluk agama Islam. Bahkan qabilah lain yg berdekatan yaitu qabilah Aslam berhasil pula di Islamkan.
Demikian gigih berani dan cepatnya Abu Dzar bergerak menyebarkan Islam sehingga Rasul Allah s.a.w. sendiri merasa kagum dan menyatakan pujiannya. Terhadap Bani Ghifar dan Bani Aslam Nabi Muhammad s.a.w. dgn bangga mengucapkan: “Ghifar… Allah telah mengampuni dosa mereka! Aslam… Allah menyelamatkan kehidupan mereka!”
Sejak menjadi orang muslim Abu Dzar benar-benar telah menghias sejarah hidupnya dgn bintang kehormatan tertinggi. Dengan berani ia selalu siap berkorban utk menegakkan ke-benaran Allah dan Rasul-Nya.Tanpa tedeng aling-aling ia bangkit memberontak terhadap penyembahan berhala dan kebatilan dalam segala bentuk dan manifestasinya. Kejujuran dan kesetiaan Abu Dzar dinilai oleh Rasul Allah s.a.w. sebagai “cahaya terang ben¬derang.”
Pada pribadi Abu Dzar tidak terdapat perbedaan antara lahir dan batin. Ia satu dalam ucapan dan perbuatan. Satu dalam fikiran dan pendirian. Ia tidak pernah menyesali diri sendiri atau orang lain namun ia pun tidak mau disesali orang lain.
Kesetiaan pada kebenaran Allah dan Rasul-Nya terpadu erat degan keberaniannya dan ketinggian daya-juangnya. Dalam berjuang melaksanakan perintah Allah s.w.t. dan Rasul-Nya Abu Dzar benar-benar serius keras dan tulus. Namun demikian ia tidak meninggalkan prinsip sabar dan hati-hati.
Pada suatu hari ia pernah ditanya oleh Rasul Allah s.a.w. tentang tindakan apa kira-kira yg akan diambil olehnya jika di kemudian hari ia melihat ada para penguasa yg mengang¬kangi harta ghanimah milik kaum muslimin. Dengan tandas Abu Dzar menjawab: “Demi Allah yg mengutusmu mem¬bawa kebenaran mereka akan kuhantam dgn pedangku!”
Menanggapi sikap yg tandas dari Abu Dzar ini Nabi Muhammad s.a.w. sebagai pemimpin yg bijaksana memberi pengarahan yg tepat. Beliau berkata: “Kutunjukkan cara yg lbh baik dari itu. Sabarlah sampai engkau berjumpa dgn aku di hari kiyamat kelak!” Rasul Allah s.a.w. mencegah Abu Dzar menghunus pedang. Ia dinasehati berjuang dgn senjata lisan.
Sampai pada masa sepeninggal Rasul Allah s.a.w. Abu Dzar tetap berpegang teguh pada nasehat beliau. Di masa Khalifah Abu Bakar r.a. gejala-gejala sosial ekonomi yg dicanangkan oleh Rasul Allah s.a.w. belum muncul. Pada masa Khalifah Umar Ibnul Khattab r.a. berkat ketegasan dan keketatannya dalam ber¬tindak mengawasi para pejabat pemerintahan dan kaum muslimin penyakit berlomba mengejar kekayaan tidak sempat berkembang di kalangan masyarakat. Tetapi pada masa-masa terakhir pemerin¬tahan Khalifah Utsman bin Affan r.a. penyakit yg membahaya¬kan kesentosaan ummat itu bermunculan laksana cendawan di musim hujan. Khalifah Utsman bin Affan r.a. sendiri tidak ber¬daya menanggulanginya. Nampaknya krn usia Khalifah Utsman r.a. sudah lanjut serta pemerintahannya didominasi sepenuhnya oleh para pembantunya sendiri yg terdiri dari golongan Bani Umayyah.
Pada waktu itu tidak sedikit sahabat Rasul Allah s.a.w. yg hidup serba kekurangan hanya krn mereka jujur dan setia kepada ajaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Sampai ada salah seorang di antara mereka yg menggadai hanya sekedar utk dapat membeli beberapa potong roti. Padahal para pengua¬sa dan orang-orang yg dekat dgn pemerintahan makin ber¬tambah kaya dan hidup bermewah-mewah. Harta ghanimah dan Baitul Mal milik kaum muslimin banyak disalah-gunakan untuk
kepentingan pribadi keluarga dan golongan. Di tengah-tengah keadaan seperti itu para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. dan kaum muslimin pada umumnya dapat diibaratkan seperti ayam mati kelaparan di dalam lumbung padi.
Melihat gejala sosial dan ekonomi yg bertentangan dgn ajaran Islam Abu Dzar Al-Ghifari sangat resah. Ia tidak dapat berpangku tangan membiarkan kebatilan merajalela. Ia tidak betah lagi diam di rumah walaupun usia sudah menua. Dengan pedang terhunus ia berangkat menuju Damsyik. Di tengah jalan ia teringat kepada nasihat Rasul Allah s.a.w.: jangan menghunus pedang. Ber¬juang sajalah dgn lisan! Bisikan suara seperti itu terngiang-ngi¬ang terus di telinganya. Cepat-cepat pedang dikembalikan kesa¬rungnya.
Mulai saat itu Abu Dzar dgn senjata lidah berjuang mem¬peringatkan para penguasa dan orang-orang yg sudah tenggelam dalam perebutan harta kekayaan. Ia berseru supaya mereka kem¬bali kepada kebenaran Allah dan tauladan Rasul-Nya. Pada waktu Abu Dzar bermukim di Syam ia selalu memperingatkan orang: “Barang siapa yg menimbun emas dan perak dan tidak meng¬infaqkannya di jalan Allah maka beritahukanlah kepada mereka bahwa mereka akan mendapat siksa yg Pedih. Pada hari kiamat
Di Syam Abu Dzar memperoleh banyak pendukung. Umum¬nya terdiri dari fakir miskin dan orang-orang yg hidup sengsara. Makin hari pengaruh kampanyenya makin meluas. Kampanye Abu Dzar ini merupakan suatu gerakan sosial yg menuntut ditegak¬kannya kembali prinsip-prinsip kebenaran dan keadilan sesuai de¬ngan perintah Allah dan ajaran Rasul-Nya.
Muawiyah bin Abi Sufyan yg menjabat kedudukan sebagai penguasa daerah Syam memandang kegiatan Abu Dzar sebagai bahaya yg dapat mengancam kedudukannya. Untuk memben¬dung kegiatan Abu Dzar Muawiyyah menempuh berbagai cara guna mengurangi pengaruh kampanyenya. Tindakan Muawiyyah itu tidak mengendorkan atau mengecilkan hati Abu Dzar. Ia tetap berkeliling kemana-mana sambil berseru kepada tiap orang: “Aku sungguh heran melihat orang yg di rurnahnya tidak mem¬punyai makanan tetapi ia tidak mau keluar menghunus pedang!”
Seruan Abu Dzar yg mengancam itu menyebabkan makin banyak lagi jumlah kaum muslimin yg menjadi pendukungnya. Bersama dgn itu para penguasa dan kaum hartawan yg telah memperkaya diri dgn cara yg tidak jujur sangat cemas.
Keberanian Abu Dzar dalam berjuang tidak hanya dapat dibuktikan dgn pedang tetapi lidahnya pun dipergunakan utk membela kebenaran. Di mana-mana ia menyerukan ajar¬an-ajaran kemasyarakatan yg pernah didengarnya sendiri dari Rasul Allah s.a.w.: “Semua manusia adl sama hak dan sama derajat laksana gigi sisir…” “Tak ada manusia yg lbh afdhal selain yg lbh besar taqwanya…” “Penguasa adl abdi masyarakat” “Tiap orang dari kalian adl penggembala dan tiap penggembala bertanggung jawab atas kegembalaannya..” dan lain sebagainya.
Para penguasa Bani Umayyah dan orang-orang yg ber¬gelimang dalam kehidupan mewah sangat kecut menyaksikan kegiatan Abu Dzar. Hati nuraninya mengakui kebenaran Abu Dzar tetapi lidah dan tangan mereka bergerak di luar bisikan hati nura¬ni. Abu Dzar dimusuhi dan kepadanya dilancarkan berbagai tuduh¬an. Tuduhan-tuduhan mereka itu tidak dihiraukan oleh Abu Dzar. Ia makin bertambah berani.
Pada suatu hari dgn sengaja ia menghadap Muawiyah penguasa daerah Syam. Dengan tandas ia menanyakan tentang kekayaan dan rumah milik Muawiyyah yg ditinggalkan di Mak¬kah sejak ia menjadi penguasa Syam. Kemudian dgn tanpa ra¬sa takut sedikit pun ditanyakan pula asal-usul kekayaan Muawiy¬yah yg sekarang! Sambil menuding Abu Dzar berkata: “Bu¬kankah kalian itu yg oleh Al-Qur’an disebut sebagai penumpuk emas dan perak dan yg akan dibakar tubuh dan mukanya pada hari kiyamat dgn api neraka?!”
Betapa pengapnya Muawiyah mendengar kata-kata Abu Dzar yg terus terang itu! Muaw iyah bin Abu Sufyan memang bukan orang biasa. Ia penguasa. Dengan kekuasaan di tangan ia dapat berbuat apa saja. Abu Dzar dianggap sangat berbahaya. Ia harus disingkirkan. Segera ditulis sepucuk surat kepada Khalifah Utsman r.a. di Madinah. Dalam surat itu Muawiyah melaporkan tentang Abu Dzar menghasut orang banyak di Syam. Disarankan supaya Khalifah mengambil salah satu tindakan. Berikan ke¬kayaan atau kedudukan kepada Abu Dzar. Jika Abu Dzar menolak dan tetap hendak meneruskan kampanyenya kucilkan saja di pem¬buangan.
Khalifah Utsman r.a. melaksanakan surat Muawiyah itu. Abu Dzar dipanggil menghadap. Kepada Abu Dzar diajukan dua pili¬han: kekayaan atau kedudukan. Menanggapi tawaran Khalifah itu Abu Dzar dgn singkat dan jelas berkata: “Aku tidak membu¬tuhkan duniamu!”
Khalifah Utsman r.a. masih terus menghimbau Abu Dzar. Di¬kemukakannya: “Tinggal sajalah di sampingku!”
Sekali lagi Abu Dzar mengulangi kata-katanya: “Aku tidak membutuhkan duniamu!”
Sebagai orang yg hidup zuhud dan taqwa Abu Dzar ber¬juang semata-mata utk menegakkan kebenaran dan keadilan yg diperintahkan Allah dan Rasul-Nya. Abu Dzar hanya meng-hendaki supaya kebenaran dan keadilan Allah ditegakkan seperti yg dulu telah dilaksanakan oleh Rasul Allah s.a.w. Khalifah Abu Bakar r.a. dan Khalifah Umar r.a. Memang justru itulah yg sangat sukar dilaksanakan oleh Khalifah Utsman r.a. sebab ia ha¬rus memotong urat nadi para pembantu dan para penguasa bawah¬annya.
Abu Dzar tidak bergeser sedikit pun dari pendiriannya. A¬khirnya atas desakan dan tekanan para pembantu dan para pe¬nguasa Bani UmayyahKhalifah Utsman r.a. mengambil keputu¬san: Abu Dzar harus dikucilkan dalam pembuangan di Rabadzah. Tak boleh ada seorang pun mengajaknya berbicara dan tak boleh ada seorang pun yg mengucapkan selamat jalan atau mengantar¬kannya dalam perjalanan.
Bagi Abu Dzar pembuangan bukan apa-apa. Sekuku-hitam pun ia tidak syak bahwa Allah s.w.t. selalu bersama dia. Kapan saja dan di mana saja. Menanggapi keputusan Khalifah Utsman r.a. ia berkata: “Demi Allah seandainya Utsman hendak menyalib¬ku di kayu salib yg tinggi atau di atas bukit aku akan taat sabar dan berserah diri kepada Allah. Aku pandang hal itu lbh baik bagiku. Seandainya Utsman memerintahkan aku harus ber¬jalan dari kutub ke kutub lain aku akan taat sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupandang hal itu lbh baik bagiku. Dan se¬andainya besok ia akan mengembalikan diriku ke rumah pun akan kutaati aku akan sabar dan berserah diri kepada Allah. Kupan¬dang hal itu lbh baik bagiku.”
Itulah Abu Dzar Ghifari pejuang muslim tanpa pamrih duniawi yg semata-mata berjuang utk menegakkan kebenaran dan keadilan demi keridhoan Al Khalik. Ia seorang pahlawan yg dgn gigih dan setia mengikuti tauladan Nabi Muhammad s.a.w. Ia seorang zahid yg penuh taqwa kepada Allah dan Rasul-Nya tidak berpangku tangan membiarkan kebatilan melanda ummat.
Peristiwa dibuangnya Abu Dzar Al Ghifari ke Rabadzah sa¬ngat mengejutkan kaum muslimin khususnya para sahabat Nabi Muhammad s.a.w. Imam Ali r.a. sangat tertusuk perasaannya. Bersama segenap anggota keluarga ia menyatakan rasa sedih dan simpatinya yg mendalam kepada Abu Dzar.
Abu Bakar Ahmad bin Abdul Aziz Al Jauhariy dalam buku¬nya As Saqifah berdasarkan riwayat yg bersumber pada Ibnu Abbas menuturkan antara lain tentang pelaksanaan keputusan Khalifah Utsman r.a. di atas:
Khalifah Utsman r.a. memerintahkan Marwan bin Al Hakam membawa Abu Dzar berangkat dan mengantarnya sampai di tengah perjalanan. Tak ada seorang pun dari penduduk yg berani mendekati Abu Dzar kecuali Imam Ali r.a. Aqil bin Abi Thalib dan dua orang putera Imam Ali r.a. yaitu Al-Hasan r.a. dan Al Husein r.a. Beserta mereka ikut pula Ammar bin Yasir.
Menjelang saat keberangkatannya Al Hasan mengajak Abu Dzar bercakap-cakap. Mendengar itu Marwan bin Al-Hakam dgn bengis menegor: “Hai Hasan apakah engkau tidak me¬ngerti bahwa Amirul Mukminin melarang bercakap-cakap dgn orang ini? Kalau belum mengerti ketahuilah sekarang!”
Melihat sikap Marwan yg kasar itu Imam Ali r.a. tak dapat menahan letupan emosinya. Sambil membentak ia mencam¬buk kepala unta yg dikendarai oleh Marwan: “Pergilah engkau dari sini! Allah akan menggiringmu ke neraka.”
Sudah tentu unta yg dicambuk kepalanya itu meronta-¬ronta kesakitan. Marwan sangat marah tetapi ia tidak punya keberanian melawan Imam Ali r.a. Cepat-cepat Marwan kembali menghadap Khalifah utk mengadukan perbuatan Imam Ali r.a. Khalifah Utsman meluap krn merasa perintahnya tidak dihiraukan oleh Imam Ali r.a. dan anggota-anggota keluarganya.
Tindakan Imam Ali r.a. terhadap Marwan itu ternyata men¬dorong orang lain berani mendekati Abu Dzar guna mengucap¬kan selamat jalan. Di antara mereka itu terdapat seorang bernama Dzakwan maula Ummi Hani binti Abu Thalib.
Dzakwan di kemudian hari Menceritakan pengalamannya sebagai berikut: Aku ingat benar apa yg dikatakan oleh mereka. Kepada Abu Dzar Ali bin Abi Thalib mengatakan: “Hai Abu Dzar engkau marah demi krn Allah! Orang-orang itu yakni para penguasa Bani Umayyah takut kepadamu sebab mereka takut kehilangan dunianya. Oleh krn itu mereka mengusir dan mem¬buangmu. Demi Allah seandainya langit dan bumi tertutup ra¬pat bagi hamba Allah tetapi hamba itu kemudian penuh taqwa kepada Allah pasti ia akan dibukakan jalan keluar. Hai Abu Dzar tidak ada yg menggembirakan hatimu selain kebenaran dan tidak ada yg menjengkelkan hatimu selain kebatilan!”
Atas dorongan Imam Ali r.a. Aqil berkata kepada Abu Dzar: “Hai Abu Dzar apa lagi yg hendak kukatakan kepadamu! Engkau tahu bahwa kami ini semua mencintaimu dan kami pun tahu bahwa engkau sangat mencintai kami juga. Bertaqwa sa¬jalah sepenuhnya kepada Allah sebab taqwa berarti selamat. Dan bersabarlah krn sabar sama dgn berbesar hati. Ke¬tahuilah tidak sabar sama artinya dgn takut dan mengharap¬kan maaf dari orang lain sama artinya dgn putus asa. Oleh ka¬rena itu buanglah rasa takut dan putus asa.”
Kemudian Al-Hasan berkata kepada Abu Dzar: “Jika seorang yg hendak mengucapkan selamat jalan diharuskan diam dan orang yg mengantarkan saudara yg berpergian harus segera pulang tentu percakapan akan menjadi sangat sedikit sedangkan sesal dan iba akan terus berkepanjangan. Engkau menyaksikan sendiri banyak orang sudah datang menjumpaimu. Buang saja¬lah ingatan tentang kepahitan dunia dan ingat saja kenangan manisnya. Buanglah perasaan sedih mengingat kesukaran di masa silam dan gantikan saja dgn harapan masa mendatang. Sabarkan hati sampai kelak berjumpa dgn Nabi-mu dan beliau itu benar-benar ridho kepadamu.”
Setelah Al Hasan kini berkatalah Al Husein: “Hai paman sesungguhnya Allah s.w.t. berkuasa mengubah semua yg paman alami. Tidak ada sesuatu yg lepas dari pengawasan dan kekua-saan-Nya. Mereka berusaha agar paman tidak mengganggu dunia mereka. Betapa butuhnya mereka itu kepada sesuatu yg hendak paman cegah! Berlindunglah kepada Allah s.w.t. dari keserakahan dan kecemasan. Sabar merupakan bagian dari ajaran agama dan sama artinya dgn sifat pemurah. Keserakahan tidak akan mem¬percepat datangnya rizki dan kebatilan tidak akan menunda da¬tangnya ajal!”
Dengan nada marah Ammar bin Yasir menyambung: “Allah tidak akan membuat senang orang yg telah membuatmu sedih dan tidak akan menyelamatkan orang yg menakut-nakutimu. Seandainya engkau puas melihat perbuatan mereka tentu mereka akan menyukaimu. Yang mencegah orang supaya tidak mengata¬kan seperti yg kaukatakan hanyalah orang-orang yg merasa puas dgn dunia. Orang-orang seperti itu takut menghadapi maut dan condong kepada kelompok yg berkuasa. Kekuasaan hanyalah ada pada orang-orang yg menang. Oleh krn itu ba¬nyak orang “menghadiahkan” agamanya masing-masing kepada mereka dan sebagai imbalan mereka memberi kesenangan du¬niawi kepada orang-orang itu. Dengan berbuat seperti itu se¬benarnya mereka menderita kerugian dunia dan akhirat. Bukan-kah itu suatu kerugian yg senyata-nyatanya?!”
Sambil berlinangan air mata Abu Dzar berkata: “Semoga Allah merahmati kalian wahai Ahlu Baitur Rahman! Bila melihat kalian aku teringat kepada Rasul Allah s.a.w. Suka-dukaku di Madinah selalu bersama kalian. Di Hijaz aku merasa berat krn Utsman dan di Syam aku merasa berat krn Muawiyah. Mereka tidak suka melihatku berada di tengah-tengah saudara-saudaraku di kedua tempat itu. Mereka memburuk-burukkan diriku lalu aku diusir dan dibuang ke satu daerah di mana aku tidak akan mem¬punyai penolong dan pelindung selain Allah s.w.t. Demi Allah aku tidak menginginkan teman selain Allah s.w.t. dan bersama-Nya aku tidak takut menghadapi kesulitan…”
Tutur Dzakwan lbh lanjut: Setelah semua orang yg me¬ngantarkan pulang Imam Ali r.a. segera datang menghadap Kha¬lifah Utsman bin Affan r.a. Kepada Imam Ali r.a. Khalifah ber¬tanya dgn hati gusar: “Mengapa engkau berani mengusir pulang petugasku -yakni Marwan- dan meremehkan perintahku?”
“Tentang petugasmu” jawab Imam Ali r.a. dgn tenang “ia mencoba menghalang-halangi niatku. Oleh krn itu ia ku¬balas. Adapun tentang perintahmu aku tidak meremehhannya.”
“Apakah engkau tidak mendengar perintahku yg melarang orang bercakap-cakap dgn Abu Dzar?” ujar Khalifah dgn marah.
“Apakah tiap engkau mengeluarkan larangan yg ber¬sifat kedurhakaan harus kuturut?” tanggap Imam Ali r.a. ter¬hadap kata-kata Khalifah tadi dalam bentuk pertanyaan.
“Kendalikan dirimu terhadap Marwan!” ujar Khalifah mem¬peringatkan Imam Ali r.a.
“Mengapa?” tanya Imam Ali r.a.
“Engkau telah memaki dia dan mencambuk unta yg di¬kendarainya” jawab Khalifah.
“Mengenai untanya yg kucambuk” Imam Ali menjelas¬kan sebagai tanggapan atas keterangan Khalifah Utsman r.a. “bolehlah ia membalas mencambuk untaku. Tetapi kalau dia sampal memaki diriku tiap satu kali dia memaki engkau sendiri akan kumaki dgn makian yg sama. Sungguh aku tidak berkata bohong kepadamu!”
“Mengapa dia tidak boleh memakimu?” tanya Khalifah Utsman r.a. dgn mencemooh. “Apakah engkau lbh baik dari dia?!”
“Demi Allah bahkan aku lbh baik daripada engkau!” sahut Imam Ali r.a. dgn tandas. Habis mengucapkan kata-kata itu Imam Ali r.a. cepat-cepat keluar meninggalkan tempat.
Beberapa waktu setelah terjadi insiden itu Khalifah Utsman r.a. memanggil tokoh-tokoh kaum Muhajirin dan Anshar termasuk tokoh-tokoh Bani Umayyah. Di hadapan mereka itu ia menyata¬kan keluhannya terhadap sikap Imam Ali r.a.
Menanggapi keluhan Khalifah Utsman bin Affan r.a. para pemuka yg beliau ajak berbicara menasehatkan: “Anda adl pemimpin dia. Jika anda mengajak berdamai itu lbh baik.”
“Aku memang menghendaki itu” jawab Khalifah Utsman r.a. Sesudah ini beberapa orang dari pemuka muslimin itu me¬ngambil prakarsa utk menghapuskan ketegangan antara Imam Ali r.a. dan Khalifah Utsman r.a. Mereka menghubungi Imam Ali r.a. di rumahnya. Kepada Imam Ali r.a. mereka bertanya: “Bagaimana kalau anda datang kepada Khalifah dan Marwan utk meminta maaf?”
“Tidak” jawab Imam Ali r.a. dgn cepat. “Aku tidak akan datang kepada Marwan dan tidak akan meminta maaf kepadanya. Aku hanya mau minta maaf kepada Utsman dan aku mau datang kepadanya.”
Tak lama kemudian datanglah panggilan dari Khalifah Utsman r.a. Imam Ali r.a. datang bersama beberapa orang Bani Hasyim. Sehabis memanjatkan puji syukur ke hadirat Allah s.w.t. Imam Ali r.a. berkata: “Yang kauketahui tentang percakapanku dgn Abu Dzar waktu aku mengantar keberangkatannya demi Allah tidak bermaksud mempersulit atau menentang keputus¬anmu. Yang kumaksud semata-mata hanyalah memenuhi hak Abu Dzar. Ketika itu Marwan menghalang-halangi dan hendak mencegah supaya aku tidak dapat memenuhi hak yg telah diberikan Allah ‘Azza wa Jalla kepada Abu Dzar. Karena itu aku terpaksa menghalang-halangi Marwan sama seperti dia mengha¬lang-halangi maksudku. Adapun tentang ucapanku kepadamu itu dikarenakan engkau sangat menjengkelkan aku sehingga keluar¬lah marahku yg sebenarnya aku sendiri tidak menyukainya.”
Sebagai tanggapan atas keterangan Imam Ali r.a. tersebut Khalifah Utsman r.a. berkata dgn nada lemah lembut: “Apa yg telah kau ucapkan kepadaku sudah kuikhlaskan. Dan apa yg telah kaulakukan terhadap Marwan Allah sudah memaaf¬kan perbuatanmu. Adapun mengenai apa yg tadi engkau sam¬pai bersumpah jelas bahwa engkau memang bersungguh-sungguh dan tidak berdusta. Oleh krn itu ulurkanlah tanganmu..!”
Imam Ali r.a. segera mengulurkan tangan kemudian ditarik oleh Khalifah Utsman r.a. dan dilekatkan pada dadanya.(4)
Bagaimana keadaan Abu Dzar Al Ghifari di tempat pembu¬angannya? Ia mati kelaparan bersama isteri dan anak-anaknya. Ia wafat dalam keadaan sangat menyedihkan sehingga batu pun bisa turut menangis sedih!
Menurut riwayat tentang penderitaannya dan kesengsaraan¬nya di tempat pembuangan dituturkan sebagai berikut:
Setelah ditinggal mati oleh anak-anaknya ia bersama isteri hidup sangat sengsara. Berhari-hari sebelum akhir hayatnya ia bersama isteri tidak menemukan makanan sama sekali. Ia me¬ngajak isterinya pergi ke sebuah bukit pasir utk mencari tetum¬buhan. Keberangkatan mereka berdua diiringi tiupan angin ken¬cang menderu-deru. Setibanya di tempat tujuan mereka tidak me-nemukan apa pun juga. Abu Dzar sangat pilu. Ia menyeka cucuran keringat padahal udara sangat dingin. Ketika isterinya melihat kepadanya mata Abu Dzar kelihatan sudah membalik. Isterinya menangis kemudian ditanya oleh Abu Dzar: “Mengapa engkau menangis?”
“Bagaimana aku tidak menangis” jawab isterinya yg setia itu “kalau menyaksikan engkau mati di tengah padang pasir seluas ini? Sedangkan aku tidak mempunyai baju yg cukup utk dijadikan kain kafan bagimu dan bagiku! Bagaimana pun juga akulah yg akan mengurus pemakamanmu!”
Betapa hancurnya hati Abu Dzar melihat keadaan isterinya. Dengan perasaan amat sedih ia berkata: “Cobalah lihat ke jalan di ¬gurun pasir itu barangkali ada seorang dari kaum muslimin yg lewat!”
“Bagaimana mungkin?” jawab isterinya. “Rombongan haji sudah lewat dan jalan itu sekarang sudah lenyap!”
“Pergilah kesana nanti engkau akan melihat” kata Abu Dzar menirukan beberapa perkataan yg dahulu pernah diucapkan oleh Rasul Allah s.a.w. “Jika engkau melihat ada orang lewat berarti Allah telah menenteramkan hatimu dari perasaan tersiksa. Tetapi jika engkau tidak melihat seorang pun tutup sajalah muka¬ku dgn baju dan letakkan aku di tengah jalan. Bila kaulihat ada seorang lewat katakan kepadanya: Inilah Abu Dzar sahabat Rasul Allah. Ia sudah hampir menemui ajal utk menghadap Allah Tuhannya. Bantulah aku mengurusnya!”
Dengan tergopoh-gopoh isterinya berangkat sekali lagi ke bukit pasir. Setelah melihat ke sana-ke mari dan tidak menemukan apa pun juga ia kembali menjenguk suaminya. Di saat ia sedang mengarahkan pandangan mata ke ufuk timur nan jauh di sana tiba-tiba melihat bayang-bayang kafilah lewat tampak benda-¬benda muatan bergerak-gerak di punggung unta. Cepat-cepat isteri Abu Dzar melambai-lambaikan baju memberi tanda. Dari ke¬jauhan rombongan kafilah itu melihat lalu menuju ke arah isteri Abu Dzar berdiri. Akhirnya mereka tiba di dekatnya kemudian bertanya: “Hai wanita hamba Allah mengapa engkau di sini?”
“Apakah kalian orang muslimin?” isteri Abu Dzar balik ber¬tanya. “Bisakah kalian menolong kami dgn kain kafan?”
“Siapa dia?” mereka bertanya sambil menoleh kepada Abu Dzar.
“Abu Dzar Al-Ghifari!” jawab wanita tua itu.
Mereka saling bertanya di antara sesama teman. Pada mula¬nya mereka tidak percaya bahwa seorang sahabat Nabi yg mulia itu mati di gurun sahara seorang diri. “Sahabat Rasul Allah?” tanya mereka utk memperoleh kepastian.
“Ya benar!” sahut isteri Abu Dzar.
Dengan serentak mereka berkata: “Ya Allah..! Dengan ini Allah memberi kehormatan kepada kita!”
Mereka meletakkan cambuk untanya masing-masing lalu segera menghampiri Abu Dzar. Orangtua yg sudah dalam ke¬adaan payah itu menatapkan pendangannya yg kabur kepada orang-orang yg mengerumuninya. Dengan suara lirih ia berkata:
“Demi Allah… aku tidak berdusta… seandainya aku mempunyai baju bakal kain kafan utk membungkus jenazahku dan jenazah isteriku aku tidak akan minta dibungkus selain de¬ngan bajuku sendiri atau baju isteriku…Aku minta kepada kalian jangan ada seorang pun dari kalian yg memberi kain kafan ke¬padaku jika ia seorang penguasa atau pegawai.”
Mendengar pesan Abu Dzar itu mereka kebingungan dan saling pandang-memandang. Di antara mereka ternyata ada seorang muslim dari kaum Anshar. Ia menjawab: “Hai paman akulah yg akan membungkus jenazahmu dgn bajuku sendiri yg kubeli dgn uang hasil jerih-payahku. Aku mempunyai dua lembar kain yg telah ditenun oleh ibuku sendiri utk kupergunakan sebagai pakaian ihram…”
“Engkaukah yg akan membungkus jenazahku? Kainmu itu sungguh suci dan halal….!” Sahut Abu Dzar.
Sambil mengucapkan kata-kata itu Abu Dzar kelihatan lega dan tentram. Tak lama kemudian ia memejamkan mata lalu secara perlahan-lahan menghembuskan nafas terakhir dalam ke-adaan tenang berserah diri ke hadirat Allah s.w.t. Awan di langit berarak-arak tebal teriring tiupan angin gurun sahara yg amat kencang menghempaskan pasir dan debu ke semua penjuru. Saat itu Rabadzah seolah-olah berubah menjadi samudera luas yg sedang dilanda tofan.
Selesai di makamkan orang dari Anshar itu berdiri di atas kuburan Abu Dzar sambil berdoa: “Ya Allah inilah Abu Dzar sahabat Rasul Allah s.a.w. hamba-Mu yg selalu bersembah sujud kepada-Mu berjuang demi keagungan-Mu melawan kaum musyri¬kin tidak pernah merusak atau mengubah agama-Mu. Ia melihat kemungkaran lalu berusaha memperbaiki keadaan dgn lidah dan hatinya sampai akhirnya ia dibuang disengs
http://blog.re.or.id/dijaman-khalifah-umar.htm

1 komentar: