Metode Pengangkatan Kholifah
Mereka yang terlanjur percaya bahwa Pemilu dalam sistem demokrasi bisa menghasilkan perubahan tampaknya harus kembali ‘gigit jari’. Pasalnya, Pemilu memang sekadar dimaksudkan untuk memilih orang, seraya berharap orang yang terpilih lebih baik daripada yang sebelumnya. Pemilu sama sekali menafikan, bahwa yang dibutuhkan oleh negeri ini bukan sekadar orang-orang terpilih, tetapi juga sistem yang terpilih. Dengan kata lain, Pemilu sama sekali melupakan, bahwa yang dibutuhkan oleh negeri ini bukan sekadar pergantian orang (penguasa dan wakil rakyat), tetapi juga pergantian sistem pemerintahan, politik, ekonomi, sosial, pendidikan dll dengan yang jauh lebih baik. Wajarlah jika usai Pemilu Legislatif ini, juga Pemilu Presiden nanti, perubahan untuk Indonesia yang lebih baik sebagaimana yang diharapkan oleh seluruh rakyat negeri ini tidak akan pernah terwujud, selama kebobrokan sistem sekular yang tegak berdiri saat ini tidak pernah disoal, dikritik dan diutak-atik, sekaligus diganti, karena sudah dianggap sebagai sistem yang baik, maka kesejahteraan dan keadilan rakyat tidak akan pernah mereka capai.
Sebenarnya yang perlu dibenahi oleh bangsa ini adalah sistim. Sedangkan bergantiannya presiden dan mentri tidak akan meyejahterakan rakyat jika sistimnya sesat. Termasuk dalam pemilihan presiden kali ini, sistim yang dipakai adalah sistim barat yang kafir. Maka jangan tanya hasilnya, jika caranya saja sudah tidak benar, pasti akan menghasilkann sesatu yang tidak baik.
Islam telah mewajibkan kepada ummatnya untuk mengangkat seorang kholifah. Demikian pula islam telah menjelaskan bagaimana pengangkatan seorang kholifah. Termasuk diantara sistim yang rusak dari sistim demokrasi adalah dalam pemilihan pemimpin. Kholifah dalam islam diangkat bukan dengan suara kebanyakan rakyat sebagaimana demokrasi. Melalui tulisan kecil ini kita bersama membahas metode pemilihan pemimpin dalam islam agar dapat membedakan antara yang haq dengan yang batil.
Disyari’atkannya pengangkatan kholifah
Memang tidak ada dalil yang jelas tentang pengangkatan kholifah dari alqur’an dan as sunnah. Akan tetapi kita bisa mengambil amalan khulafa’ ar rosyidin sebagai dalil tentang pengangkatan kholifah. Rasulullah bersabda :
فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِى وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّينَ الرَّاشِدِينَ تَمَسَّكُوا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ
Hendaklah kalian mengikuti sunnahku dan sunnah khulafa’ ar rosyidin yang mendapat petunjuk, pegang teguhlah ia dan gigitlah ia dengan gigi geraham … ( HR. Abu Daud).
Dari hadist di atas jelas bahwa kita wajib mengikuti sunnah khulafa’ ar rosyidin. Dan diantara sunnah khulafa’ ar rosyidin adalah cara pengangkatan seorang kholifah.
Ibnu Rajab al Hanbali berkata : dalam hadist tersebut Nabi memerintahkan untuk mengikuti sunnahnya dan sunnah khulafa’ ar rasyidin setelahnya dan memerintahkan untuk mendengar dan taat kepada pemimpin secara umum sebagai dalil bahwa sunnah khulafa’ ar rosyidin harus , berbeda dengan paradiikuti sebagaimana mengikuti sunnah rasulullah pemimpin ( Jami’ul ‘ulum wal hikam : 249)
juga bersabda :Rasulullah
عَنِ ابْنِ مَسْعُودٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اقْتَدُوا بِاللَّذَيْنِ مِنْ بَعْدِى مِنْ أَصْحَابِى أَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ
: Ikutilah oleh kalian“Dari Ibnu Abbas berkata, bersabda Rasulullah dua orang setelahku dari para sahabatku, Abu Bakar dan Umar.” (HR. At Tirmidzi No. 3742, katanya: hasan. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam Shahih Sunan Ibni Majah No. 97. Al Hafizh Ibnu Hajar mengatakan hadits ini didhaifkan oleh Al Bazzar dan Ibnu Hazm, lantaran Abdul Malik pelayan Rib’iy adalah seorang yang majhul (tidak dikenal). Al Hakim telah meriwayatkan pula penguatnya dari jalur Ibnu Mas’ud, namun sanadnya terdapat Yahya bin Salamah bin Kuhail seorang yang dhaif. Lihat Talkhish Al Habir, No. 2592. Namun menurut Imam Al Munawi hadits ini bisa dikuatkan oleh riwayat dari Ibnu Mas’ud tersebut, lihat Faidhul Qadir No. 1318-1319. Syaikh Al Albani pun menshahihkan riwayat dari Ibnu Mas’ud. Lihat Shahihul Jami’ No. 1144)
Syaikh Abdurrahman Al Mubarakfuri mengatakan, bahwa hadits ini menunjukkan bagusnya perjalanan hidup mereka berdua dan isyarat terhadap urusan kekhilafahan mereka berdua, sebagaimana dikatakan oleh Al Munawi. (Tuhfah Al Ahwadzi, 10/147. Al Maktabah As Salafiyah)
memerintahkan untukIbnu Taimiyah juga berkata : Nabi mengikuti jalan khulafa’ ar rosyidin. Yaitu empat khulafa’ dan lebih khusus lagi adalah Abu bakar dan Umar. (Majmu’ fatawa 4/400).
Demikian pula ijma’ para sahabar radhiyallahu ‘anhum bahwa mereka sepakat akan pengangkatan kekhilafahan Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu serta khulafa’ ar rosyidin setelahnya. Mereka tidak ada satupun yang menentang metode pangangkatan tersebut kecuali orang-orang yang memang tersesat.
Masa sahabat adalah gambaran pengamalan islam yang paling sempurna. Merekalah yang telah mengorbakan harta, jiwa dan raganya untuk islam. Merekalah yang telah mengawal tegaknya syari’at dan berjihad bersama . Bersamaan dengan itu, mereka menyaksikan turunya wahyu.Rasulullah Maka tidak ada orang yang lebih paham terhadap syari’at ini dibandingkan mereka. Dan mereka (para sahabat) telah banyak bersepakat tentang sesuatu yang tidak mereka dapatkan dari al qur’an dan as sunnah dalam rangka menjaga din ini seperti jam’ul qur’an (pengumpulan al qur’an menjadi satu lahjah) atau juga sepakatnya mereka tentang metode pengangkatan kholifah. Maka jika ada seseorang yang mengingkari ijma’ para sahabat dalam berbagai permasalahan, termasuk pengangkatan kholifah adalah karena kebodohan orang tersebut terhadap syari’at islam ini.
Metode pengangkatan kholifah
Pengangkatan kholifah pada masa khulafa’ ar rosyidin ada dua cara. Semuanya pernah dilakukan oleh mereka. Dan dua metode tersebut telah disepakati oleh parasahat pada masa itu tanpa ada yang membantahnya. as Syaikh Abdullah bin Umar bin Sulaiman ad Damiji dalam buku beliau Imamatul ‘Udma ‘inda ahlussunnah waljama’ah menjelaskan dua metode tersebut yaitu :
Pertama : Dengan cara dipilih
Sedangkan yang memilih adalah ahlul halli wal ‘aqdi. Cara ini dipakai pada saat pemilihan sahabat Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu dan sahabat Ali bin Abi Tholib radhiyallahu ‘anhu.
Dalilnya adalah perkataan Umar ibnu Khottob rodhiyallahu ‘anhu :
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ – رضى الله عنهما – قَالَ قِيلَ لِعُمَرَ أَلاَ تَسْتَخْلِفُ قَالَ إِنْ أَسْتَخْلِفْ فَقَدِ اسْتَخْلَفَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى أَبُو بَكْرٍ ، وَإِنْ أَتْرُكْ فَقَدْ تَرَكَ مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنِّى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم(متفق عليه)
Dari Abdullah bin Umar radhiyallahuma berkata : dikatakan pada Umar, tidakkah engkau memilih (kholifah), Umar berkata : jika saya memilih, maka telah memilih seseorang yang lebih baik dariku yaitu Abu Bakar, dan jika aku tinggalkan, maka telah meninggalkan (urusan kehilafahan) orang . (HR. Muttafaqun ‘alaihi).yang lebih baik dariku yaitu Rasulullah
Sedangkan ahlul halli wal ‘aqdi dalam kitab nihayatul muhtaj ila syarhil minhaj 7/390 disebuatkan : adalah sekelompok manusia yang memiliki kedudukan dalam urusan din dan ahlaq serta kemampuan dalam melihat kondisi dan mengatur ummat. Mereka juga disebut dengan ahlus syuro, ahli ro’yi wat tadbir atau yang disebutkan oleh para ulama’ dengan : kumpulan para ulama’ dan pemimpin serta ahli taujih yang mungkin dapat berkumpul.
Dari ahlus syuro inilah mereka mengatur berbagai permasalahan ummat dalam berbagai masalah dunia dan akhirat. Jika ahlus syuro melihat suatu masalah sesuai dengan alquran dan as sunnah mereka akan menyetujuinya, dan jika tidak sesuai mereka tolak. Dan termasuk tugas ahlus syuro adalah memilih seorang kholifah dan berbagai wuzaro’nya (mentrinya).
Dari penjelasan di atas jelas bahwa ahlul halli wal ‘aqdi bukanlah DPR dan MPR hari ini. Jauh perbedaannya antara timur dan barat, dan langit dengan sumur. DPR dan MPR dipilih dengan hanya bersandarkan suara terbanyak. Sedangkan ahlulhalli wal ‘aqdi dipilih karena kemampuan dan ilmu dalam masalah din serta kondisi waqi’. DPR dan MPR dipilih tidak mempertimbangkan akhlaq, sedangkan ahlul halli wal ‘aqdi dipilih karena ahlaq mereka yang mulia dan kedalaman ilmu mereka. Jika ada yang menyamakannya, itu adalah ketidak pahaman mereka dengan din islam ini.
Yang kedua : metode al ‘ahdu atau istihlaf
Seorang pemimpin memilih penggantinya dari umat islam yang dia lihat layak untuk menempati kedudukannya. Ketika seorang khalifah merasa bahwa ajalnya telah dekat, dia bermusyawarah kepada ahlul hallu wal ‘aqdi untuk memilih calon penggantinya. Apabila orang yang direkomendasikan oleh khalifah disetujui ahlul halli wal ‘aqdi maka orang tersebut ditetapkan sebagai khalifah setelah wafatnya khalifah tersebut.
:Dalilnya adalah hadist Rasulullah
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ قَالَ لِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فِى مَرَضِهِ « ادْعِى لِى أَبَا بَكْرٍ وَأَخَاكِ حَتَّى أَكْتُبَ كِتَابًا فَإِنِّى أَخَافُ أَنْ يَتَمَنَّى مُتَمَنٍّ وَيَقُولَ قَائِلٌ أَنَا أَوْلَى. وَيَأْبَى اللَّهُ وَالْمُؤْمِنُونَ إِلاَّ أَبَا بَكْرٍ ».(مسلم)
ketika sakitnya : pagilkanDari ‘Aisyah berkata, bersabda Rasulullah Abu Bakar dan saudaramu sampai aku tuliskan wasiat. Maka sesungguhnya aku takut untuk berangan-angan ada yang mengatakan saya lebih berhak (atas kepemimpinan). Dan Allah dan kaum mukmini menyetujuinya kecuali Abu Bakar. (HR. Muslim).
Jabatan kholifah terus berlangsung selama ia masih hidup serta mampu dan tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan pencopotannya. Berbeda jauh demokrasi yang melakukan pemilihan 5 tahun sekali sebagai ajang pesta. Dana dihambur-hamburkan, premanisme meningkat di jalanan, serta persaingan yang menghalalkan segala cara oleh partai dan caleg.
Itulah metode yang telah diajarkan para salaf kita dalam pengangkatan kholifah. Tidak ada jalan lain kecuali harus mengikuti mereka. Sedikit saja melenceng dari jalan tersebut akan menimbulkan kesengsaraan dan keblangrutan dunia dan akhirat. Allah Ta’ala berfirman : maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintahnya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih (Al Ahzab : 63). Semoga kita senantiasa dibimbing menempuh jalan-Nya dan menjauhi lana-jalan selainnya. (Amru)
NEGERI-NEGERI YANG DI TAKLUKKAN DAN DIBEBASKAN
1. PEMBEBASAN SYAM DAN PALESTINA
Peluang Islam di daerah yang teraniaya oleh Romawi
Para pembesar Imperium Romawi pada akhir zaman kebesarannya berlaku sewenang-wenang atas penduduk negeri jajahannya. Mereka senantiasa melakukan kekerasan dan penindasan atas jajahannya. Maka oleh sebab itu penduduk negeri yang berada dibawah kekuasaannya berusaha melepaskan diri dari cengkramannya. Semantara itu Byzantium telah pecah-belah dikarenakan perselisihan agama, dan telah rapuh oleh kemewahan. Rakyat tidak lagi terdiri dari satu bangsa, melainkan terdiri dari berbagai bangsa yang selalu menderita karena pajak yang terlalu berat.
Peristiwa-peristiwa itu memberikan peluang besar bagi bangsa Arab yang perkasa itu untuk menaklukkan Siria (Syam) dan Palestina, serta negeri-negeri yang tunduk dibawah kekuasaan Byzantium. Apalagi ummat Islam ketika itu dikenal dengan keberaniannya dikarenakan keteguhan imannya. Mereka pantang gemetar menentang maut untuk menegakkan agama dan kebenaran. Al-Qur’an al-Karim pun selalu menghasung mereka untuk melakukan jihad.
Ketika Nabi hendak wafat, beliau memerintahkan tentara Islam dibawah kepemimpinan Usamah bin Zaid memerangi suku-suku yang berdiam dekat perbatasan Palestina. Perjalanan tertahan lantara Nabi wafat, dan kemudian dilanjutkan oleh Abu Bakar. Penyerangan Usamah itu berlaku empat puluh hari lamanya, dengan mendapatkan harta rampasan yang banyak dan dibawa pulang ke Madinah.
Peristiwa ini sangat menyakitkan hati orang Romawi. Maka untuk membalas sakit hatinya, Kaisar Heraklius mengumpulkan angkatan perangnya ke perbatasan Palestina dan Siria untuk menghadapi tentara Islam. Khalifah Abu Bakar menyerukan jihad keseluruh bangsa Arab, sehingga terkumpullah suatu barisan besar di Madinah. Barisan ini dibagi Abu Bakar kepada empat pasukan dengan pempat panglima, yaitu:
1. Abu Ubaidah bin Jarrah, dengan tujuan Homs (Homus).
2. ‘Amru bin al-‘Ash, dengan tujuan Palestina
3. Yazid bin Abu Sufyan, dengan tujuan Damaskus
4. Syurahbil bin Hasanah, dengan tujuan Ardan (Yordania).
Abu Bakar memerintahkan kepada panglima yang empat itu agar mereka saling membantu dan sebagai panglima besarnya ditetapkan Abu Ubaidah. Sedangkan ‘Amru boleh menyendiri membebaskan Palestina, tapi dia harus membantu pasukan yang lain bila diperlukan.
Ketika laskar Islam tengah berperang membebaskan negeri-negeri di Syam dan Palestina itu, yaitu negeri-negeri yang dibawah kekuasaan Romawi Timur. Abu Bakar mengerahkan pula pasukan tentara lagi dibawah pimpinan Khalid bin Walid dibantu oleh Mutsanna bin Harisah untuk membebaskan negeri Irak. Sewaktu laskar Khalid berturut-turut mendapat kemenangan di Irak itu, datanglah berita dari Syam kepada Khalifah bahwa Abu Ubaidah tidak kuasa mematahkan pertahanan angkatan perang Romawi. Maka Abu Bakar memerintahkan Khalid bin Walid memberikan bantuannya dengan secepat-cepatnya. Dan Khalidpun berangkat dari Irak menuju Syam membawa 1500 pasukan laskar, memalui padang pasir Badi’atus Samawah dengan kecepatan yang luar biasa.
Kedatangan Khalid ke Syam itu saja sudah cukup menimbulkan semangat baru bagi laskar Islam. Kemudian mereka bisa menduduki kota Bushra dengan pertolongan Gubernurnya, Romanus namanya. Dia menyerahkan kota itu kepada orang Islam setelah ia menunjukkan jalan memasuki dari lobang-lobang dibawah benteng-bentengnya.
PERTEMPURAN YARMUK (13 H. = 634 M.)
Ketika Kaisar Heraklius mengetahui akan kemenangan laskar Islam, maka dikerahkanlah empat pasukan besar untuk menghadapi laskar Arab yang tak takut mati itu. Kebetulan ketika itu suasana perang berubah, maskas laskar Islam menghadapi kesulitan yang sangat berat, sehingga panglima-panglimanya mengadakan musyawarah untuk mencari jalan keluarnya. Dalam musyawarah itu ‘Amru bin al’Ash menguslkan agar laskar Islam berkumpul pada suatu tempat untuk menghadapi kekuatan Romawi bersama-sama dengan satu pimpinan yaitu Khalid bin Walid. Tempat yang ditunjukkannya yaitu tepi sungai Yarmuk (anak sungai Sei. Yordania) bernama Wakusah, Pendapat ‘Amru binal’Ash ini disetujui oleh Khalifah. Maka berkumpullah di Wakusah 40.000 laskar Islam menghadapi 240.000 tentara Romawi. Dan pertempuran berkecamuk dengan hebatnya.
Pertempuran di Yarmuk ini berakhir dengan kekalahan di pihak Romawi dan sejumlah besar tentaranya terbunuh. Kekalahan ini mematahkan hati Heraklius dan menimbulkan rasa putus asa di kalangan tentaranya. Dan peristiwa ini membuahkan jatuhnya Siria ke tangan bangsa Arab.
Berita Kematian Abu Bakar
Ketika api peperangan sedang menyala sehebat-hebatnya, tentara Arab dan Romawi, datanglah berita dari Madinah bahwa Khalifah Abu Bakar telah wafat, dan digantikan oleh Umar bin Khattab. Datang pula surat penyerahan mandat pimpinan umum tentara (Panglima Besar) dari Khalid bin Walid kepada Abu Ubaidah sebagai penggantinya. Berita ini disembunyikan Khalid sampai kemenangan diperoleh ummat Islam.
Setelah kemenangan berada ditangan ummat Islam, barulah Khalid menyerahkan pimpinan umum tentara kepada Abu Ubaidah dan dengan segala senang hati Khalid berperang sebagai serdadu biasa dibawah pimpinan Panglima Besar yang baru Abu Ubaidah.
Sebab-sebab Penggantian Khalid
Adapun penggantian Khalid kali ini bukanlah karena Umar tidak percaya akan kecakapannya sebagai Panglima Besar, hanyalah karena ia takut kalau ummat Islam terpedaya, sebab dia amat dikasihi oleh bala-tentaranya karena keberanian dan kemenangannya dalam segala pertempuran yang dipimpinnya. Dalam pada itu Umar memandang Khalid terlalu keras dan kasar terhadap musuh sebangsa dalam peperangan membasmi kaum murtad, sehingga ia pernah membunuh mereka yang sudah menyerah dan meminta perlindungan jiwanya. Dan ketika Khalid ditanya bagaimana perasaannya ketika menerima penggantian dirinya itu, dia berkata: “Saya berperang bukan karena Umar”.
Kemudian laskar Islam meneruskan perjalanannya ke Damaskus, lalau mengepung kota itu tujuh puluh hari lamanya. Kepada penduduknya disuruh pilih satu diantara tiga, yaitu: masuk Islam, membayar upeti atau berperang.
Ketangguhan dan kekokohan pagar benteng tidak dapat menahan kepungan bangsa Arab atas kota itu. Tentara Islam menghadang segala bala bantuan kepada penjaga benteng itu sehingga mereka hampir mati kelaparan, akhirnya terpaksa penduduk kota Damaskus membuka pintunya kepada ummat Islam.
PERTEMPURAN DI AJNADIN (16 H. = 636 M.)
Sesudah jatuhnya kota Damaskus ke tangan Islam, maka jatuh pula kota-kota besar di Utara Siria, seperti Aleppo, Homs dan Antiokhia. Jendral Aretion panglima Romawi di Siria, bertahan dengan gigih beserta sisa tentaranya di Ajnadin dekat Baitul Maqdis. Di sana terjadilah pertempuran sengit antara tentara Romawi dan Arab, yang tidak kurang hebatnya dari pertempuran di Yarmuk.
Pertempuran ini berakhir dengan kemenangan ummat Islam, dan tentara Romawi yang masih tinggal melarikan diri ke Kaisarian dan Baitul Maqdis. Akibat kekalahan Romawi di Ajnadin itu, beberapa kota di pesisir Syam dan Palestina membuka pintu bagi bangsa Arab, seperti Yaffa, Gizet Ramla, Tyrus, Uka (Acre), Sidon, Askalonia dan Beirut.
PENAKLUKAN BAITUL MAQDIS (18 H. = 639 M.)
Laskar Islam kemudian membulatkan niatnya untuk menaklukkan Baitul Maqdis, ibu kota Palestina dan kota suci orang Kristen. Kota ini dikelilingi oleh benteng-benteng yang kuat, dipertahankan oleh pasukan besar tentara pengawal kota dibawah pimpinan Arection sendiri. Empat bulan lamanya orang Arab mengepung kota itu sehingga penduduknya hampir mati kelaparan. Akhirnya keluarlah Patrik kota itu menyatakan kemauannya menyerahkan kota itu dengan syarat kepada Khalifah Umar sendiri. Maka berangkatlah Umar bin Khattab ke Baitul Maqdis menerima penyerahan kota itu serta menegaskan keamanan penduduknya dan kemerdekaan mereka menjalankan agamanya.
Dengan demikian seluruh Syam dan Palestina telah jatuh ke tangan Islam, sesudah mereka berperang mati-matian lebih kurang enam tahun lamanya.
2. PEMBEBASAN IRAK DAN PERSIA
Bagi laskar Islam, manaklukkan negeri-negeri yang dikuasai oleh orang Persia jauh lebih sukar daripada menaklukkan negeri-negeri yang dikuasai oleh laskar Romawi, karena mereka terdiri dari bangsa yang bersatu.
Sesungguhnya Abu Bakar telah mengirim tentaranya ke perbatasan Irak untuk menundukkan suku-suku Arab yang berdiam di Selatan sungai Euphrat. Tentara itu dapat mengalahkan tentara Persia serta menduduki Hirah dan Anbar, tapi tak lama kemudian laskar Arab terpaksa mundur dari serangan tentara Persia yang sangat banyak, yang dikirim oleh Kisra Yaszayird III dibawah panglima Rustam. Mereka mundur sampai Gurun Sahara, hal ini sampai berakhirnya kepemimpinan Khalifah Abu Bakar.
Penyebab dari kekalahan ini dikarenakan pasukan Islam sedang berkonsentrasi untuk menaklukkan Syam dan Palestina melawan pasukan Romawi. Setelah Romawi dapat dikalahkan di Syam dan Palestina pada pertempuran Ajnadin tahun 16 H. maka Umar bin Khattab mengerahkan tentara memerangi Irak. Pada mulanya Khalifah Umar sendiri yang akan mempmpin tentara itu, akan tetapi banyak sahabat menasehati agar pimpinan tentara diserahkan kepada Panglima Sa’ad bin Abi Waqqash. Umarpun menerima nasehat tersebut.
PERTEMPURAN KADISIA (16 H. = 636 M.)
Sa’ad bin Abi Waqqash beserta laskarnya melaju menuju Kadisia, suatu kota yang menjadi pintu masuk ke Irak. Disana bertemu dengan Panglima Rustam yang memimpin tentara Persia dengan jumlah 30.000 serdadu, sedangkan laskar Arab hanya sekitar 7.000 sampai 8.000 ribu tentara.
Bangsa Persia tertawa sinis melihat peralatan perang laskar Islam yang hanya terdiri dari umban batu yang mereka katakan sebagai alat penenun benang. Tetapi dalam pertempuran sengit antara kedua belah pihak tiga hari lamanya, berakhir dengan kemenangan pada tentara Islam. Dalam pertempuran itu Panglima Rustam serta sejumlah bala tentaranya mati terbunuh, sedang yang hidup terpaksa melarikan diri. Meraka dikejar oleh laskar Sa’ad, lalu terjadi pula pertempuran di Jalula tahun 17 H. (638 M.)
Waktu itu seorang puteri Kisra dapat ditawan dan sejumlah besar laskar Persia mati terbunuh. Kemudian Sa’ad memasuki Irak dan menaklukkan kota Madain, sebagai Ibu kota Kerajaan Persia, sesudah dikepung selam dua bulan.
Tentara Islam banyak memperoleh harta rampasan perang yang amat banyak, diantaranya adalah singgasana keemasan Kisra sendiri. Kisra Yazdayird melarikan diri ke Halwan. Perang Kadisia ini termasuk peperangan yang paling hebat di zaman Umar bin Khattab.
PERTEMPURAN DI NAHAWAND (21 H = 642 M)
Pertempuran Nahawand sebagai Fathul Futuh
Kisra Yazdayird III tidak bisa mengumpulkan tentaranya dengan cepat, ia memerlukan waktu empat tahun untuk menghimpun kekuatan, maka terkumpullan balatentara yang berjumlah 150.000 orang untuk menghadapi tentara Islam. Pada tahun 21 H. Yazdayird III mengerahkan angkatan perangnya itu dan Khalifah Umar mengirimkan bantuan laskar untuk membantu Sa’ad. Maka terjadilah peperangan yang sanat hebat diantara keduanya di Nahawand. Pertempuran itu berakhir dengan kemenangan di pihak Islam, walaupun orang Persia telah berperang mati-matian membela negaranya. Peperangan ini dikenal dengan sebutan ‘Fathul Futuh’ yang berarti ‘Pembebasan dari segala pembebasan’.
Yazdayird III Kisra yang terakhir dari keluarga Sasania.
Laskar Arab terus mengejar Yazdayird III dan menduduki daerah kekuasaannya secara bertahap, sehingga akhirnya Kisra itu terpaksa melarikan diri sampai ke perbatasan Timur negerinya. Akan tetapi ia mati ditengah perjalanannya karena dibunuh orang pada tahun 31 H. (652 M.). Peristiwa ini terjadi pada masa Kholifah Utsman bin Affan.
Dengan kematian Yazdayird III ini lenyaplah kerajaan keluarga Sasania dari permukaan bumi, dan terbuktilah sabda Nabi Muhammad yang menyatakan bahwa kerajaan Persia kelak akan terkoyak oleh ummat Islam sebagaimana Kisranya mengoyak-ngoyak surat Nabi kepadanya.
Kemenangan yang beruntun ini sangat besar pengaruhnya atas kehidupan bangsa Arab berikutnya. Mereka hidup dalam kesenangan dan kemewahan harta benda yang tiada terpermanai itu mengelabuhi pikiran bangsa Arab yang telah terbiasa hidup kasar dan bersahaja.
3. PEMBEBASAN NEGERI MESIR
Mesir sebelum dibebaskan Islam.
Negeri Mesiar serta daerah kerajaan Bizantium lainnya telah terpecah belah oleh perselisihan agama dan aliran. Sebelum lahirnya agama Islam, Kristen di daerah Timur terpecah kepada dua aliran, yaitu:
1- Aliran Mulkaniyin, sebagai madzhab orang Roma sendiri.
2- Aliran Ya’akibah, sebagai madzhab orang Mesir dan Siria.
Dari perselisihan aliran ini, Mesir sering mendapatkan penganiayaan dari orang Romawi, sehingga kepada agama Kristen Kopti (Suku asli Mesir) yaitu Patrik Benyamin terpaksa melarikan diri keluar negeri, untuk menghindari penganiayaan yang ditimpakan oleh orang-orang Romawi. Sedang saudara Patrik ini yang bernama Mina dapat ditangkap oleh orang Romawi lalu dibakar hidup-hidup dan abunya dilempar ke dalam sungi Nil, karena tidak mau mengikuti aliran yang diajarkan oleh orang Romawi.
Selain karena perbedaan aliran agama itu, orang Romawi juga membebani penduduk Mesir dengan pajak yang sangat berat. Mereka diwajibkan membayar pajak badan, pajak perusahaan dengan segala macamnya, pajak ternak, hasil bumi, perniagaan, perahu, perhiasan rumah tangga dan lain-lainnya. Bahkan pajak lalu lintas, berkendaraan, jalan kaki, saudagar maupun orang miskin, bahkan upacara kematianpun ada pajaknya.
Orang-orang Mesirpun masih harus menjamu dan memenuhi segala kebutuhan para pembesar Romawi apabila memasuki perkampungan mereka.
Bangsa Mesir mengharap kedatangan laskar Islam
Kemiskinan dan kemelaratan yang menyeluruh di Mesir, membuahkan dendam, kebencian dan kemarahan putara sungai nil itu atas pemerintahan Romawi, maka timbullah niat yang bulat dalam dada untuk mengharap kedatngan daulat yang akan melepaskan mereka dari keadaan yang menistakan itu. Sementara itu berita akan Pembebasan Islam atas Siria dan Palestina sampai kepada mereka, maka mereka mengetahui betapa halus dan mulia budi ummat yang baru maju itu dalam pergaulan dengan warge negeri yang ditaklukannya, dan betapa luas kemerdekaan faham mereka dalam beragama. Agama penduduk negeri yang ditundukkan tidak diganggu, melainkan justru dimuliakan dan dihormati.
Oleh karena itu hasrat mereka sangat besar hendak melepaskan diri dari tindasan orang Romawi yang aniaya itu dengan pertolongan ummat Islam.
Permohonan ‘Amru bin al-‘Ash untuk membebaskan Mesir.
Setelah ummat Islam usai menaklukkan Syam dan Palestina, ‘Amru bin al-’Ash memohon kepada Khalifah Umar bin Khattab untuk membebaskan Mesir. Panglima ini menerangkan kepada Khalifah betapa kaya dan suburnya bumi lembah Nil itu dan betapa penting letaknya menurut ilmu penerangan. (‘Amru bin al-’Ash pernah menziarahi Mesir di zaman Jahiliah).
Dinyatakannya dengan tegas bahwa menaklukkan Mesir sama artinya dengan menguatkan kekuatan Islam di Syam dan Palestina dan memberi perlindungan daerah itu dari serangan musuh di sebelah selatan. Sebaiknya dengan kekalnya daerah itu di dalam kekuasaan Romawi berarti merupakan bahaya besar atas kekuasaan daulat Islam di Siria dan Palestina. ‘Amru bin al-’Ash menerangkan lagi, betapa mudahnya menaklukkan negeri itu, karena kelemahan penduduknya, sedangkan laskar Romawi yang ada disana akan kecut hatinya berhadapan dengan laskar Islam, sebab mereka telah merasa betapa hebat dan dahsyatnya serangan tentara Islam atas mereka di Syam dan Palestina dahulu, sehingga mereka berturut-turut menderita kekalahan besar.
Semula Khalifah Umar bin Khattab merasa bimbang akan mengabulkan permintaan ‘Amru bin al-’Ash itu, karena dia takut kalau-kalau pengiriman tentara ke negeri itu akan mendatangkan kerugian yang lebih besar, apabila laskar Islam ketika itu sedang bergerak pula di Syam dan Irak. Dia belum berani lagi memperluas daerah daulat Islam selama kekuasaannya belum kuat benar di negeri yang telah ditaklukkan. Akan tetapi karena berulang-ulang ‘Amru bin al-’Ash meminta dengan alasan dan keterangan yang bagus, dikabulkanlah oleh Khalifah Umar permintaan Panglima Perang yang perkasa itu.
Umar bin Khattab menyerahkan 4.000 orang tentara kepada ‘Amru bin al-’Ash yang akan dibawanya ke tanah Mesir.
Meskipun jumlah laskar itu amat sedikit bila dibandingkan dengan pekerjaan besar yang akan dihadapinya, ‘Amru bin al-’Ash tidak merasa keberatan, sebab dia yakin, bahwa bila nanti telah berhadapan dengan orang Romawi di negeri Mesir, Kholifah tidak akan dapat menolak bila dimintai mengirim bala bantuan pasukan.
Tentara Islam Menyisir kota-kota di Mesir.
Berangkatlah ‘Amru bin al-’Ash membawa laskar yang empat ribu itu melalui padang pasir Sinai, sehingga ia sampai ke El-‘Arisy dan menaklukkan kota itu dengan tidak mendapatkan perlawanan, kemudian ia terus ke Alfarma, suatu kota tua yang berbenteng kuat dan ketika itu menjadi pintu gerbang Mesir dari sebelah Timur.
Kota itu dikepung laskar Islam sebulan lamanya, dan kemudian pada bulan Muharram tahun 19 H. (Januari 640 M.) wali kota itu menyerah kepada ‘Amru bin al-’Ash.
Dari Alfarma ‘Amru bin al-’Ash terus ke Bilbis, dan di kota itu ia bertemu dengan Panglima Aretion yang telah melarikan diri ke Mesir sebelum Yerussalem menyerah. Kota itu dapat direbut ‘Amru bin al-’Ash sesudah berperang selama satu bulan.
Ketika kota Bilbis dimasuki laskar Islam, mereka menemukan Armanusah puteri Mukaukis Gubernur Mesir yang berpihak kepada penduduk Mesir. Puteri ini tidak ditawan oleh ‘Amru bin al-’Ash, melainkan dihormati dan dimuliakannya dan dipulangkannya kepada ayahandanya dengan segala kehormatan. Perbuatan ‘Amru bin al-’Ash yang sedemikian itu menimbulkan cinta rakyat Mesir kepadanya, karena sesungguhnya puteri Armanusah seorang pecinta dan pelindung rakyat Mesir dari murka orang Romawi.
Sesudah Bilbis jatuh, ‘Amru bin al-’Ash meneruskan perjalanannya lagi sehingga ke Ummu Dunein (Teudonius), suatu kota ditepi sungai Nil. Di sini terjadi pula pertempuran antara tentara Romawi dan Arab beberapa pekan lamanya.
Permintaan Bala Bantuan
Ketika ‘Amru bin al-’Ash mengalami kendala dalam menghadapi tentara Romawi yang belipat ganda jumlahnya itu, maka ia meminta bala bantuan kepada Khalifah Umar bin Khattab.
Khalifah Umar segera mengirim 4.000 bala tentara lagi dibawah pimpinan empat orang pahlawan yang ternama, yaitu: Zubair bin Awwam, Muqdad bin Aswad, Ubadah bin Shamit dan Maslamah bin Mukhallad.
Sesungguhnya ‘Amru bin al-’Ash ketika mengepung Ummu Dunein sedang dalam keadaan sangat sulit, karena laskaranya sudah mulai putus asa, sebab semakin bertambah hari jumlah mereka terus berkurang, sedang bala bantuan tak kunjung datang. Akan tetapi ‘Amru bin al-’Ash bukan sembarang panglima, dia bukanlah perwira yang dapat dikalahkan oleh perasaan putus asa. Keperwiraannya yang menyala-nyata mengobarkan kembali semangat laskarnya yang hampir putus asa itu. Dengan gembira mereka menyerang benteng Ummu Dunien, sehingga tentara Romawi terpaksa lari porak-poranda ke benteng Babil, dan sekalian kapal-kapalnya jatuh ke tangan tentara Islam.
Kemudian bala bantuan yang dikirim Umar sampai di ‘Ainu Syams’. Dengan segera panglima ‘Amru bin al-’Ash ke sana untuk menyambut mereka. Sementara itu panglima Romawi Theodore namanya, telah menyiapkan pula 20.000 pasukan, lalu menyerang ‘Amru bin al-’Ash di ‘Ainu-Syams itu. Dalam pertempuran ini orang Romawi juga menderita kekalahan besar, hanya sedikit sekali mereka yang sanggup melarikan diri ke benteng Babil.
Mengepung Benteng Babil
Panglima ‘Amru bin al-’Ash berusaha mengokohkan kekuasaannya di Ummu Dunein dan di ‘Ainu Syams, tempat itu dijadikan markas besar tentaranya. Menurut perkiraannya tidak ada lagi yang akan merintangi maksudnya kecuali dari benteng Babil yang juga dinamai Istana Lilin.
Setelah ‘Amru bin al-’Ash menyelesaikan tugasnya di Ummu Dunien dan di ‘Ainu Syams, laskarnya bergerak menuju Babil. Pengepungan benteng itu dimulai paa awal bulan September 640 M.
Babil ialah suatu benteng yang terkuat, pagarnya kokoh, menaranya inggi-tinggi dan hampir seluruhnya dikelilingi oleh sungai Nil. Apabila air pasang maka parit-parit yang mengelilinginya tergenang oleh air.
Laskar Islam mengepung benteng itu tujuh bulan lamanya. Ketika tampak oleh Mukaukis betapa kesabaran musuhnya dalam peperangan, ia keluar beserta pengiringnya pergi ke pulau Raudha. Dari sana ia mengirim utusan untuk menemui panglima ‘Amru bin al-’Ash untuk membicarakan perjanjian perdamaian. Utusan itu diterima oleh ‘Amru bin al-’Ash dengan segala hormat. Kepada utusan itu ‘Amru bin al-’Ash memberi tiga pilihan, yaitu: masuk Islam, membayar upeti, atau meneruskan peperangan.
Ketika utusan itu kembali, mereka ditanya oleh Mukaukis tentang hal ikhwal ummat Islam itu. Mereka menerangkan: “Kami lihat mereka itu lebih menyukai mati daripada hidup, lebih mengutamakan kesederhanaan dari pada kemewahan, dunia ini bagi mereka tak ada harganya dan duduk mereka diatas tanah. Panglima mereka seperti serdadu biasa, tak ada perbedaan antara orang yang besar dengan yang kecil, tan ada perbedaan antara tuan dan hamba sahaya. Apabila datang waktu sembahyang sekalian mereka itu sama membasuh sebagian anggota badannya dengan air yang bersih dan merekapun sembahyang dengan khusu’nya”.
Penjelasan singkat ini yang amat menakjubkan dan menarik hati Mukaukis, kemudian ia berkata seorang diri: “Ummat yang seperti ini kelak pasti akan menjadi penguasa dunia”.
Perdamaian Mukaukis dengan ‘Amru bin al-’Ash
Kemudian datanglah utusan ‘Amru bin al-’Ash menemui Mukaukis dan melanjutkan musyawarah tentang perdamaian. Adapun syarat-syarat perdamaian itu ialah:
1. Tiap-tiap bangsa Kopti (penduduk asli Mesir) harus membayar pajak tiap tahun sebanyak dua dinar, kecuali orang tua, perempuan dan anak-anak.
2. Mereka wajib menjaga dan memperbaiki jembatan-jembatan yang telah dirusak oleh orang Romawi antara Mesir (Mesir lama tak jauh dari kota Kairo sekarang) dan Iskandariah.
3. Mereka harus memberikan tempat menumpang (menerima tamu) orang Islam apabila dihajatkan.
Mukaukis menerima syarat-syarat perdamaian ini dan perbuatannya itu disetujui oleh bangsa Kopti seluruhnya. Akan tetapi Kaisar Heraklius di Konstantinopel memandang perbuatan Gubernurnya itu sebagai suatu pengkhianatan. Maka Mukaukis dipanggil pulang ke Konstantinopel dan dipenjarakan. Dan kepada sekalian panlima Romawi yang ada di Mesir diperintahkan memerangi orang Islam sejadi-jadinya sehigga mereka itu terusir dari Mesir. Dengan demikian terjadilah peperangan kembali, dan syarat-syarat yang diajukan ‘Amru bin al-’Ash tidak berguna lagi.
Menyerbu masuk benteng Babil.
Oleh karena sungai Nil banjir dan airnya naik terlalu tinggi, serbuan laskar Islam atas benteng Babil terhalang berbulan-bulanlamanya. Bagi panglima ‘Amru bin al-’Ash tak ada perlengkapan penyerbuan itu yang bisa digunakan kecuali kesabaran menunggu surutnya air.
Pengepungan yang berbulan-bulan itu sesunggunya juga menyulitkan tentara Romawi. Kemudian pada bulan Maret tt\h. 641 M. terdengar oleh orang Romawi sorakan laskar Islam dalam tenda-tenda mereka yang mengatakan kematian Kaisar Heraklius. Kejadian yang sedih ini menghilangkan keberanian dan mengecutkan hati mereka. Dan peristiwa demikian ini adalah pintu kemenangan bagi tentara Islam.
Pada bulan April tahun itu juga mulailah laskar Islam menyerbu masuk benteng itu. Zubair bin ‘Awwam meletakkan tangga di dinding benteng sebelah tenggara dan diapun naik keatas dinding. Ia menyerukan para laskar yang lain, apabila ia mengucap takbir, maka hendaknya sekalian laskar yang lain juga mengucapkannya secara serentak. Setelah ia naik ke atas dinding benteng itu, dan dengan pedang terhunus, ia memekikkan takbir ‘Allahu Akbar’, kemudian diikuti oleh laskar yang lain yang berada di luar benteng.
Pengaruh kalimat Allah
Mendengar gemurh suara takbir itu orang Romawi mengira bahwa laskar Islam semuanya sudah menyerbu masuk dalam benteng, maka mereka berlari meninggalkan pertahanan mereka.Zubair dan beberapa orang patriot Arab segera membukakan pintu genteng itu dan barulah tentara Islam yang lain menyerbu masuk ke dalam benteng. Maka pada bulan April tahun 641 M, tentara Romawi penjaga benteng yang kuat itu menyerah, setelah laskar Islam menjamin akan keselamatan jiwa mereka.
Menaklukkan kota Iskandariah (Alexanderia)
Setelah benteng Babil jatuh ketangan laskar Islam, dan setelah disiapkan tentara yang akan menjaganya, ‘Amru bin al-’Ash berjalan bersama laskarnya menuju Iskandariah. Dalam perjalanannya ke kota itu ia dapat menaklukkan beberapa benteng orang Romawi yang lain. Laskar Romawi yang dapat melarikan diri mundur dan bergabung dengan tentara Romawi yang masih menguasai Iskandariah lalu bertahan disana. Sementara itu bala bantuan mereka dari Konstantinopel juga telah datang, sehingga jumlah tentara Romawi yang akan mempertahankan Iskandariah berjumlah 50.000 serdadu.
Iskandariah pertahanan terakhir Romawi
Kota Iskandariah pada waktu itu adalah sebagai Ibu kota kerajaan kedua dan sebagai bandar perniagaan yang kedua bagi Imperium Romawi Timur (Byzantium).
Kaisar Heraklius berkeyakinan bahwa apabila Iskandariah jatuh ke tangan Islam, maka lenyaplah kekuasaan Romawi di Mesir seluruhnya. Oleh karena itu ia mengirim bala tentara sebanyak-banyaknya untuk mempertahankan Iskandariah sampai titik darah penghabisan.
Adapun laskar Islam ketika itu belum memiliki tehnik dan peralatan yang memadai untuk mengepung kota itu, armadapun tidak dimiliki untuk menghalangi bala bantuan Romawi dari Konstantinopel (Ibukota Byzantium). Oleh karena itu lama sekali laskar Islam mengepung kota itu, yaitu selama empat belas bulan, jumlah mereka juga relatif kecil dibandingkan dengan tentara Romawi yang mempertahankan kota itu. Akan tetapi sebagian bangsa Kopti berada di pihak laskar Islam, mereka selalu bersedia membantu mereka dengan pelbagai alat dan perbekalan.
Dengan kesungguhan yang luar biasa, laskar ‘Amru bin al-’Ash hari demi hari dapat juga merusak dinding kota Iskandariah. Akhirnya kota perniagaan yang besar itu jatuh ke tangan laskar Islam sesudah mereka bertempur habis habisan. Menurut hemat ‘Amru bin al-’Ash bahwa jika mereka hendak mengekalkan kekuasaan disana, maka mereka harus memperoleh cinta kasih anak negeri kepadanya dan laskarnya. Maka mereka mempergauli putera bumi lembah Nil itu, sebagai pergaulan seorang panglima yang memasuki suatu negeri dengan damai.
Perdamaian yang kedua antara ‘Amru bin al-’Ash dan Mukaukis
Perjanjian damai kembali dilakukan dengan Mukaukis yang telah kembali ke Mesir dari tempat pembuangannya sesudah Kaisar Heraklius meninggal dunia. Diantara syarat perjanjian damai itu ialah:
1. Kepada sekalian orang yang bukan Islam diwajibkan membayar pajak sebanyak dua dinar setiap tahun.
2. Orang Romawi diberi kesempatan untuk meninggalkan Iskandariah selama sebelas bulan. Dan mereka diperbolehkan untuk membawa harta benda mereka dan semua barang-barang yang mereka miliki.
3. Orang Romawi berjanji tidak akan berupaya lagi untuk merebut Mesir kembali.
4. Orang Islam berjanji tidak akan mengganggu gereja-gereja dan tidak akan mencamuri apa-apa urusan orang Yahudi.
5. Orang Islam memperbolehkan orang Yahudi tinggal dan menetap di Iskandariah.
Untuk menjamin agar orang Romawi jujur dalam menjalankan syarat-syarat perjanjian itu, maka panglima ‘Amru bin al-’Ash enetapkan bahwa, orang Romawi harus menyerahkan 150 laskar dan 50 opsir kepada laskar Islam sebagai tanggungan.
Romawi meninggalkan Mesir
Setelah jatuhnya kota Iskandariah ke tangan laskar Islam, maka mudah bagi laskar Islam menaklukkan kota-kota yang lain. Dan pada akhirnya lenyaplah kekuasaan Romawi dari atas bumi hadiah sungai Nil itu, dan berkibarlah bendera Islam dengan jayanya di atas puncak menara-menara dan gedung-gedungnya.
PENGATURAN TATA NEGARA ISLAM
Pembagian daerah Pemerintahan
Buah dari pembebasan negeri sekitar pada zaman Khalifah Umar bin Khattab adalah duasnya daerah kekuasaan khilafah Islamiyah.
Sebagian besar daerah kerajaan Persia dan kerajaan Romawi Timur jatuh ke tangan Islam. Oleh karena itu Umar bin Khattab berusaha membulatkan tekadnya untuk mengatur negara dengan sekian urusan dan luasnya serta meratakan keadilan di seluruh plosok negeri.
Khalifah berusaha mengadakan berbagai perbaikan dan ishlah. Hal ikhwal negeri-negeri yang telah ditaklukkannya, kemajuan-kemajuan yang ada di sana, peraturan-peraturan pemerintahan yang telah teratur serta peninggalan pemerintahan yang lama banyak sekali menolong Umar bin Khattab dalam melaksanakan cita-citanya untuk mengatur Daulah Islam.
Umar bin Khattab membagi Daulah Islam kepada beberapa wilayah atau propinsi. Beberapa kota besar didirikan dan pada beberapa daerah yang luas diadakan ibu kotanya yang baru, seperti Kufah, Bashrah (di Irak) dan Fusthath (di Mesir).
Wali (Gubernur) sebagai kepala pemerintah daerah.
Unguk mengepalai pemerintahan di wilayah itu ia mengangkat seorang wali (gubernur), dibantu oleh pegawai-pegawai bawahannya, seperti amil pajak (Mentri pendapatan Negara), Qadhi (Hakim Tinggi), Katib (Sekretaris), Panglima Tentara dan Kepala Staff.
Mereka itu senantiasa diawasi oleh mata-mata khalifah yang akan melaporkan keadaan pegawainya itu kepadanya. Meskipun Umar mengangkat pegawai-pegawai pemerintahan dari para ahli, namun mereka selalu diawasi dengan teliti agar rakyat aman sentosa dan terjauh dari aniaya dan kezaliman. Dari ketelitiannya, tiap orang yang akan jadi wali (gubernur) harus diaudit (dihitung) harta bendanya sebelum dia menjalankan pekerjaannya. Apabila telah usai masa tugasnya, hartanya dihitung kembali. Apabila ditemukan hartanya melebihi dari yang dahulu, dan kelebihannya itu diperoleh dengan jalan melanggar peraturan negara Islam, maka kelebihannya itu atau sebagiannya harus diambil dan diserahkan kepada Baitul Mal (Perbendaharaan Negara).
Pemimpin Yang Teliti
Umar bin Khattab adalah khalifah yang pertama menyusun undang-undang ‘husbah’, yaitu peraturan yang mengawasi urusan pasar, menjaga adab sopan-santun, mengawasi timbangan dan ukuran supaya tidak ada lagi tipu daya timbangan. Kebersihan jalan juga tidak lepas dari perhatiannya, dan segala urusan yang berhubungan dengan kepentingan umum, yang menjadi urusan pejabat kota (Jawatan Pekerjaan Umum) di zaman ini.
Menyusun Dewan-dewan
Harta kekayaan Kisra-kisra Persia jatuh ke tangan orang Islam, banyak emas, perak, serta permata-permata yang mahal harganya yang berasal dari rampasan perang, pembayaran pajak yang diwajibkan atas rakyat yang bukan Islam (jizyah) dan dari pajak hasil bumi yang melimpah dalam kas negara.
Umar berusaha mengatur harta-benda negara itu dengan mendirikan dewan-dewan (daftar keluar masuknya uang) yang ditiru dari bangsa Persia, seperti Dewan bala tentara, yang urusannya menuliskan nama-nama tentara dan mengatur pemberian gaji. Juga diadakan Dewan perhitungan harta benda negara, untuk mengurus segala pemasukan kedalam perbendaharaan negara (Baitul Mal0, dan mengurus segala hadiah dan pemberian kepada ummat Islam menurut tingkatan mereka masing-masing, berdasarkan jauh-dekatnya hubungan kerabat dengan rasulullah s.a.w., awal-akhirnya masuk Islam, atau banyak-sedikitnya jasanya dalam peperangan di masa rasulullah s.a.w.
Urusan Kehakiman
Khalifah Umarlah yang mula-mula mengatur urusan kehakiman dalam Islam. Diaah yang menentukan dan mengangkat Qadhi (Hakim) dalam tiap-tiap wilayah. Akan tetapi kadang-kadang pengangkatan qadhi itu ada pula yang diserahkannya kepada Wali (gubernur) wilayah tertentu, menurut keadaan dan tempat tertentu.
Adapun yang boleh diangkat menjadi qadhi itu ialah mujtahid, yaitu: orang yang ahli dalam hukum syari’at dan pandai menetapkan suatu hukum dengan berdasarkan pada al-Qur’an dan sunnah.
Para hakim itu mendapatkan kebebasan penuh dalam melaksanakan tugasnya, mereka tidak terpengaruh oleh kekuasaan wali (gubernur). Kedudukan yang mulia atau hina, kaya dan miskin sama dalam pandangan hakim.
Mereka memeriksa perkara di dalam masjid, yaitu dalam persidangan yang terbuka. Mereka diberi gaji tetap secukupnya, agar tenaga mereka sepenuhnya dapat menghadapi sepenuhnya dalam urusan kehakiman.
Adapaun kesalehan dan keperwiraan ummat Islam di zaman pemerintahan Umar telah sampai pada puncaknya. Pernah kejadian: Ka’ab bin Abi Yasar menolak suatu pangkat yang tinggi ketika akan diangkat Umar menjadi Qadhi di Mesir. Ia belum percaya kepada dirinya, akan dapat berlaku adil dalam pekerjaan itu.
Akhir hayat Khalifah Umar bin Khattab r.a.
Ketika Umar bin Khattab sedang berusaha sekuat tenaga mengatur sekalian urusan dalam Daulah Islam, bencana datang menimpa dirinya, bahkan menimpa Islam, yang menyebabkan sampai ajalnya.
Seorang hamba sahaya bangsa Persia yang berasal dari tawanan perang di Hanawand, hamba sahaya dari Mughirah bin Syu’bah, bernama Fairuz dan biasa disebut Abu Lu’luah, amat dengki dan sakit hati kepada Khalifah Umar, karena Umarlah yang menyebabkan kerajaan Persia lenyap dari muka bumi ini. Maka pada suatu hari ia menikam Khalifah Umar yang bijaksana itu, ketika akan sembahyang subuh.
Umar r.a. wafat pada bulan Zulhijjah, tahun 23 H. (644 M.) dalam usia 63 tahun dan sesudah memerintah Daulah Islam selama 10 tahun 6 bulan.
Pemilihan Khalifah sesudah Umar bin Khattab
Ketika Umar merasakan bahwa ajalnya sudah dekat, ia menunjuk enam orang sahabat pilihan, yaitu para sahabat yang menjadi dewan syura di zamannya. Seorang dari enam sahabat itu dipilih dan yang mendapat suara terbanyak diangkat menjadi khalifah. Mereka itu ialah: Ali bin Abi Talib, Utsman bin Affan, Zubair bin Awwam, Sa’ad bin Abi Waqqash, Abdurrahman bin ‘Auf dan Thalhah bin Ubaidillah. Menurut wasiat Umar, siapa yang terbanyak mendapat suara dialah yang akan dinobatkan menjadi khalifah. Dan bila suara itu sama banyaknya, haruslah dipilih yang disetujui oleh Abdullah bin Umar.
Dan akhirnya pemilihan itu jatuh atas diri Utsman bin Affan r.a.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar